Jakarta, Prohealth.id – Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia, setelah India dan China. Dimana lebih dari 70 juta perokok tembakau dewasa di Indonesia berisiko terkena penyakit menular dan tidak menular.
Berkaca dari fenomena ini, Wakil Menteri Kesehatan Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono membenarkan bahwa produk tembakau yaitu rokok menjadi penyebab kematian terbesar akibat PTM.
Pasalnya, sebesar 59,6 persen mengakibatkan kanker, trakea, bronkus dan papu-paru. Sekitar 59,3 persen mengakibatkan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), kemudian 28,6 [persen mengakibatkan penyakit jantung, dan 20,6 persen mengakibatkan Diabetes Melitus (DM), serta 19,7 persen mengakibatkan stroke.
Untuk itu, pemerintah menargetkan seluruh kabupaten/kota di Indonesia memiliki peraturan mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dengan semakin banyaknya KTR, diharapkan lebih banyak masyarakat yang terlindungi dari asap rokok orang lain. Target KTR ini pun diharapkan dapat tercapai tahun ini.
“Saat ini sudah ada 86 persen daerah yang punya aturan KTR, harapannya di tahun 2023 nanti akan 100 persen targetnya untuk semua daerah memiliki Kawasan Tanpa Rokok,” ujar dr. Dante, pada 9 Juni 2023 lalu.
Ia juga menjamin perlunya sosialisasi untuk tidak merokok karena merokok adalah salah satu faktor yang paling berbahaya menimbulkan penyakit tidak menular seperti jantung, stroke, diabetes, hipertensi dan sebagainya. Apalagi, penyakit tersebut berkaitan erat dengan kematian terbesar di Indonesia.
“Kita lakukan berbagai edukasi dan promosi kesehatan, salah satunya melalui pemberian penghargaan kepada pemerintah daerah yang telah memiliki Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang kita berikan hari ini,” tutur Dante.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, dr. Endang Sumiwi dengan perspektif anak, ia mengungkapkan bahwa merokok dapat memperburuk kesehatan, terutama pada anak karena berpotensi menyebabkan stunting.
Temuan ini terbukti dari penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia pada tahun 2018 yang menemukan bahwa balita yang tinggal dengan orang tua perokok tumbuh 1,5 kg lebih kurang dari anak-anak yang tinggal dengan orang tua bukan perokok. Dalam penelitian tersebut juga disebutkan 5,5 persen balita yang tinggal dengan orang tua perokok punya risiko lebih tinggi menjadi stunting.
“Kita tahu bahwa angka stunting kita masih tergolong tinggi menurut kategori WHO yaitu di atas 20 persen, sementara Indonesia masih 21 persen. Kalau balita berpotensi terpapar rokok di rumahnya maka ini menjadi salah satu hambatan kita dalam menurunkan stunting,” ujar dr. Endang.
Berdasarkan Global Adult Tobacco Survey tahun 2019 menemukan uang sebesar Rp382.000 per bulan banyak dikeluarkan orang dewasa untuk beli rokok dalam keluarga. Padahal uang tersebut bisa dialihkan untuk membeli protein hewani yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak untuk tumbuh supaya tidak stunting. Untuk itu, dr. Endang berharap keluarga-keluarga Indonesia mengalihkan belanjanya dan melakukan prioritas ulang pengeluarannya bukan untuk rokok.
“Kalau mau berkontribusi untuk stunting, para orang tua tidak usah merokok dan lebih baik gunakan uangnya untuk membeli protein hewani seperti telur,” ungkapnya.
Senada dengan dr. Endang, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu menambahkan, konsumsi rokok dan hasil tembakau mempunyai dampak terhadap sosial ekonomi dan juga kesehatan.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasioanl (Susenas) 2021 menjelaskan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk kebutuhan protein di keluarga.
“Berdasarkan data tersebut belanja rokok merupakan belanja terbesar kedua di keluarga dan tiga kali lebih tinggi daripada beli telur,” ucap dr. Maxi.
Rokok memiliki persentase pengeluaran keluarga terbesar kedua sebanyak 11,9 persen, baik di perkotaan maupun di pedesaan dibandingkan untuk mereka yang mengkonsumsi makanan bergizi seperti telur, daging, dan ayam.
Perwakilan dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr. Feni Fitriani Taufik menyatakan di RS Persahabatan pernah ada penelitian pada bayi. Pasalnya, ada tiga kelompok bayi yang dilahirkan yakni dari ibu yang tidak merokok, ibu yang jadi perokok pasif, dan ibu perokok aktif. Hasilnya didapatkan bahwa pada plasenta bayi dengan ibu perokok aktif dan pasif itu sama-sama ditemukan nikotin. Kemudian dari waktu lahir pun panjang badan dan berat badan bayi jauh lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak merokok.
“Jadi, pajanan rokok berpengaruh bukan saja setelah lahir, tapi di dalam kehamilan pun itu sudah sangat berpengaruh kepada bayi,” ungkap dr. Feni.
Ia melanjutkan, ada istilah second hand smoke dan thirdhand smoke. Second hand smoke adalah asap rokok yang dilepaskan oleh perokok kemudian dihirup oleh orang-orang di sekitarnya. Sementara thirdhand smoke adalah sisa bahan kimia dari asap rokok. Umumnya tidak terlihat tapi berbahaya, bukan hanya asap tapi residu dari orang yang merokok yang menempel terutama di dalam rumah seperti gorden, karpet, dan sofa.
“Itu mengandung kimia berbahaya jika terhirup oleh orang-orang yang ada di rumah seperti anak-anak balita. Jadi kalau berbicara stunting, secondhand smoke dan thirdhand smoke menyebabkan beban ekonomi keluarga akan berlipat. Sebab perkembangan anak terganggu.” tambah dr. Feni.
Untuk menjamin efektivitas masyarakat bebas dari Kementerian Kesehatan sebenarnya sudah memiliki layanan konseling berhenti merokok gratis. Layanan ini untuk mempermudah bagi siapa saja yang ingin berhenti merokok namun karena alasan tertentu belum bisa datang ke fasilitas kesehatan untuk konsultasi.
Berikut beberapa layanan berhenti merokok yang perlu diketahui oleh masyarakat.
Quitline.INA 08001776565
Pesona Si BeMo: Facebook Messenger @p2ptmkemenkesRI
Telegram: https://t.me/quitina_bot
Website: http://p2ptm.kemkes.go.id/
Whatsapp: 082125900597
“Klien yang ingin berhenti merokok dapat diberikan konseling dan bimbingan, serta rujukan jika sekiranya membutuhkan tindak lanjut,” ujar dr. Endang, Dirjen Kesmas Kemenkes.
Discussion about this post