Tari (bukan nama sebenarnya), ibu dua anak berusia balita, galau gulana. Kiano (bukan nama sebenarnya), anak pertamanya harus dirujuk ke salah satu rumah sakit di kota tempat ia tinggal di Bandar Lampung. “Habis dari puskesmas, periksain Kiano, batuknya nggak sembuh-sembuh. Besok mau dirujuk ke (RS) Graha (Husada), mau periksa lebih lanjut,” katanya kepada Prohealth.id melalui pesan WA pada Juli 2022 lalu
Tari cemas, anak sulungnya itu kemungkinan terkena Tuberkulosis (TB) karena batuk yang tak kunjung sembuh dan mengingat riwayat dirinya yang pernah terkena TB. Apalagi beberapa waktu ini, Kiano tidak nafsu makan. “Duh, jangan sampai deh Kiano juga (terkena TB),” ucapnya cemas.
Tiga hari kemudian, dia kembali mengirim pesan kepada Prohealth.id mengenai kelanjutan pemeriksaan kesehatan Kiano. “Kata dokternya (dokter spesialis anak yang merawat), sementara belum mengarah ke TB karena BB-nya Kiano masih bagus (normal). Jadi dikasih obat batuk pilek dulu dan jangan terpapar asap rokok,” katanya lega.
Tari menngatakan, menurut dokter spesialis anak (DSA) yang merawat anaknya, kemungkinan Kiano (terkena) TB memang tipis. Menurut DSA-nya, faktor terbesar Kiano batuk-batuk bersumber dari asap rokok dan jajanan warung.
“Dokter anak di RS, dia begitu lihat riwayat batuk Kiano langsung tanya ada perokok ya di rumah? Dan langsung dokter itu bilang faktor utamanya pasti rokok,” kata Tari.
Usai mengatakan ini, Tari teringat pada anggota keluarga yang tinggal serumah dengannya. “Sebel aku di sini, bapak dan adikku perokok berat. Rasanya ingin cepat-cepat pindah dari sini,” ucap Tari mengeluarkan uneg-unegnya.
Semenjak menikah pada 2018, Tari dan suaminya masih tinggal bersama di rumah ibu kandung Tari. Dalam rumah tersebut, tinggal pula adik kandung Tari dan bapak tirinya. Tari mengungkapkan lagi kekesalannya bahwa bapak tirinya itu merokok terus dan kalau habis merokok, sering dekat-dekat kedua anaknya. “Aku risih kalau dia dekat-dekat Yuni (anak kedua Tari), suka nyium pipi Yuni, lah, dia (bapak tiri) abis ngerokok,” sambungnya kesal.
Baca Juga: Mau Dibawa ke Mana Nasib Simplifikasi Tarif Cukai Rokok?
“Kiano juga senang dekat-dekat dia (bapak tiri) pas lagi ngerokok. Itulah penyebab utamanya Kiano sering batuk,” kata Tari dengan emosi.
Selain itu, Tari juga memperhatikan bahwa setiap kali bapak tirinya ada di rumah maka anak sulungnya sering kumat batuknya. “Kayaknya benar dari terpapar asap rokok itu. Kalau bapak (tiri) lama tuh gak pulang, pagi di Kalianda, dia (Kiano) gak kumat-kumat batuknya. Ya, semoga saja bukan TB deh,” ujarnya yakin.
Berkaca dari pengalaman pribadinya ini, Tari mengatakan penting sekali menyediakan lingkungan tempat tinggal (rumah) yang bebas dari asap rokok terutama untuk anak-anak. “Buat pembelajaran ortu lainnya. Kasian banget anak-anak yang jadi korban asap rokok,” pesannya.
Sebagai langkah taktis untuk melindungi anak dari berbagai penyakit, Dokter Spesialis Anak, dr. Margareta Komalasari, Sp.A., gejala yang dialami Kiano serta sejumlah anak lainnya yakni; batuk, pilek, bisa berkembang lebih parah. Contohnya; stunting, hingga keterlambatan bicara adalah beberapa jenis gejala pada anak yang mengindikasikan penyakit tertentu. Oleh karena itu, sangat penting bagi anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang mendapatkan perlindungan dari keluarga sebagai support system terbesar, termasuk menjaga imunitas tubuh yang memengaruhi kesehatan anak.
Maka itu, selain menghentikan kebiasaan merokok dalam rumah, yang juga perlu dilakukan keluarga ialah memenuhi kebutuhan vitamin, probiotik pencernaan, dan gizi di percernaan anak terserap sempurna. Selain itu juga penting dukungan regulasi dari pemerintah untuk menjamin kesehatan anak.
