Data Kemenkes menyebutkan tingkat angka kematian akibat konsumsi rokok masih menempati angka kedua tertinggi di Indonesia. Disamping itu, prevalensi perokok anak pun kian meningkat sementara regulasi pengendali konsumsi rokok seperti PP 109/2012 tentang rokok juga malfungsi. Padahal peta jalan atau roadmap kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang saat ini sedang dirancang justru melaju pada arah kepentingan Industri Hasil Tembakau (IHT) atas nama pendapatan negara.
Dalam kegiatan workshop jurnalis Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta (AJI Jakarta) pada 27 Oktober 2022 lalu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengatakan bahwa dalam merumuskan arah kebijakan peta jalan CHT, pihaknya telah menimbang dan menyeimbangkan empat pilar kebijakan. Ia juga mengatakan, kaitannya dengan pengendalian konsumsi rokok, pemerintah memiliki dua instrumen yakni fiskal dan non fiskal untuk mencapai sinergitas.
“Untuk melakukan pengendalian rokok, ada dua skema yakni fiskal dan non fiskal. Adapun fiskal dalam bentuk cukai ada batasannya bahwa kalau harga naik berarti rokok ilegal akan naik, sehingga kita perlu adanya sinergi kebijakan fiskal dan non fiskal,” ungkapnya dalam Workshop Daring Jurnalis yang mengangkat tema; Peta Jalan IHT: Menakar Arah Kebijakan Cukai Rokok.
Dalam paparannya, Nirwala menyampaikan bahwa instrumen fiskal tersebut terdiri dari kebijakan CHT yang diharapkan dapat menurunkan daya beli rokok sekaligus memberikan pemasukan negara, serta merumuskan CHT dengan empat pilar. Sementara pada instrumen non fiskal terdiri dari PP 109 tahun 2012, edukasi bagi pelajar, advokasi dan menghilangkan motif merokok. Oleh karena itu, menurut Nirwala perlu adanya aktualisasi instrumen non fiskal di masyarakat agar timbul kesadaran untuk menghilangkan motif merokok.
Adapun empat pilar yang menjadi landasan peta jalan penerapan tarif cukai diantaranya; pertama, pengendalian konsumsi yakni dengan memperhatikan aspek pengawasan dalam peredarannya karena rokok menimbulkan eksternalitas negatif.
Kedua, optimalisasi penerimaan negara karena dengan melihat anggaran belanja negara yang mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Ketiga, keberlangsungan industri yakni dengan memperhatikan serapan tenaga kerjanya, serta pendapatan negara yang besar dari tembakau dan cengkeh, terlebih lagi hingga saat ini 95 persen serapan produksi cengkeh berasal dari IHT.
Keempat, adanya peredaran rokok ilegal yang dalam hal ini Nirwala menegaskan bahwa terdapat korelasi positif antara kenaikan cukai rokok dengan peredaran rokok ilegal, karena mayoritas pemegang saham industri rokok adalah pemerintah sehingga industri rokok merupakan BUMN swasta.
“Ada korelasi positif antara kenaikan harga rokok akibat kenaikan cukai dan peredaran rokok illegal. Ini perlu kita sadari bahwa industri rokok adalah BUMN swasta. Karena pemegang saham mayoritasnya adalah pemerintah,” ungkap Nirwala.
Baca Juga: Perpres IHT dan Taruhan Nasib Anak Indonesia
Dalam membentuk peta jalan IHT, Nirwala mengakus optimis pembentukan peta jalan akan berhasil karena Kementerian Keuangan dalam menetapkan tarif cukai mengacu pada empat pilar tersebut. Sementara, peta jalan tersebut terdiri dari 4 tahap. Pertama, peta jalan diharapkan merupakan hasil penyelarasan kepentingan setiap kementerian atau lembaga terkait. Kedua, peta jalan juga diharapkan mampu memberikan kepastian pada semua pihak baik pemerintah sendiri maupun pengusaha. Ketiga, kewenangan terkait fiskal, administrasi cukai dan penegakan hukum tetap mengacu pada Undang-Undang Cukai. Keempat, seluruh kementerian atau lembaga harus berkomitmen untuk melaksanakan peta jalan IHT.
Menimbang Arah Kebijakan CHT
Menanggapi paparan tersebut, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi mengatakan bahwa arah kebijakan tersebut terlihat seperti sebuah strategi untuk pendapatan negara, bukan sebagai upaya instrumen pengendalian produk yang kena cukai. Padahal menurut Tulus, jika dilihat secara fungsional, pokok dari kebijakan cukai seharusnya menjadi upaya untuk instrumen pengendalian konsumsi tembakau bukan untuk upaya pengendalian pendapatan.
“Menurut saya hal ini agak mengalami sesat pikir atau karena rendahnya pendapatan pajak sehingga cukai seolah menjadi panglima baru dalam upaya negara mendapatkan pendapatan pajak dari sektor cukai. Jadi sebetulnya cukai itu secara fungsional itu harus menjadi upaya untuk instrumen pengendalian bukan upaya untuk pengendalian pendapatan,” ujar Tulus.
