Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan Kesehatan Republik Indonesia menyatakan, masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia saat ini terbilang masih sangat tinggi. Beberapa faktor penyebabnya antara lain kurangnya kesadaran, rasa enggan, dan kesulitan akses ke tenaga profesional.
“Terlebih dengan adanya pandemi COVID-19, kita harus mengubah cara pelayanan kesehatan gigi dan mulut,” sambungnya dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (30/5/2022).
Oleh karena itu, Budi Gunadi menegaskan pentingnya edukasi dan sinergi dari berbagai pihak, mendorong kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut akan membuka harapan untuk mencapai target Indonesia Bebas Karies 2030.
Hal ini terbukti dalam Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan prevalensi gigi berlubang pada anak usia dini masih sangat tinggi yaitu sekitar 93 persen. Artinya hanya 7 persen anak Indonesia yang bebas dari karies gigi. Padahal, Federation Dental International (FDI) dan WHO menargetkan usia 5 sampai 6 tahun setidaknya 50 persen harus bebas dari karies gigi di setiap negara. Banyak kebijakan pemerintah yang dilakukan untuk mencapai target tersebut seperti program internship, Nusantara Sehat yang mana penempatan tenaga kesehatan berbasis kepada tim yang disebar ke seluruh Indonesia, termasuk tenaga kesehatan gigi maupun tenaga kesehatan lainnya.
Unilever Indonesia Foundation juga melakukan survei selama pandemi 2020-2021, terhadap kebiasaan merawat gigi. Hasilnya, telah terjadi penurunan kebiasaan menyikat gigi dua kali sehari dibandingkan hasil survei tahun 2018. Selain itu, kebiasaan buruk meningkat selama di rumah yakni 2 dari 5 orang dewasa mengaku tidak menyikat gigi seharian, dan ada 7 dari 10 orang menghindari pergi ke dokter gigi.
Kebiasaan tersebut mudah ditiru oleh anak-anak, ia mengungkapkan apabila orang tua tidak menyikat gigi dua kali sehari anak-anak 7 kali lebih memungkinkan untuk tidak menyikat gigi.
Masih dari survei yang sama, sejak pandemi COVID-19, orang dua kali lebih sering mencuci tangan sebanyak 64 persen dibandingkan menyikat gigi sebesar 31 persen. Di samping itu juga sejak pandemi COVID-19 orang dua kali lebih sering menggunakan hand sanitizer sebesar 52 persen, dibandingkan menggunakan obat kumur sebesar 20 persen.
Dengan begitu, kebiasaan menjaga kesehatan tersebut tidak tercermin pada kebiasaan menyikat gigi, sebagian besar orang mengaku telah mengabaikan kebiasaan menyikat gigi. Ada 9 persen orang tua tidak menyikat gigi dua kali sehari kemudian 11 persen anak-anak tidak menyikat gigi dua kali sehari.
Fakta dari beberapa laporan menyatakan ada 94,9 persen masyarakat perkotaan tidak pernah ke dokter gigi dalam setahun terakhir. Beberapa sebabnya, persebaran dokter gigi yang belum merata serta faktor biaya juga menjadi hambatan bagi masyarakat untuk rutin berkonsultasi ke dokter gigi. Akibatnya, dari 57 persen masyarakat yang mengalami permasalahan gigi dan mulut, hanya 10,2 persen yang berkunjung ke dokter gigi – itu pun umumnya karena sudah merasa sangat kesakitan.
Alhasil, terdapat 5 masalah gigi dan mulut yang sering dialami selama pandemi dan tidak teratasi dengan optimal antara lain; mulut kering, bau mulut, gusi dan gigi berdarah saat menyikat gigi atau saat menggunakan benang gigi, kemudian nyeri pada gigi gusi atau mulut, dan adanya lubang pada gigi yang baru terbentuk.
Head of Professional Marketing Beauty and Personal Care Unilever Indonesia, drg. Ratu Mirah Afifah, GCClinDent., MDSc., menyatakan saat ini makin penting membangun kesadaran pada masyarakat bahwa menunda ke dokter gigi dapat menyebabkan masalah yang lebih besar. Tidak hanya dari sisi biaya yang pasti akan membengkak, permasalahan juga akan terus terekskalasi hingga risiko terburuk, yaitu gigi tanggal.
Tercatat rata-rata pada usia 35-44 tahun masyarakat Indonesia sudah kehilangan 2 giginya, jika tidak ada perubahan kebiasaan merawat gigi dan mulut dengan benar serta rutin berkonsultasi ke dokter gigi, keadaan ini bisa semakin memprihatinkan.
“Faktanya, rata-rata di usia 65 tahun masyarakat Indonesia sudah kehilangan 11 giginya,” kata drg. Ratu.
DEFISIT TENAGA KESEHATAN GIGI DAN MULUT
Menurut drg. Usman Sumantri, MSc, selaku Ketua Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) kondisi ini masih diperparah dengan jumlah dokter gigi di Indonesia masih belum ideal. Jika dibandingkan dengan rekomendasi WHO yaitu 1 dokter gigi untuk 7.500 orang, di Indonesia faktanya 1 dokter gigi bertugas melayani 9.565 orang. Selain itu, keberadaan dokter gigi, terlebih dokter gigi spesialis, memang masih terpusat di perkotaan.
“Dari data-data ini terlihat bahwa ketidaksetaraan akses terhadap dokter gigi masih menjadi masalah,” tuturnya.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil antara lain adalah meningkatkan produksi lulusan dokter gigi dengan cara menambah program studi Kedokteran Gigi dan spesialis, serta peran Pemerintah Daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana penunjang kerja yang baik.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan drg. Oscar Primadi, MPH pun mengatakan pelayanan kesehatan gigi selama pandemi COVID-19 harus beradaptasi dengan menerapkan protokol kesehatan. Di Indonesia dokter gigi ada 35.188 orang, dokter gigi spesialis 4.540 orang, dan terapis gigi dan mulut 19.600 orang.
Artinya dengan keterbatasa tenaga medis, 1 dokter melayani 7.500 orang. Rasio SDM dokter gigi ini sudah mencukupi namun masih ada persoalan dari sisi distribusi mengingat di Indonesia terdapat beribu pulau dengan disparitas daerah yang tidak sama.
Dengan jumlah dokter tersebut maka pelayanan kesehatan gigi dengan menerapkan adaptasi kebiasaan baru harus dapat terlaksana.
“Kita harus sehat, harus betul-betul mampu memproteksi diri sendiri dari ancaman penularan ini sehingga dokter gigi dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, menjadi pelaku utama dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan,” tambah Oscar.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post