Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan The Joep Lange Institute (JLI) mengusulkan untuk menangani pandemic dalam jangka pendek sampai jangka Panjang, diperlukan postur pembiayaan yang inklusif.
Oleh karena itu, CISDI dan JLI menilai mekanisme Financial Intermediary Fund (FIF) sebagai dana perantara keuangan yang diusulkan Bank Dunia, berpotensi menjebak Indonesia dalam pola pembiayaan kesehatan global yang tidak mandiri serta minim partisipasi organisasi masyarakat sipil, serta tidak inklusif dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, kedua lembaga menganggap FIF harus menerapkan paradigma baru dengan menerapkan prinsip Global Public Investment (GPI) dalam penyelenggaraannya.
“Tim Penulis menyambut baik lahirnya FIF sebagai mekanisme pendanaan kesiapan global dalam menangani pandemi. Terlebih, FIF terbangun dari kepemimpinan Indonesia sebagai Presiden G20,” ujar Diah Saminarsih, Penasihat Senior untuk Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO dan Pendiri CISDI melalui siaran pers, Selasa (5/7/2022).
Dia juga menjelaskan, berlalunya fase respons dan masuknya dunia ke fase pemastian kesiapan sistem kesehatan dalam pandemi–baik untuk keluar dari pandemi saat ini dan menghadapi pandemi selanjutnya–membutuhkan solidaritas dunia dalam penjaminan ketersediaan sumber daya keuangan yang memadai, adil, dan berkelanjutan.
Tak sendiri Diah juga bersama para penulis lain yakni; Simon Reid-Henry, Jon Lidén, Christoph Benn, Olivia Herlinda, dan Maria Fernanda Bustos Venegas menyebut guna memastikan eksekusi di tingkat nasional hingga komunitas, butuh inovasi baru dalam tata kelola. Dengan begitu, prinsip GPI bisa terukur yakni melalui pendekatan pendanaan publik yang menekankan aspek keadilan.
“Dalam GPI, semua negara dapat dan diharapkan berkontribusi, menerima manfaat, sekaligus terlibat dalam pengambilan keputusan,” ujar mereka.
“Reformasi pembiayaan pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi yang dibutuhkan sekarang harus berfokus pada kebutuhan negara dari setiap kelompok pendapatan dan mendorong partisipasi bermakna, termasuk dari masyarakat sipil serta meluaskan peluang kontribusi dari negara-negara lain,” tutur mereka kembali.
FIF merupakan dana perantara keuangan yang diusulkan Bank Dunia untuk menutup ketimpangan finansial global dalam upaya mencegah, menyiapkan, dan merespons pandemi. Negara G20 telah menyepakati pembentukan FIF pada pertemuan Joint Finance and Health Ministers’ Meeting (JFHMM) 21 Juni 2022 lalu. Namun, dalam proposal awal FIF, pendekatan yang akan digunakan tidak jauh berbeda dengan pendekatan sebelumnya, yaitu kurangnya pelibatan dan partisipasi negara ekonomi rendah dan menengah, masyarakat sipil dan komunitas, serta ketimpangan kuasa dan pengambilan keputusan negara donor dan penerima.
Diterapkannya prinsip GPI dalam FIF memungkinkan negara dari semua kelompok pendapatan bisa terlibat membiayai FIF, khususnya negara berpendapatan rendah dan menengah, melalui pengeluaran domestik yang disesuaikan berdasarkan pendapatan nasional bruto suatu negara untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi global setiap tahunnya.
Pendekatan ini akan meningkatkan transparansi tentang bagaimana negara dan sistem kesehatan mereka akan menerima manfaat. Prinsip-prinsip GPI akan memastikan sumber pembiayaan FIF yang berkelanjutan.
Melalui GPI, negara-negara anggota juga bisa merumuskan sendiri kebutuhan akan komponen kesiapsiagaan pandemi dalam wilayah domestik mereka sehingga proses penyaluran pembiayaan untuk program penguatan pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi akan lebih transparan dan akuntabel.
Prinsip utama GPI lainnya adalah inklusi semua aktor pembangunan dalam tata kelolanya. Langkah segera yang harus dilakukan oleh negara-negara G20, selain memastikan terkumpulnya dana dari sebanyak mungkin negara agar terbangun solidaritas global dalam pendanaan kesiapan pandemi; adalah melibatkan representasi formal dari berbagai pemangku kepentingan pembangunan, termasuk negara-negara berpendapatan rendah dan menengah serta organisasi masyarakat sipil.
Pengalaman dan pemahaman organisasi masyarakat sipil dalam menguatkan kapasitas pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi dari komunitas hingga advokasinya ke tingkat kebijakan sub-nasional maupun nasional; secara jelas memerlukan pelibatan bermakna masyarakat sipil dalam proses pengambilan keputusan FIF.
Oleh karena itu, CISDI dan JLI mendorong seluruh negara yang hadir dalam Pertemuan Dewan Bank Dunia mengenai FIF pada Kamis, 30 Juni 2022 mempromosikan prinsip-prinsip GPI untuk diadopsi sebagai prinsip utama dalam tata kelola FIF.
