Jakarta, Prohealth.id – Menkes Budi Gunadi Sadikin menyampaikan hasil arahan Presiden Jokowi usai mengikuti ratas terkait Strategi Percepatan Penurunan Stunting secara virtual, Selasa (11/01/2021).
Menurutnya, angka stunting di tahun 2021 telah mencapai 24,4 persen. Presiden berharap prevalensi stunting pada tahun 2024 turun menjadi 14 persen. “Hitung-hitungan kami turunnya mesti 2,7 persen per tahun,” katanya.
Untuk mencapai target tersebut pemerintah melakukan dua intervensi holistik yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Dijelaskan oleh Budi, intervensi spesifik adalah intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dan kepada ibu sebelum dan di masa kehamilan, yang umumnya dilakukan di sektor kesehatan.
Sementara itu, intervensi sensitif dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dan merupakan kerja sama lintas sektor.
“Untuk menurunkan stunting, 30 persen bergantung kepada intervensi spesifik (dan) 70 persen bergantung kepada intervensi sensitif,” terangnya.
Budi menjelaskan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai pelaksana percepatan penurunan angka stunting nasional akan mengoordinasikan upaya intervensi tersebut dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
“Kami di Kementerian Kesehatan membantu Pak Kepala BKKBN konsentrasi yang intervensi spesifik, yang 30 persennya,” katanya.
Lebih jauh Budi menekankan bahwa intervensi stunting perlu dilakukan sebelum dan setelah kelahiran. Intervensi sebelum kelahiran diperlukan karena berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 sekitar 23 persen anak lahir dengan kondisi sudah stunted akibat kurang gizi selama kehamilan.
“Intervensi spesifik sebelum lahir berkontribusi sebesar 23 persen,” katanya.
Sementara, setelah kelahiran stunting meningkat signifikan pada usia 6-23 bulan yang diakibatkan kekurangan protein hewani pada makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang mulai diberikan sejak usia 6 bulan.
Dia memaparkan, pihaknya melakukan tiga intervensi spesifik sebelum kelahiran. Pertama, pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil serta peningkatan asupan gizi.
“Yang kita lakukan adalah kita sudah mengubah Permenkes yang tadinya hanya memberikan Tablet Tambah Darah (TTD) menjadi mengonsumsi,” ujarnya.
Kedua, meningkatkan pelaksanaan konsultasi ibu hamil dari empat kali menjadi enam kali.
“(Konsultasi) harus dengan dokter, supaya kalau ada perkembangan yang kurang bagus dari kehamilan sehingga menyebabkan stunting, dokter bisa tahu dan bisa melakukan intervensi medis,” ujar Budi.
Ketiga, memantau perkembangan janin selama kehamilan. Kemenkes akan melengkapi seluruh puskesmas dengan peralatan USG. Saat ini baru sekitar dua ribu puskesmas yang memiliki USG.
“USG itu dibutuhkan untuk melihat apakah perkembangan bayinya itu sesuai dengan yang seharusnya, apakah perkembangan plasentanya juga baik, sehingga kalau ada kemungkinan dia kekurangan gizi karena perkembangan yang tidak baik dilihat oleh dokter pada saat ANC dengan USG kita bisa melakukan intervensi sebelum lahir,” terangnya.
Terkait intervensi setelah kelahiran, Menkes menyampaikan bahwa pihaknya mendorong ASI eksklusif. Kemudian, Kemenkes juga akan meningkatkan edukasi mengenai kecukupan gizi untuk makanan pendamping ASI (MP-ASI) terutama protein hewani.
“Intervensinya kita untuk anak-anak yang ASI-nya sudah selesai dan harus dikasih makanan tambahan itu kita usahakan dikasih telur satu dan susu yang nanti dananya kita bisa ambil dari Dana Desa atau dari dana khusus,” ujarnya.
Kecukupan gizin paling sukses didunia adalah dengan memberikan satu telur satu hari untuk anak dibawah 12 tahun. Setelah usia 12 tahun, boleh diberikan susu. “Susunya harus susu UHT, bukan susu kental manis ya…” katanya.
Selain itu, Kemenkes juga akan memantau perkembangan dan pertumbuhan balita. Budi menyampaikan bahwa pihaknya akan melengkapi alat pengukur berat dan pengukur tinggi balita di seluruh desa.
“Kalau diukur beratnya kurang dari standar, dia harus dirujuk ke puskesmas, itu namanya weight faltering. Kalau tingginya kurang, stunted, dikirimnya ke rumah sakit,” terangnya.
Bayi dengan gizi kurang akan mendapatkan tambahan asupan gizi sementara bayi gizi buruk akan mendapatkan pelayanan tata laksana gizi buruk. Selain itu akan diberikan alat ukur timbangan digital ke seluruh desa.
“Kalau dia sudah stunted, ini kan lebih parah, itu tata laksana gizinya harus lebih baik di rumah sakit. Ada namanya PKMK (Pangan Olahan untuk Kondisi Medis Khusus) makanan khusus, itu kita masukkan juga ke paket BPJS agar bayi-bayi yang stunted ini atau tinggi badannya kurang itu bisa di-address di rumah sakit, jadi rujukan dan treatment-nya,” terang Menkes.
Intervensi spesifik setelah kelahiran lainnya adalah pelaksanaan imunisasi dasar lengkap. Harapannya semua gizi yang masuk digunakan untuk membantu perkembangan anak.
“Kita akan memastikan imunisasi dasar lengkap ini naik lagi karena kemarin agak turun. Kita akan pastikan naik dan kita akan integrasikan dengan sistem vaksinasi Covid-19, jadi monitoring-nya jauh lebih berbasis teknologi dan real time,” tandasnya.
Budi menyampaikan, pihaknya akan menambahkan dua vaksinasi dasar yaitu vaksin pneumonia Rotavirus dan Vaksin PCV untuk melindungi bayi dari infeksi di 1.000 hari pertama.
“Vaksinasi untuk pneumonia dan juga diare, Rotavirus dan PCV. Dengan demikian diharapkan selama dua tahun pertama masa kritisnya atau 1.000 hari kehidupan, dia tidak kena sakit sehingga gizinya masuk semua bisa langsung dipakai buat pertumbuhan, bukan untuk melawan penyakitnya,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post