Jakarta, Prohealth.id – Sebanyak 57 laki-laki, termasuk 13 anak di bawah umur, mendarat dengan selamat di kecamatan Mesjid Raya di kabupaten Aceh Besar kemarin dini hari, 25 Desember 2022, dengan bantuan masyarakat setempat.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Prohealth.id, perahu yang hanya ditumpangi oleh laki-laki tersebut diyakini telah berangkat dari Bangladesh dan menghabiskan waktu hampir sebulan di laut.
Meskipun pendaftaran dan identifikasi formal belum selesai, tim tanggap darurat Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa layanan kesehatan lokal hadir di lokasi pendaratan dan telah membantu kasus darurat medis. Tak lama setelah mendarat, pihak berwenang setempat memindahkan kelompok tersebut ke akomodasi sementara di fasilitas yang tidak terpakai milik Dinas Sosial kabupaten.
Louis Hoffmann, Kepala Misi IOM di Indonesia menjelaskan, khusus untuk saat ini, dengan kepedulian yang begitu tinggi terhadap kesejahteraan kelompok Rohingya lainnya yang masih dilaporkan berada di laut, IOM memahami betapa berisikonya perjalanan perahu ini.
“Kami senang dapat mendukung pemerintah dan masyarakat lokal di Indonesia, dalam semangat kemanusiaan, untuk membantu mereka yang membutuhkan pelindungan,” ungkap Louis.
IOM telah berkoordinasi Satgas PPLN Nasional dan pemerintah daerah untuk memberikan bantuan dalam hal pendaratan yang aman dan akan terus bekerja dengan mitra-mitra terkait untuk memastikan tersedianya layanan kesehatan (termasuk pengujian terhadap COVID-19), tempat tinggal sementara yang memadai, air dan sanitasi, pelindungan dan dukungan kesehatan mental dan psikososial terpenuhi dalam beberapa hari mendatang.
IOM Indonesia saat ini membantu lebih dari 7.000 pengungsi di Indonesia dengan perawatan dan bantuan yang komprehensif, termasuk akomodasi, perawatan kesehatan, dukungan kesehatan mental dan psikososial, pendidikan, dan kebutuhan dasar.
IOM juga bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mencegah dan melawan perdagangan orang, memperkuat pelindungan bagi pekerja migran, meningkatkan pengurangan risiko bencana dan tanggap bencana, serta mendukung sistem manajemen perbatasan terpadu dengan fokus khusus memerangi pandemi COVID-19 saat ini.
Dengan adanya laporan dari media tentang kapal-kapal lain yang masih terdampar di laut, termasuk di mana dikhawatirkan banyak menelan korban jiwa, IOM sekali lagi mendesak Negara-Negara di kawasan regional ini untuk menegakkan komitmen Deklarasi Bali 2016, termasuk ikrar ASEAN untuk melindungi yang mereka yang paling rentan dan memastikan tidak ada yang tertinggal, terutama pada saat yang sangat menantang secara global ini.
Dalam pernyataannya baru-baru ini, IOM mendesak negara-negara di kawasan regional ini untuk bekerja segera dan secara bersama-sama menghindari terulangnya krisis tahun 2015 di mana ribuan laki-laki, perempuan, dan anak-anak mengalami tantangan luar biasa dalam mengakses layanan dan bantuan penyelamatan jiwa yang mengakibatkan banyaknya nyawa yang hilang di laut. IOM juga menegaskan kembali bahwa tanggapan terkoordinasi untuk penyelamatan nyawa, termasuk operasi pencarian dan penyelamatan dan pendaratan yang aman, sangat dibutuhkan.
“Pemerintah dan mitra kemanusiaan telah berkumpul dan bekerja bersama sebelumnya untuk mengatasi hal serupa di kawasan regional ini. Kami mengingat kembali komitmen untuk mengatasi migrasi ireguler melalui jalur laut dan pelestarian kehidupan di laut yang dilakukan melalui Bali Process dan mekanisme Konsultatif Regional. Dengan nyawa dan keselamatan para pengungsi tergantung pada keseimbangan, di tangan para penyelundup, kami sekali lagi menyerukan medesaknya aksi regional,” kata Hoffmann.
Bantuan kemanusiaan IOM untuk pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh didanai oleh U.S. Department of State’s Bureau of Population, Refugees, and Migration (PRM) dan European Civil Protection and Humanitarian Aid Operations (ECHO).
Konteks pergeseran wilayah hidup imigran
Dikutip dari data UNHCR yang dirilis oleh Statista, migrasi warga dunia akibat konflik dan perang mencapai 89 juta pada akhir 2021 lalu. Angka ini naik 8 persen dan diprediksi menyentuh 100 juta sebelum akhir tahun 2022 ini.
