Jakarta, Prohealth.id – Kekerasan dalam rumah tangga kembali ditemukan di Jakarta.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra pun menyambangi kediaman 4 anak meninggal di Jakarta Selatan jam 9.30 WIB. Seperti yang diketahui ditemukan kasus pembunuhan terhadap 4 anak oleh ayahnya. Mewakili KPAI, Jasra menyampaikan dukacita atas tragedi kelam dalam perlindungan anak.
“Saya kira hari ini akan dikenang terus menerus dunia perlindungan anak, setelah peristiwa keji Arie Anggara, seorang anak yang dipukuli orang tua hingga meninggal. Tentu hukuman maksimal menanti pelaku pembunuh 4 anak tersebut,” terangnya melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id, Jumat (8/12/2023).
Dalam kesempatan itu, KPAI juga bertemu sejumlah pihak di lokasi kejadian yakni; kepolisian, wakil camat, sudin perlindungan anak, ketua RT, pemilik kontrakan dan satpol PP.
Dalam keterangan Jasra setiba di lokasi ia menyampaikan, bahwa kontrakan tidak jauh sekitar 50 meter dari Jalan Kebagusan Raya. Keterangan pemilik kontrakan yang masih saudara dengan RT, bahwa pelaku sudah 7 bulan tidak bayar kontrakan rumah yang berbiaya Rp1,5 juta. Pemilik kontrakan sudah berusaha mengusir.
KPAI juga menanyakan mekanisme penanganan kasus KDRT ketika di dalamnya ada anak. Dalam keterangan dari pihak berwenang, masih melihat awalnya anak tidak mengalami apapun dari orang tua pasca KDRT dua pekan yang lalu.
Ketua RT juga menyampaikan warga tidak curiga, meski memang anak anak tidak keluar rumah sudah beberapa hari. Barulah ketika muncul bau menyengat, warga mendobrak rumah tersebut, dan ditemukan 4 anak di bunuh dan pembunuhnya juga mencoba bunuh diri.
Berdasarkan keterangan polisi, saat ini pelaku pembunuh anak yang terduga merupakan ayahnya sendiri, telah dipindahkan oleh polisi ke Rumah Sakit Kramat Jari. Jenazah 4 anak korban juga sudah diautopsi di Rumah Sakit Kramat Jati.
Sebelumnya warga menyampaikan, sepekan lalu ibu dari 4 anak tersebut mengalami KDRT sehingga sang ibu masih dalam perawatan di rumah sakit, setelah kasusnya diproses Kepolisian.
KPAI menyayangkan situasi sangat mengenaskan. Fenomena kasus ini menuntut Jasra mencerminkan kerentanan anak yang tinggal dalam situasi mengontrak, dan terpenjara dalam konflik orang tuanya. Dengan adanya kasus KDRT sebelumnya juga mencerminkan, situasi keluarga di Indonesia sangat beragam.
“Anak anak hidup dalam berbagai kondisi. Yang seringkali sebenarnya sudah harus dalam pengawasan negara,” tuturnya.
Ia pun menambahkan, KPAI melihat problem ekonomi menjadi persoalan keluarga tersebut dan memicu persoalan lainnya, hingga terjadilah peristiwa tersebut. Ia menilai seringkali dalam konflik orang tua, anak menjadi jaminan, ancaman, dan sasaran dari konflik yang tidak berkesudahan.
“Seperti dalam Undang Undang Perlindungan Anak kita bicara perlindungan anak anak dari orang tua berkonflik. Karena kita tahu, Undang Undang Perlindungan Anak mengangkat isu ini, karena temuan temuan anak dikorbankan, menjadi alat ancaman, dipertaruhkan, anak menjadi jaminan,” kata Jasra.
Ia menyayangkan kejadian ini menandakan masyarakat dan pemerintah masih gagal dalam melindungi anak. Apalagi dalam kasus ini, ada kasus penyerta sebelum pembunuhan, yaitu KDRT. Ia menyesal karena tidak ada satu pihak pun dalam lingkungan yang memastikan kondisi pengasuhan anak, ketika ibunya mengalami KDRT.
