Jakarta, Prohealth.id – Selama berpuluh tahun industri rokok konsisten mendanai kegiatan musik di Indonesia. Terbukti, ketergantungan terhadap industri rokok telah menjadikan sebagian musisi dan masyarakat penggemar musik membela mati-matian industri rokok sebagai sponsor acara musik.
Padahal rokok yang mereka bela adalah produk yang mengandung 7000 zat kimia yang 65 diantaranya bersifat karsinogen penyebab kanker.
Ketua Lentera Anak Lisda Sundari meyakini dukungan fanatik dari musisi dan penggemar musik menjadikan industri rokok terus melestarikan kedigdayaan mereka sebagai sponsor acara musik. Meskipun kerap dikritik dan mendapat penolakan, industri rokok tetap percaya diri. Bahkan tidak pernah jera mensponsori kegiatan musik di negeri ini.
Ia mengingatkan bahwa sejatinya ini memang siasat manipulatif industri rokok untuk terus menyasar konsumennya. Sebab para penonton konser didominasi anak muda usia 12-21 tahun yang menjadi target perokok masa depan mereka.
“Musik telah menjadi gaya hidup anak muda dan konser musik menjadi pintu masuk yang strategis untuk merangkul mereka,” tegas Lisda melalui siaran pers, Kamis (11/9/2025).
Dalam dokumen BAT International nomor kode 5000010132, Grey Pacific, penanggung jawab kampanye rokok Kent di kawasan Asia, secara khusus mengulas kekuatan musik. Bahwa “music memiliki pesona universal dan berpengaruh kuat untuk menuju target perokok”. Sehingga tidak heran di rentang era 80-an industri rokok intensif mensponsori puluhan acara music di beberapa negara di Asia, bahkan di Indonesia.
Musisi Log Zhelebour misalnya secara rutin menggelar Festival Rock se Indonesia sejak 1984 hingga 2000-an. Kegiatan ini menggandeng sponsor rokok Djarum dan Gudang Garam.
Meskipun mendapat penolakan, industri rokok selalu menemukan siasat kreatif untuk mendekati pecinta musik Indonesia. PT Djarum Tbk misalnya pernah menjadi sponsor utama acara Java Jazz Festival (JJF). Mereka mengusung nama acara Jakarta International Djarum Super Mild Java Jazz Festival.
Pada 2014 Djarum sudah tidak menjadi sponsor utama JJF, digantikan Bank BNI sebagai sponsor utama. Tapi pihak Java Jazz Production sebagai pelaksana JJF tetap mengakomodir industri rokok sebagai sponsor dengan memberikan kompensasi area panggung dan permainan bernama MLD Spot. Walaupun sudah tidak dengan nama Djarum, MLD Spot tetap berasosiasi dengan rokok Djarum MLD.

Beberapa hari lalu, Indonesia telah menggelar kegiatan musik Pestapora 2025, dan menggandeng salah satu merek rokok konvensional dan rokok elektronik sebagai sponsor. Ini membuktikan bahwa rokok memang mengincar anak muda sebagai target pasar mereka. Booth rokok tersebut terpampang di area Pestapora 2025, dan kegiatan ini dipublikasikan secara luas melalui media massa dan media sosial.
Penyelenggara “Pestapora 2025” telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan (PP Kesehatan). Aturan ini jelas sudah membatasi secara ketat sponsorship industri tembakau. Pada pasal 454 PP 28/2024 tertuang, sponsorship oleh perusahaan produk tembakau dan/atau rokok elektronik hanya dapat dilakukan dengan tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau dan rokok elektronik termasuk citra merek produk tembakau dan rokok elektronik.
Lebih lanjut, sponsorship tidak boleh bertujuan mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik. Pasal ini juga secara tegas melarang adanya peliputan media dalam kegiatan sponsorship.
Sekjen Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, menegaskan sponsor rokok dalam “Pestapora 2025” menciptakan normalisasi produk tembakau di mata anak dan remaja yang masih rentan. Keberadaan sponsor rokok berdampingan dengan produk yang normal telah mengaburkan bahaya kesehatan dari rokok. AKibatnya, memberikan kesan produk tembakau aman, tidak berbahaya, dan tidak bertentangan dengan gaya hidup sehat.