Asal tahu saja, pada awal Juni 2022, Kementerian Kesehatan menjadi pemimpin Kelompok Kerja Bidang Kesehatan G20 menggelar pertemuan kedua Health Working Group (HWG-2) pada tanggal 6-7 Juni 2022 di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan side event One Health pada 7-8 Juni 2022.
Gerak Kemenkes Sejak Juni 2022
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia hendak merumuskan secara formal pembentukan dana persiapan pandemi.
“Jadi kalau ada pandemi lagi ke depannya harus ada cadangan dananya.”
Begitu dana tersebut sudah terbentuk, sambung Budi, perlu mencari cara agar dana tersebut  bisa digunakan untuk mengakses obat-obatan, vaksin, dan alat tes pandemi.
Fokus kedua dalam membangun ketahanan sistem kesehatan global adalah mobilisasi sumber daya kesehatan esensial untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi.
“Harus dibangun struktur dan mekanisme untuk memobilisasi sumber daya secara cepat dan adil sehingga tindakan medis darurat dapat diakses oleh semua negara saat krisis kesehatan terjadi, baik saat ini maupun jika terjadi ancaman kesehatan lain di masa mendatang,” katanya.
Usulan ini telah didukung sepenuhnya oleh negara-negara seperti Italia, China, Argentina, Korea dan European Union. Negara seperti Amerika Serikat, India, Perancis dan Afrika Selatan juga mendukung dengan sejumlah rekomendasi seperti mekanisme pembiayaan yang lebih detail dan penekanan pada pentingnya keadilan akses pada tindakan medis esensial.
Access to COVID-19 Tools (ACT) Accelerator, yang diluncurkan pada April 2020 oleh WHO dan para partner, menjadi wadah kolaborasi global yang inovatif. “Perlu mengkonsolidasikan dan memastikan model saat ini dapat diubah menjadi pendekatan yang lebih permanen, global, dan inklusif,” ucap Budi.
Ketiga, optimalisasi pengawasan genomik dan penguatan mekanisme berbagi data terpercaya untuk memberikan insentif bagi kesehatan masyarakat global yang kuat. Dengan menggunakan platform berbagi data universal (model GISAID+) memungkinkan semua negara G20 untuk berkomunikasi dan berbagi informasi dan data, tidak hanya untuk pandemi saat ini, tetapi juga pada patogen global lainnya yang memiliki potensi pandemi di masa depan.
Seluruh negara anggota juga mendukung usulan ini dengan beberapa rekomendasi dan klarifikasi agar tidak terjadi duplikasi pada upaya global. Perlu lebih detail dalam hal aksesibilitas, manfaat, dan dampak bagi negara-negara. Diharapkan dapat diperoleh persetujuan oleh seluruh negara anggota G20 untuk mengakui penggunaan GISAID sebagai platform universal.
“Kita mau memastikan ada persetujuan agar semua laboratorium di dunia bisa berbagi data patogen kalau ada pandemi berikutnya,” tutur Budi.
Sehingga kalau ada pandemi berikutnya di negara lain sudah ada mekanisme untuk melaporkan data genom sequence dari patogen yang diberikan dari negara tersebut. Genome itu bisa berupa virus, bakteri, parasit.
Juru Bicara G20 Bidang Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan Kemenkes memang akan menginisiasi pembahasan terkait upaya pemimpin G20 dalam membangun sistem kesehatan global yang kuat dan tangguh dari ancaman bencana kesehatan di masa depan.
“Pertemuan kedua HWG akan menekankan aspek koordinasi, abilitas dan respon cepat terhadap perubahan situasi penyakit serta pembiayaan rencana mitigasi untuk menghadapi situasi pandemi global,” katanya.
Dalam kegiatan tersebut, para delegasi akan fokus pada 3 agenda yakni memobilisasi sumber daya keuangan untuk melakukan pencegahan, kesiapsiagaan dan respons pandemi (PPR) di masa depan, memobilisasi sumber daya kesehatan penting baik alat kesehatan esensial maupun diagnostik untuk pencegahan, kesiapsiagaan dan respons pandemi (PPR) serta optimalisasi pengawasan genomik dan penguatan mekanisme berbagai data yang terpercaya untuk memberikan insentif bagi penguatan kesehatan masyarakat global.
Selain itu, negara anggota G20 juga akan membahas mengenai mekanisme pembiayaan untuk PPR kedepannya. Pasalnya sudah ada beberapa inisiatif pembiayaan yang telah diinisiasi oleh Bank Dunia dan WHO yakni joint finance dan health taskforce, dan Financial Intermediary Fund (FIF).
Lebih lanjut, dr. Nadia mengingatkan bahwa tercapainya ketahanan sistem kesehatan global yang kuat dan sustain serta pemerataan akses kesehatan antarnegara membutuhkan koordinasi dan kolaborasi baik dari negara anggota G20. Oleh karena itu, Indonesia mengajak G20 untuk bersama-sama berkomitmen mencapai sistem kesehatan yang lebih permanen dan suplai kesehatan esensial yang lebih baik.
“Kita berharap, para pemimpin G20 dapat bekerjasama untuk menciptakan arsitektur Kesehatan Global yang lebih inklusif, terkoordinasi dan responsif untuk mengakhiri pandemi COVID-19 maupun dalam menghadapi pandemi di masa yang akan datang,” pungkasnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post