Baca Juga: Anggi Maisarah: Nyaris Gabung Perusahaan Tembakau, Kini Gagas Aplikasi Pantau KTR
Langkah ambisius Perpres Peta Jalan IHT
Kiano hanya satu dari banyak anak-anak di Indonesia yang mengalami sakit bahkan secara sistemik menderita stunting akibat rokok. Kisah Kiano dan fakta-fakta bahaya asap rokok ataupun merokok pada anak tampaknya belum mendapat ruang perhatian dari pemerintah. Hal ini tercermin dengan langkah taktis dalam sunyi penyusunan peraturan presiden (Perpres) tentang Peta Jalan (roadmap) Industri Hasil Tembakau (IHT). Sementara, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi merokok usia 10-18 tahun meningkat sebesar 1,9 persen, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Dikutip dari situs resmi Kemenko Perekonomian, dijelaskan mereka tengah menyusun Peta Jalan IHT yang bertujuan memberikan kepastian dan kejelasan arah kebijakan industri hasil tembakau, termasuk kenaikan tarif cukai tembakau, diversifikasi produk tembakau, dan peningkatan kinerja ekspor tembakau.
Merespon penyusunan regulasi tersebut, 15 organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lentera Anak (YLA), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Indonesia Institute for Social Development (IISD), Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) Medan, Yayasan Kepedulian Untuk Anak (KAKAK) Surakarta, Yayasan Galang Anak Semesta (GAGAS) Mataram, Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) Sumatera Barat, Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Magelang (MTCC Unimma), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Center of Human & Economic Development Institut Teknologi & Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC), dan Gerakan Muda FCTC, akhirnya menyatakan menolak rencana pembuatan regulasi baru yakni Peraturan Presiden Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (Perpres IHT). Kelima belas organisasi ini menilai Perpres tersebut bertentangan dengan regulasi yang sudah ada dan bertolak belakang dengan cita-cita negara dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya.
Baca Juga: Alasan Orang Tua Ragu-ragu ke Posyandu
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menilai pemerintah tidak sensitif menanggapi desakan masyarakat untuk melindungi anak dari adiksi rokok. Padahal sejumlah fakta sudah membuktikan saat ini Indonesia berada dalam kondisi darurat perokok anak karena terus meningkatnya prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun.
“Seharusnya Pemerintah fokus menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020-2024, bukannya justru giat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau,” kata Lisda dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id.
Mewakili kelompok konsumen yang dirugikan seperti Tari, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, ikut menegaskan bahwa pemerintah seharusnya fokus melanjutkan proses amandemen PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, sebagai upaya pemerintah melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari bahaya rokok dan target pemasaran industri rokok.
“Bukannya malah membuat regulasi baru, dengan menggunakan judul yang sebenarnya sudah ditolak MA, dan secara substansi sama dengan Permenperin tentang Peta Jalan IHT yang sudah dicabut,” tandas Tulus.
Tak berdampak dan membentur regulasi
Roosita Meilani, Kepala Center of Human & Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan menilai Perpres peta jalan IHT ini jika merujuk pada pilar Pembangunan Indonesia Emas 2045 dengan pilar utama pembangunan manusia, maka sebenarnya peta jalan IHT ini telah mencederai visi Indonesia 2045. Dari sisi ekonomi pilar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, maka pemerintah perlu mempertimbangkan dan mengevaluasi kembali Peta Jalan IHT. “Alasan diversifikasi dan peningkatan kenaikan penerimaan cukai menjadi tumpang tindih dengan regulasi yang sudah ada pada Kementerian Keuangan,” pungkas Roosita.
Sementara itu, Advokad Senior Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Tubagus Haryo Karbiyanto menggarisbawahi adanya kekeliruan cara pemerintah menyusun regulasi. Dia mencoba menggali ingatan tentang peta jalan IHT tahun 2015-2022 yang gugur karena bertentangan dengan peraturan yang ada, yaitu, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
“Perpres IHT ini secara substansi sama saja dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015-2020 yang sudah dicabut melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16P/HUM/2016,” tegasnya.
Baca Juga: Ini Bukti PHP ke Petani, Impor Daun Tembakau Meningkat
Lebih lanjut, kata Tubagus, rancangan Perpres Peta Jalan IHT ini menggunakan judul yang sebenarnya sudah dicabut sebelumnya oleh Mahkamah Agung, dan secara substansi sama saja dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) tentang Peta Jalan IHT karena sama-sama fokus untuk meningkatkan produksi tembakau.
Karenanya, 15 organisasi masyarakat sipil yang mewakili organisasi kesehatan, organisasi perlindungan konsumen, organisasi perlindungan anak, lembaga kajian dan riset, serta organisasi/gerakan kaum muda, mendesak pemerintah menghentikan proses penyelesaian Perpres Peta Jalan IHT yang hanya berpihak pada kepentingan bisnis, serta tidak memperhatikan dampak buruk konsumsi tembakau bagi masyarakat, terutama generasi muda.
Prof Hasbullah Thabrany selaku Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau menambahkan, bahwa tren global adalah menurunkan konsumsi rokok sehingga negara-negara di dunia membuat peta jalan untuk penurunan prevalensi perokok di negaranya dan bukan sebaliknya. “Karena itu, kami mewakili 23 organisasi anggota dan mitra, menolak rencana Perpres Peta Jalan IHT dan mendesak Pemerintah untuk kembali fokus melanjutkan proses amandemen PP 109/2012,” tegas Hasbullah.
Selanjutnya: Petani Milenial Beralih Dari Tembakau Menuju Pertanian Berkelanjutan
Â
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post