Jakarta, Prohealth.id – Amnesty International Indonesia menyerukan kepada Paus Fransiskus ikut menyoroti komitmen pemerintah Indonesia menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyatakan, pentingnya menghentikan pelanggaran HAM. Apalagi akibat kebijakan pembangunan masa kini yang tidak ramah sosial dan lingkungan. Sebut saja seperti yang terjadi di Papua dan Rempang.
Pesan perdamaian, cinta kasih, dan dialog yang menjadi pesan Paus Fransiskus sangat relevan untuk dunia yang menghadapi perpecahan dan intoleransi. Usman menilai, kunjungan ini sangat penting untuk menegaskan kembali kewajiban setiap bangsa tentang nilai-nilai martabat manusia dan keadilan sosial.
“Paus Fransiskus dijadwalkan bertemu Presiden dan para pejabat penting lainnya. Ini kesempatan untuk mendesak Indonesia memenuhi komitmennya di bidang hak asasi manusia, termasuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu dan melindungi kelompok masyarakat, termasuk masyarakat adat dari kebijakan ekonomi yang keliru,” ujar Usman, Selasa (3/9/2024).
Ia menegaskan, kunjungan ini juga memberi platform penting untuk mengadvokasi berakhirnya kebijakan represif dalam menghadapi protes dan unjuk rasa. Lalu menyerukan perdamaian di Papua, dan mencegah praktik-praktik diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama. Pembunuhan aktivis HAM Munir yang genap menginjak 20 tahun sejak kematiannya juga perlu mendapat perhatian.
Indonesia saat ini kembali aktif sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun Indonesia belum melaksanakan sejumlah rekomendasi penting terkait penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan pelanggaran HAM di masa kini akibat kebijakan pembangunan, dan perlindungan kelompok minoritas agama dari serangan atas kebebasan menjalani keyakinan dan pendirian rumah ibadah.
Catatan Kelam Kemanusiaan
Amnesty International Indonesia mencatat kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang belum selesai, antara lain pembunuhan massal 1965/66, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, penyerangan 27 Juli 1996, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/98, penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, kerusuhan Mei 1998, kasus Munir, hingga pembunuhan-pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua.
Amnesty pun mencatat sejak Januari 2021 hingga Juli 2024, terdapat setidaknya 123 kasus intoleransi, termasuk penolakan, penutupan atau perusakan tempat ibadah, dan serangan fisik. Para pelaku diduga berasal dari berbagai latar belakang, termasuk pejabat pemerintahan, warga, dan organisasi masyarakat.
Pada 30 Juni 2024, seorang kepala desa bersama sekelompok orang menghentikan ibadah Minggu gereja Pantekosta di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka beralasan gereja itu tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Menurut pendeta setempat, bangunan gereja sudah terdaftar sebagai rumah doa pada 7 Desember 2023 dan tidak mudah mengurus IMB karena butuh waktu dua tahun. Namun, kepala desa bersikeras menuntut adanya IMB.
Untuk membangun rumah ibadah, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 2006 mensyaratkan adanya persetujuan dari setidaknya 60 warga setempat. Persetujuan harus mendapat tanda tangan kepala desa dan rekomendasi tertulis departemen Agama dan Forum Kerukunan Umat Beragama. Proses ini memiliki potensi konflik di daerah-daerah di mana umat minoritas menghadapi penolakan dari masyarakat setempat.
Pada 5 Mei 2024, sekelompok massa menyerang sejumlah mahasiswa Katolik yang menggelar acara Doa Rosario di sebuah rumah di Tangerang Selatan. Mereka memaksa para peserta untuk tidak beribadah di rumah, melainkan di gereja.
Pada 2 Juli 2024, pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyegel tempat ibadah jemaah Ahmadiyah. Indonesia juga terus mencatat kasus-kasus pembatasan terhadap hak-hak dan kebebasan umat beragama.
Amnesty International berharap kunjungan Paus Fransiskus akan menyoroti isu-isu ini demi memastikan perlindungan kebebasan beragama di Indonesia.
“Kunjungan Sri Paus memiliki peran penting untuk mendorong Indonesia mengakhiri intoleransi dan diskriminasi terhadap semua kelompok minoritas. Kebebasan beragama merupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia,” kata Usman Hamid.
Ia menegaskan jaminan ini harus efektif, dengan undang-undang dan peraturan yang selaras dengan standar internasional hak asasi manusia. Oleh karenanya Usman ingin Paus Fransiskus menyoroti kondisi di Papua yang berkecamuk konflik dan hak-hak warga sipil yang terus terancam.
“Tanah Papua, yang telah mengalami kekerasan selama puluhan tahun, harus menjadi perhatian. Eskalasi kekerasan, militerisasi, dan penindasan terhadap perbedaan pendapat di Papua telah mengakibatkan banyak korban sipil, pengungsian, dan krisis kemanusiaan. Ini membutuhkan perhatian mendesak,” kata Usman.
Warga sipil di Papua, termasuk masyarakat adat, telah menderita akibat operasi militer besar-besaran yang mengakibatkan pembunuhan di luar hukum oleh kelompok bersenjata negara dan non-negara, penyiksaan, pengungsi internal, dan pelanggaran lainnya.
Sejak 3 Februari 2018 hingga 20 Agustus 2024, Amnesty mencatat 132 kasus pembunuhan di luar hukum yang menewaskan setidaknya 242 warga sipil. Pelaku sebagian kasus adalah aparat keamanan yakni 83 kasus dengan 135 korban. Sebagian lagi oleh kelompok bersenjata pro-kemerdekaan yakni 49 kasus dengan 107 korban.
Selain warga sipil setempat, korban juga termasuk seorang pilot helikopter asal Selandia Baru, Glen Malcolm Conning. Pembunuhan Glen Malcolm terjadi saat mengangkut empat warga sipil di Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Papua Tengah pada 5 Agustus 2024. Belum jelas siapa yang sesungguhnya membunuh pilot tersebut. Untuk itu, Amnesty mendesak investigasi penuh atas kejadian itu.
Seorang warga negara Selandia Baru lainnya, Phillip Mehrtens, disandera sejak 7 Februari 2023 oleh faksi bersenjata kelompok pro-kemerdekaan Papua. Antara Januari 2019 hingga Februari 2024 terdapat setidaknya 17 kasus penyiksaan atas 50 korban. Ada dugaan anggota aparat keamanan dan aparatur negara yang melakukan hal tersebut di Tanah Papua.
“Karena itu Paus Fransiskus harus menekankan pentingnya dialog damai dan resolusi yang menghormati hak asasi manusia serta aspirasi rakyat Papua,” kata Usman.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post