Jakarta, Prohealth.id – Tim Advokasi Komunitas ‘Keadilan untuk Aga’ telah mengikuti proses yang begitu panjang dan sangat melelahkan terhadap Kasus Wan traga duvan Baros yang terpaksa berhadapan dengan hukum.
Aga pernah melalui proses perawatan medis di RSKO dan pernah mengakses layanan terapi subtitusi narkotika di Puskesmas Bogor Timur. Namun sayang ia tetap menerima tuntutan 6 tahun penjara oleh jaksa. Tuntutan ini ternyata sangat berat bagi Aga.
Pasalnya, kepemilikan ganja seberat 12,48 gram yang berada di atas gramatur (jumlah batas) SEMA No. 4 Tahun 2020 sebenarnya tak berkekuatan hukum berbeda dengan Pedoman Kejaksaan RI. Dengan demikian mengikuti Pedoman Kejaksaan RI No. 11 Tahun 2021 yang memberikan batasan – batasan tegas suatu penututan kasus narkotika.
Dari 5 tahap (formulir) asesmen dengan 6 poin kategori/klasifikasi dari setiap tahapannya, yang artinya ada 30 poin pada Pedoman Kejaksaan RI 11/2021 dimana kemudian tim dvokat melakukan simulasi dan menemukan hanya 1 poin aplikatif yaitu kepemilikan dengan jumlah narkotika berbentuk tanaman ganja dibawah berat 250 gram. Sisanya Aga terbukti bukan pengedar, terbukti tidak terlibat dalam peredaran gelap narkoba. Aga terbukti mengalami kecanduan dan telah sesuai asesmen Tim Terpadu BNN Jakarta Selatan 29 April 2024. Sehingga keluarlah surat oleh Direktur RSKO mengenai kondisi kesehatannya yang terkait narkotika.
Sementara keterangan Belinda H (pasangan yang mendampingi selama proses) menyatakan tidak ada biaya apapun oleh Polri. Namun Belinda mengutarakan kecemburuan terhadap kasus seorang selebgram yang tertangkap karena kepemilikan ganja cair, tetapi kepolisian tak pernah menjabarkan berat ganjanya. Hanya jika dia memiliki ganja cair seberat 5 gram sesuai gramatur SEMA, tentu jika disemprotkan sedikitnya 100 gram tembakau kering bisa lebih banyak dari ganja kering yang sulit melalui ekstrak. Menariknya selebgram ini dengan mudah mengakses layanan rehabilitasi dibandingkan dengan Aga. Kejaksaan tentu telah memikirkan menimbang jumlah tuntutan yang dikeluarkan. Berdasarkan semua hal ini dan tahu betul kenapa tuntutan yang maksimum adalah 4 tahun 6 bulan menjadi 6 tahun.
Melalui pernyataan resmi, 19 Agustus 2024, tim advokat menyebut Aga dan keluarga sudah sangat frustasi. Selain infeksi yang ada dalam tubuh, kebangkrutan finansial, kesulitan mendapatkan kesempatan yang sama pada kehidupan sosial juga menjadi masalah lain bagi Aga dan keluarga.
Tim ‘Keadilan untuk Aga” mulai mengerucutkan niat untuk melakukan berbagai dialog dengan pihak yang menjadi bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Niat ini karena termotivasi begitu banyak korban penyalahgunaan narkotika yang juga mengalami situasi yang sama saat berhadapan dengan hukum pidana narkotika.
“Keinginan untuk menguji kondisi ini mulai berjalan setelah kami menerima bahwa Jaksa menyatakan akan berpikir dahulu pasca menerima pembacaan Nota Pembelaan dari Kuasa Hukum Aga yang memberi bantuan secara Probono,” ujar perwakilan tim melalui pernyataan resmi.
Bagi tim advokasi, mendakwakan pasal 111 kepada seorang pecandu yang sakit dan telah menyatakan siap memperbaiki hidupnya adalah skema yang akan merusak kehidupan masyarakat dan generasi yang akan datang. Kenyataannya Kejaksaan bersama Kepolisian telah menempuh seluruh proses pada Pedoman Kejaksaan No. 11/2021 tetapi tidak meneruskannya kepada Pedoman Kejaksaaan No.18/2021.
“Ini membuat kami menyakini telah ada kekeliruan penerapan dakwaan dan tuntutan. Untuk bisa mendukung Pemerintah RI dalam upaya mewujudkan keadilan restoratif dimana kami yakini slogan “dukung jangan menghukum” menjadi prinsip kami menyatakan akan menempuh berbagai upaya sesuai hukum yang berlaku,” terangnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post