Jakarta, Prohealth.id – Segelintir masyarakat Madura masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan tradisi. Salah satunya adalah tradisi abekalan, yaitu prosesi pertunangan melalui jalur perjodohan.
Sebua video sempat viral beberapa waktu lalu mengenai pertunangan anak usia dini di Madura. Informasi tersebut spontan kembali menyulut perdebatan publik.
Psikolog Keluarga dan Anak Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Nurul Hartini menyampaikan bahwa tradisi ini mulai tergerus seiring dengan perubahan budaya. Ia mengungkapkan, sebagian masyarakat Madura sebenarnya sudah mulai meninggalkan tradisi pertunangan anak usia dini. Menurutnya, pergeseran itu menjadi titik terang terhadap peningkatan pendidikan dan kesejahteraan anak. Prof. Nurul menekankan pentingnya pemahaman orang tua terhadap tugasnya dalam menyokong perkembangan anak. Ia mengingatkan orang tua perlu memahami bahwa setiap usia perkembangan anak memiliki tugas yang berbeda.
“Anak di bawah usia enam tahun seharusnya lebih banyak mengeksplorasi hal yang berkaitan dengan perkembangan sensorik, motorik, dan kesiapan belajar,” jelasnya, melalui kutipan siaran pers dari UNAIR, Sabtu (27/4/2024).
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa usia tersebut adalah masa golden age untuk mengeksplorasi kemampuan dan minat anak. Prof. Nurul menyoroti bahwa eksplorasi ini penting untuk membangun kemandirian dan minat sesuai bakat mereka hingga beranjak remaja.
Prof. Nurul menyatakan bahwa belum ada kepastian apakah tradisi ini menghambat anak-anak dalam menjalin hubungan sosial di sekolah. Yang mana, anak-anak belajar berkolaborasi dengan teman sebaya, baik laki-laki maupun perempuan.
Pertimbangan Psikologis
Secara psikologis, Prof. Nurul menyatakan bahwa remaja mulai mempertimbangkan intimate relationship sejak menginjak usia remaja. Merujuk pada UU Pernikahan, Prof Nurul menyebutkan bahwa kematangan psikologis individu mulai terbentuk ketika memasuki usia dua puluhan.
Ia menjelaskan, dari segi perkembangan psikologis, seseorang mulai berpikir untuk membangun hubungan komitmen saat memasuki usia dewasa awal. Bahkan dalam Undang-Undang Pernikahan menyebutkan bahwa usia 19 tahun baru boleh menikah.
“Padahal individu baru memahami edukasi secara psikologis sekitar usia 20 tahun ke atas,” paparnya.
Prof. Nurul juga meninjau bahwa tradisi itu juga dapat memengaruhi kesehatan mental anak. Namun, belum ada kepastian seberapa jauh pengaruh tradisi ini terhadap kesehatan mental anak. Selain itu, ia menuturkan bahwa terdapat peran faktor lainnya, seperti proses pembelajaran sosial, kesehatan mental dan fisik.
Prof Nurul menilai orang tua dan budaya tidak dapat disalahkan secara langsung. Sebaliknya, komunitas dan tokoh masyarakat berperan penting dalam memberikan edukasi dan pengaruh positif terhadap tradisi ini. Ia menyebut, ada perjalanan panjang dan pertimbangan-pertimbangan yang akan berubah seiring dengan edukasi yang baik dan literasi yang positif.
“Selain itu, pendidikan dan literasi yang konstruktif lebih penting daripada sekedar menyalahkan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Prof Nurul merekomendasikan pendekatan edukasi melalui lingkungan dan pola asuh yang konstruktif bagi perkembangan anak-anak. Misalnya, stimulasi dan perlakuan dari lingkungan akan berdampak pada perilaku anak.
“Apapun treatment pola asuh orang tua diharapkan dapat memberikan support positif untuk perkembangan anak,” tuturnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post