Jakarta, Prohealth.id – Tim Riset Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI) memandang ketengan menjadi tantangan untuk upaya pengendalian konsumsi rokok oleh anak-anak.
Peneliti PKJS UI, Risky Kusuma Hartono, menyampaikan hasil riset dalam seminar daring, yang berjudul ‘Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian’. Penelitian itu menunjukkan kecenderungan ketengan rokok pun mendorong kemunculan perokok baru yakni anak-anak dan remaja.
“Harga rokok per bungkus menjadi lebih terjangkau bila dijual secara ketengan,” katanya, Rabu (16/6/2021).
Harga rokok per bungkus yang kini terbilang murah karena dijual ketengan terbukti membuat jumlah perokok anak tak terbendung. Kondisi ini ucap dia, bisa menimbulkan bahaya ganda.
“Rokok (sebatang) dikonsumsi bersama atau joint,” ucapnya.
Menurut dia, ketika pembeli mendapat rokok secara ketengan maka konsumen tersebut akan terlepas dari informasinya. Dalam penjualan ketengan, peringatan hingga gambar efek samping tidak tersampaikan.
“Pembeli kehilangan momen melihat gambar bahaya merokok pada bungkus,” ujarnya.
Risky menjelaskan, jika meninjau regulasi nasional terkait rokok sejak tahun 1995 hingga 2020, belum ada yang mengatur pembatasan jualan ketengan. Tak adanya peraturan tersebut dianggap menyebabkan orang lebih mudah mendapat rokok.
“Masyarakat tanpa lisensi menjadikan rumah untuk menjual rokok eceran,” katanya.
SEBARAN PENJUALAN ROKOK KETENGAN
Tim riset PKJS UI pun menyoroti analisis data terkait densitas atau kepadatan warung rokok eceran. Sorotan terkait kepadatan warung rokok dibagi lagi dalam beberapa poin terkait akses, yaitu jarak dengan populasi, kilometer persegi, kawasan sekolah.
“Radius yang dekat itu kurang dari 100 meter,” ucap Risky.
Ada pula survei aksesibilitas jualan rokok ketengan menemukan ada 8.371 warung rokok eceran di DKI Jakarta. Jika merujuk data melalui pemetaan menggunakan Google Maps dan Google Street View, jumlah warung rokok eceran beragam di setiap wilayah kota madya.
“Dari hasil ini cukup mudah dijangkau oleh penduduk, termasuk anak-anak,” katanya.
Adapun jumlah warung rokok eceran di Jakarta Selatan tercatat sebayak1.293 warung, Jakarta Timur sebanyak 3.085 warung, Jakarta Pusat sebanyak 1.457 warung, Jakarta Barat sebanyak 2.139 warung, Jakarta Utara sebanyak 397 warung.
“Ada kurang lebih 15 warung rokok eceran setiap satu kilometer persegi di Jakarta,” sambungnya.
Risky mengatakan, jika ditinjau dari sisi perkenalan produk, 80 persen warung masih memajang promosi rokok. Umumnya disosialisasikan berupa spanduk di depan warung.
Ada pula yang melakukan promosi rokok eceran, yakni 11,3 persen. “Misalnya beli rokok satu gratis satu,” katanya.
Sedangkan yang memudahkan untuk mendapat rokok eceran, karena pembeli boleh utang. “Itu (hasil persentase) lebih dari 50 persen,” ucapnya.
Riset juga menghimpun data mengenai penjual rokok di Jakarta. Risky menjelaskan, persentase berdasarkan jenis kelamin penjual rokok lebih banyak laki-laki. Perbandingannya 58,06 persen laki-laki dan perempuan 41,94 persen.
Jika ditinjau dari kategori pendidikan, pedagang rokok kebanyakan lulusan SMA, yakni 37,10 persen. Secara rinci, rata-rata pendidikan akhir pedagang rokok lulusan SD sekitar 27,42 persen, lulusan SMP ada 29,03 persen, sementara lulusan perguruan tinggi sejumlah 3,23 persen.
Riset juga menunjukkan, rokok termasuk produk penjualan tertinggi dibandingkan komoditas lain, antara lain sembako dan jajanan. Penjualan rokok tiap pekan rata-rata di atas 300 batang.
“Bahkan ada warung yang bisa menjual lebih dari 1.000 batang per-minggu,” ucapnya.
Dari kategori merek rokok yang terkenal paling laris dijual ketengan. “Kalau dijual per-batang lebih terjangkau dibeli anak-anak. Harganya (ketengan) relatif murah, berkisar Rp 1.500 per-batang,” katanya.
Penjabat Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Teguh Dartanto menjelaskan, penelitian tersebut terkait gambaran ketika anak-anak merokok menjadi hal yang umum atau prevalensi.
“Isu pertama affordability (keterjangkauan) harga rokok. Kalau murah anak-anak bisa membeli dengan uang sakunya,” katanya.
Dia menambahkan, keberadaan warung yang mudah dijangkau juga memudahkan anak-anak mendapat rokok.
“Kalau rokoknya murah tapi enggak ada, itu juga enggak bisa dibeli,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post