Lebih dari 2/3 migran dunia bergeser di lima negara pada 2021. Data menunjukkan, Suriah menyumbang angka imigran yang besar hingga 6,8 juta. Masyarakat Venezuela menempati posisi kedua imigran terbanyak yakni 4,6 juta menyebar di daratan Amerika. Berikutnya adalah imigran asal Afghanistan dengan total 2,7 juta orang.
Dalam kondisi ini krisis pangan sampai kekerasan sampai menghantui imigran di wilayah Asia Selatan. Angka wilayah ini meningkat dari 2,2 juta pada 2020 lalu menjadi 2,4 juta pada akhir 2021. UNHCR mencatat sebagian besar imigran ini berasal dari; Uganda (958,900), Sudan (803,600), Ethiopia (386, 800) dan Kenya (135,300).
Berdasarkan data dari IOM, ada 24.023 imigran terbunuh pada 2014 sampai Mei 2022 ketika melintasi Laut Mediterania. Angka yang cukup besar ini memang membengkak antara tahun 2015-2016. Angka kematian imigran juga tinggi di wilayah Gurun Sahara yakni 5.323 orang dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Kematian imigran juga cukup besar bagi mereka yang melintasi Amerika Serikat dan Meksiko dengan jumlah kematian 3.761 antara 2014 sampai 2022.
Angka ini menunjukkan, kematian imigran banyak disebabkan oleh kecelakaan dalam perjalanan, kekerasan, maupun masalah kesehatan yang tak tertangani dalam perjalanan. Akibatnya banyak jenazah imigran yang tidak berhasil teridentifikasi atau bahkan terabaikan hingga tak menemukan peristirahatan terakhirnya.
Jaminan kesehatan kelompok migran
Asal tahu saja, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa kelompok migran atau pengungsi adalah kelompok rentan yang paling rawan mengalami disabilitas akibat minimnya akses kesehatan.
Berdasarkan laporan terbaru WHO yang dirilis pada awal Desember 2022, selain kelahiran prematur, sistem kesehatan yang tidak kompeten menyebabkan banyak masyarakat mengalami disabilitas dan bahkan meninggal di bawah usia 20 tahun. Beberapa penyakit penyerta antara lain; asma, depresi, diabetes, sampai stroke. Pemicunya adalah kesenjangan akses kesehatan bagi masyarakat dunia.
Menurut Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, ada temuan tentang buruknya pelayanan kesehatan di beberapa negara, sulitnya akses kesehatan, kondisi lingkungan yang buruk, hingga manajemen keuangan pasien yang tidak membantu pembiayaan pasien.
“Temuan ini menandakan, orang-orang dengan disabilitas membutuhkan bantuan dan layanan kesehatan yang setara juga inklusif. Ada 80 persen disabilitas ini adalah mereka yang berasal dari negara berpenghasilan rendah, termasuk bagi kelompok imigran,” sambungnya.
Dr. Tedros menyebut ada 281 juta migran di dunia yang tidak memiliki tempat tinggal ataupun negara tujuan, namun berhadapan dengan ancaman perubahan iklim, perdagangan manusia, kesenjangan ekonomi, dan masalah kesehatan. Oleh karenanya penting untuk meningkatkan kapasitas tenaga medis. Salah satunya dengan menggelar Global School on Refugee and Migrant Health ketiga di Dhaka, Bangladesh, dengan fokus utama peningkatan kapasitas tenaga medis.
“Migrasi memberi dampak jangka panjang secara fisik dan mental bagi kelompok migran. Adanya perbedaan kultur, bahasa, keuangan, stigma dan diskriminasi, akan sangat menyulitkan migran mengakses layanan kesehatan,” sambungnya.
Oleh karenanya, peran vital tenaga medis harus ditingkatkan melalui WHO Global School on Refugee and Migrant Health tersebut.
Dr. Poonam Khetrapal Singh, Direktur Regional WHO Asia Tenggara menambahkan, hak asasi manusia adalah pondasi untuk menjamin hak-hak dasar kelompok migran. “Jika mereka dihormati, dilindungi, maka hak-hak mereka yang paling rentan harus disadari dan dilayani,” kata Dr. Poonam.
Dia menambahkan, saat ini 7,1 juta warga Bangladesh bermigrasi dan dapat mencapai jumlah 13,3 juta pada 2050. Kondisi ini sangat berkaitan dengan konflik di Myanmar. Dia mengingatkan dalam menjaga hak-hak migran, penting untuk saat ini menjamin hak vaksinasi COVID-19 untuk menjaga imun masyarakat.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post