Prohealth.id mencatat, kinerja pemasukan negara dari pajak dan belum termasuk cukai saja sudah optimal. Dikutip dari situs Kementerian Keuangan, sampai dengan Agustus 2022, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan pajak mencapai Rp1.171,8 triliun.
Dalam keterangannya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyebut kinerja penerimaan pajak yang sangat baik pada periode Januari-Agustus 2022 ini sangat dipengaruhi oleh tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, basis yang rendah pada tahun 2021 akibat pemberian insentif fiskal, dan adanya dampak implementasi Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dengan demikian Suryo menilai tumbuhnya penerimaan pajak sampai dengan Agustus 58,1 persen, capaian Rp1.171 triliun pada waktu target APBN sudah sesuai Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yakni Rp1.485 triliun.
Berkaca dari kondisi tersebut, Tulus juga menambahkan, arah kebijakan CHT yang ditetapkan saat ini cenderung lebih mengutamakan kepentingan industri tembakau. Dugaan itu ditandai dengan dibuatnya peta jalan IHT yang berorientasi lebih kepada kelangsungan industri. Selain itu, ia juga mempertanyakan sikap responsif pemerintah dalam merespon kepentingan industri daripada kepentingan pengendalian tembakau yang merupakan kepentingan masyarakat.
“Apakah ini untuk sebuah regulasi yang bisa direkayasa atau kemudian memang ada upaya yang patut kita pertanyakan kenapa kemudian kalau menyangkut kepentingan industri pemerintah begitu ngotot untuk membuat roadmap dll. Tapi ketika roadmap itu untuk kepentingan kesehatan untuk pengendalian tembakau itu pemerintah lambat,” ungkap Tulus.
Berbeda halnya dengan Tulus, Advokat senior FAKTA, Tubagus Haryo Karbiyanto menilai bahwa peta jalan IHT bagaikan istilah Irreconcilable Conflict of Interest, yang artinya di dalam beleid ini terdapat dua kepentingan yang tidak mungkin disatukan. Dia berkaca pada kejadian tahun 2015, Tubagus bersama dengan solidaritas Advokat Pengendalian Hasil Tembakau berhasil menggugat peta jalan IHT ke Mahkamah Agung yang kemudian hasilnya menunjukkan peta jalan IHT tahun 2015 justru bertentangan dengan UU Kesehatan, UU Cukai, UU HAM, dan UU Perlindungan Anak.
“Jadi kalau roadmap IHT yang waktu itu juga dia mengemukakan tahun ini industri dulu, tahun ini tenaga kerja tahun ini baru kesehatan. Belum sampe tahap kesehatan sudah bikin roadmap lagi. Makanya waktu itu roadmap kita bawa ke ranah hukum, roadmap itu kemudian dicabut,” ungkap Tubagus.
Baca Juga: Bukan Kenaikan Cukai yang Bikin Petani Tembakau Merugi
Lebih lanjut, ia juga memaparkan bagaimana usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Tembakau dipelopori oleh Komite Nasional Pembela Kretek gencar dirumuskan DPR dengan berbagai termin positif seperti harmoni, mempertimbangkan seluruh aspek dan seterusnya. Bahkan mereka juga mencantumkan pengendalian konsumsi rokok dalam RUU tersebut. Namun, rancangan RUU Pertembakauan ini mendapat penolakan tegas dari Menteri Kesehatan tahun 2012, Nafsiah Mboi. Hal ini karena RUU Tembakau tersebut disinyalir adanya kepentingan pihak industri di mana dalam RUU tersebut juga terdapat bahasan tentang pengembangan rokok alternatif lebih lanjut.
“Kalau lihat fenomena perpres tentang IHT, saya jadi ingat mirip-mirip waktu itu DPR kita gencar sekali mengusulkan RUU Pengendalian Tembakau, dan termin yang dipakai adalah harmoni, seimbang, mempertimbangkan seluruh aspek, dst dst. Untungnya waktu itu bu Nafsiah Mboi selaku Menkes secara tegas menolak adanya RUU Pertembakauan, karena memang secara substansi naga-naganya perpres ini pun akan memberikan karpet merah untuk IHT, termasuk ada di situ pengembangan lebih lanjut tentang rokok alternatif, “ ungkap Tubagus.
Berdasarkan hal itu, Tubagus menegaskan perlu kejelasan terkait ke mana arah peta jalan IHT tersebut. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa dengan mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sebaiknya kementerian atau lembaga terkait memikirkan pengadaan peta jalan untuk menurunkan prevalensi perokok anak.
“Dan kalau kita bicara tentang prevalensi perokok, kita sekarang punya RPJMN bagaimana sebetulnya semua K/L ketimbang ngomongin roadmap untuk kepentingan industri, sebaiknya ngomongin bagaimana caranya ada roadmap untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari 9,1 menjadi 8,7,” pungkas Tubagus.
Selanjutnya: Pelaku IHT Tolak Kenaikan Cukai, Ini Dampaknya Bagi Masyarakat
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post