“Berbagai permasalahan dan pertanyaan muncul ya, pasca peristiwa ini, tentu kita menunggu hasil investigasi Kepolisian secara menyeluruh, agar tahu akar persoalannya. Yang saya kira tidak jauh dari persoalan orang tua yang berkonflik sangat tajam dan menganggap KDRT dan membunuh anak sebagai jalan keluar masalah,” tuturnya.
Untuk itu ada beberapa langkah yang diusulkan KPAI. Pertama, KPAI melihat ada masalah dalam memastikan pengasuhan anak yang layak dalam orang tua berkonflik dan status rumah kontrakan.
Kedua, warga sudah mengetahui konflik mereka sejak lama dari tanggal peristiwa. Artinya, ada situasi keluarga yang seharusnya dapat dilaporkan dan mendapat intervensi, terutama dalam hal ini sebagaimana mandat Undang-Undang Perlindungan Anak menjauhkan anak sementera dari keluarga berkonflik. Hanya mungkin masyarakat belum terbiasa merujuk anak anak ke lembaga yang diberi wewenang menerimanya.
Ketiga, warga mengetahui rumah tersebut sudah tidak beraktifitas sejak Minggu malam, namun tidak ada mekanisme, atau seorangpun yang memeriksa. Maka menjadi penting menetapkan pihak yang berwenang dalam lingkungan untuk melakukan atau memastikan kondisi anak.
Keempat, seperti yang disampaikan warga bahwa ibu dari anak anak tersebut masuk Rumah Sakit akibat KDRT. Penting juga untuk mengecak mana penanganan KDRT tersebut. Penting pula mengetahui proses penahanan pelaku.
Kelima, sebagaimana mandat Undang-Undang Perlindungan Anak, jika menemukan anak dalam keluarga berkonflik, maka anakpanak tersebut masuk kategori Perlindungan Khusus Anak. Penting menurut Jasra untuk membumikan kembali pemahaman masyarakat dan petugas, dalam soal memastikan anak penting untuk dihindarkan sementara dari konflik orang tuanya.
Keenam, pemahaman darurat RUU pengasuhan anak. Ia menyebut untuk intervensi kasus serupa dalam keluarga, butuh payung kebijakan komperhensif. Termasuk, ketika ada kekerasan, petugas dapat segera menindaklanjuti kondisi pengasuhan anak yang terancam.
Ketujuh, pentingnya anggaran dalam kasus penanganan KDRT. Ia menilai, jika ada anggaran, tentu akan membawa sensitivitas, tanggung jawab, kepekaan, respon, dan inisiatif di lapangan dalam segera menyelamatkan anak dalam keluarga KDRT. “Karena jika terbiasa tidak dianggarkan, maka petugas akan kesulitan dalam melaksanakan berbagai tugasnya dalam satu kasus saja, misalnya,” tutur Jasra.
Kedelapan, pentingnya payung kebijakan lintas profesi untuk menyikapi anak yang sedang dalam konflik keluarga.
Kesembilan, harus memiliki shelter yang ditetapkan, sebagai tempat anak korban KDRT. Lalu juga punya SOP dalam pengembalian anak ke orang tua, jika kasus penyebab KDRT sudah ditemukan.
Kesepuluh, pentingnya ormas, rumah ibadah, masyarakat peduli anak, RT dan RW berfungsi sebagai gugus tugas persoalan keluarga.
Kesebelas, pentingnya sistem deteksi terpadu lintas lembaga yang berwenang atas perlindungan anak. Utamanya, yang mampu merespon bersama soal KDRT yang meninggalkan pengasuhan anak. Sekalipun ada RT dan RW, namun menjadi penting untuk memiliki jalur profesional yang ditugaskan bisa mengintervensi kasus sejenis.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post