Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020 tercatat 189 kasus AKI per 100.000 kelahiran hidup dan 16,85 kasus AKB per 1.000 kelahiran hidup.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan kesenjangan gender berkontribusi pada berbagai masalah sosial, termasuk isu reproduksi dalam keluarga, yang berdampak pada prevalensi AKI dan AKB di Indonesia.
“Dampak kematian ibu yang lebih berat adalah terhadap kelangsungan hidup anak yang ditinggalkan, tumbuh kembang anak yang dilahirkan, ketahanan keluarga, dan dampak terhadap sumber daya manusia. Lebih dari 50 persen bayi yang ditinggalkan karena kematian ibu, meninggal sebelum usia satu tahun,” kata Menteri Bintang dalam Musyawarah Nasional Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di Denpasar, Jumat (3/11/2023).
Oleh karena itu, Bintang mengatakan perlu komitmen besar dan kerja keras para pemangku kepentingan di bidang perempuan dan anak untuk menurunkan AKI dan AKB. Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi AKI dan AKB pada 2024, yaitu 183 kasus AKI per 100.000 kelahiran hidup dan 16 kasus AKB per 1.000 kelahiran hidup.
Selain komitmen dan kerja keras para pemangku kepentingan, Bintang juga berharap peran laki-laki dalam upaya menurunkan prevalensi AKI dan AKB. Dukungan dan kesadaran akan tanggung jawab bersama laki-laki dapat berperan bagi penurunan prevalensi AKI dan AKB melalui partisipasi dalam keluarga berencana.
“Kita memang masih dalam pengaruh patriarki yang kuat, tetapi hal itu bisa kita perbaiki bersama. Pengasuhan dan pendidikan anak bukan tugas ibu semata, tetapi perlu dibagi secara setara antara ibu dan ayah,” tuturnya.
Menurut Bintang, program keluarga berencana merupakan salah satu strategi untuk menurunkan prevalensi AKI dan AKB. Hal itu sejalan dengan lima program prioritas terkait pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yang salah satunya adalah peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak.
Bintang juga mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menghentikan praktik perkawinan anak. Menurut dia, perkawinan anak masih menjadi masalah yang harus segera diselesaikan.
“Perlu dukungan dari berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi juga tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat. Kita perlu bersatu dan bergerak bersama dalam menghadapi masalah perkawinan anak,” katanya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post