Jakarta, Prohealth.id – Harga obat yang mahal di Indonesia tidak selalu berhubungan dengan tingkat kualitasnya.
Temuan ini datang dari sebuah studi terbaru dari Systematic Tracking of At Risk Medicines (STARmeds). STARmeds adalah sebuah penelitian untuk mengembangkan metode pelacakan sistematis obat-obatan beresiko substandar dan palsu. Ini merupakan kolaborasi antara Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Kolese Kekaisaran London (Imperial College London), dan Universitas Erasmus Rotterdam (Erasmus Universiteit Rotterdam).
Dari 1.274 sampel obat yang diteliti, sepertiga di antaranya memiliki harga yang 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan produk sejenis yang paling murah, tetapi kualitasnya tetap sama.
Penelitian ini diluncurkan seiring cita-cita global guna memastikan akses terhadap obat-obatan dan vaksin esensial yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua masyarakat. Hal ini sesuai dengan rencana pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditargetkan tercapai pada 2030.
“Kami tergerak melakukan penelitian ini saat publik dan media mulai mempertanyakan kualitas dari obat yang memiliki harga murah atau bahkan gratis,” ucap Co-Principal Investigator STARmeds Yusi Anggriani seperti dikutip dari rilis pada Oktober ini di Jakarta.
Dia melanjutkan bahwa pihaknya tertarik untuk untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya.
Sampel diambil dari lima jenis obat dalam studi ini. Termasuk antibiotik (amoksisilin dan cefixime), obat asam urat (allopurinol), obat untuk tekanan darah tinggi (amlodipine), dan steroid (dexamethasone).
Sampel obat dikumpulkan dari rumah sakit, apotek, dan platform e-commerce di wilayah Jabodetabek, serta di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia bagian barat, tengah, dan timur. Termasuk Medan Labuhan Batu, Surabaya Malang, dan Kupang Timor Tengah Selatan.
Hasilnya menunjukkan hampir sepertiga obat sampel yang dibeli harganya lebih dari 10 kali harga produk setara termurah, dan 10 persen sampel obat dengan harga tertinggi dihargai lebih dari 30 kali lipat harga terendah, meskipun kualitasnya serupa.
Tingkat kegagalan pengujian kualitas obat jauh lebih tinggi pada antibiotik dibandingkan obat-obatan lain. Prevalensi gagal pengujian dalam laboratorium yang telah disesuaikan dengan volume pasar untuk antibiotik adalah 6,8 persen, dua kali lipat lebih dari 3,1 persen yang diperkirakan untuk non-antibiotik, dengan mayoritas sampel gagal dalam pengujian disolusi.
Yusi Anggriani mengatakan memang kondisi ini mengkhawatirkan jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien.
“Mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten,” sambungnya.
Sebagian besar obat palsu yang terkonfirmasi, 15 dari 21 obat, dibeli dari penjual tidak resmi di online marketplace.
Penelitian STARmeds ini mendukung kegiatan rutin sampling obat yang dilakukan oleh BPOM sebagai bagian pengawasan obat di pasar. STARmeds juga merekomendasikan adanya sistem data informasi obat yang saling terkoneksi antara lembaga pemerintah terkait.
Penelitian ini berlangsung selama tiga tahun ini dengan dukungan pendanaan dari Institut Nasional untuk Penelitian Kesehatan dan Perawatan (NIHR) Inggris.
Tujuan penelitian ini untuk mengestimasi prevalensi obat substandar dan palsu di Indonesia, melakukan pemodelan biaya untuk pengawasan kualitas obat, serta melakukan pembelajaran kebijakan di sepanjang penelitian. Penelitian diharapkan dapat mendukung penguatan sistem pengawasan post market untuk obat-obatan di Indonesia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post