Sudah banyak studi menyebutkan bahwa paparan iklan, promosi dan sponsor rokok berkorelasi positif dengan keinginan untuk mencoba merokok. Hasil riset Komnas Pengendalian Tembakau bersama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LPPSP FISIP UI), 2020 menyatakan kegiatan yang disponsori langsung merek rokok mempengaruhi citra merek, dan mempengaruhi intensi membeli rokok. Sikap terhadap sponsor yayasan menjadi prediktor kuat bagi citra merek, dimana citra merek mempengaruhi citra perusahaan. Keduanya mempengaruhi sikap akan merek, dan akhirnya mempengaruhi intensi membeli rokok. Intinya, tanpa menunjukkan merek secara langsung pun, sponsorship industri rokok atau afiliasinya akan mendorong intensi anak dan remaja untuk merokok.

Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan menunjukkan kondisi mengkhawatirkan. Lebih dari 70 juta orang Indonesia adalah perokok aktif, dengan 7,4 persen di antaranya perokok berusia 10-18 tahun. Ini berarti 5,9 juta anak Indonesia telah menjadi perokok aktif pada tahun 2023.
Proyeksi WHO menunjukkan proporsi perokok Indonesia diprediksi naik menjadi 38,7 persen dari total penduduk pada tahun 2025. Ini menempatkan Indonesia pada urutan ketiga negara dengan proporsi perokok terbanyak dunia.
Yang menarik, pada event “Pestapora 2025” sejumlah musisi mundur menjadi peserta. Sikap itu ada karena mereka menolak PT Freeport, yang memiliki reputasi buruk merusak lingkungan, sebagai sponsor acara. Pihak penyelenggara akhirnya memberikan klarifikasi tidak menerima uang dari PT Freeport dan memutuskan tetap melaksanakan acara musik ini tanpa sponsor PT Freeport.
Menurut Tulus Abadi, sikap tegas kepada perusahaan tambang yang dinilai merusak lingkungan seharusnya juga ditunjukkan pihak penyelenggara dengan menolak sponsor rokok di event tersebut, mengingat dampak buruk rokok bagi kesehatan.
“Seharusnya penyelenggara juga menolak industri rokok menjadi sponsor di acara musik yang ditonton oleh anak dan remaja. Apalagi liputan acara ini cukup besar di media massa dan ini jelas-jelas melanggar Pasal 454 PP 28/2024 tentang Kesehatan,” kata Tulus Abadi.
Dalam pasal 454 PP 28/2024 industri rokok dilarang menggunakan merk dagang, logo, termasuk citra merek. Jika kita konsisten menolak Freeport karena merusak lingkungan, mengapa tidak konsisten menolak industri rokok yang merusak generasi muda? Padahal, masa depan Indonesia ada di tangan generasi yang sehat, bukan generasi yang kecanduan nikotin sejak remaja. Ini menunjukkan double standard.
Manik Marganamahendra, Ketua Indonesian Youth Council For Tactical Changes (IYCTC), menegaskan bahwa selain merusak kesehatan publik, setiap tahun, sekitar 4,5 triliun puntung rokok dibuang sembarangan ke lingkungan. Ini menjadikannya salah satu polutan manusia terbesar di lautan. Jika alasan menolak Freeport juga karena masalah lingkungan, maka sudah semestinya kita juga menolak industri rokok hadir di event musik.
“Selain punya banyak catatan buruk karena melanggar HAM dan mengancam kesehatan, kehadiran industri rokok di event musik adalah bentuk promosi eksploitatif. Ini memanfaatkan kerentanan orang muda di kegiatan yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Apalagi jika dipromosikan oleh idola musiknya, ini jelas berbahaya bagi pilihan orang muda untuk memilih gaya hidupnya.” tambah Manik.
Agar kejadian seperti ini tidak terus berulang, Pemerintah harus secara tegas mengimplementasikan PP 28/2024 tentang Kesehatan. Khususnya pasal 454 tentang larangan sponsor produk tembakau dan elektronik, dan memberikan sanksi atas pelanggaran peraturan. Pihak penyelenggara acara musik atau acara-acara publik lainnya harus mematuhi peraturan yang ada. Wajib mengedepankan tanggung jawab moral untuk tidak turut menjadi pihak yang mendukung promosi produk yang buruk bagi masyarakat.
Di sinilah pentingnya kehadiran Negara membuktikan komitmen dalam bentuk penegakan peraturan yang kuat. Tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada anak dan remaja dari dampak rokok dan dari siasat pemasaran industri rokok yang terus menargetkan anak muda sebagai konsumen masa depan mereka. Tanpa penegakan peraturan dan sanksi yang tegas, industri rokok akan selalu mencari celah dan siasat manipulatif untuk menargetkan anak.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post