Jakarta, Prohealth.id – Hasil studi PKJS UI menunjukkan ada peluang pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk membantu petani tembakau yang ingin beralih tanam, seperti yang tertuang dalam PMK 206/PMK.07/2020.
Saat ini, kesejahteraan petani tembakau di Indonesia masih belum menunjukkan hasil yang maksimal. Padahal, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan produksi dan konsumsi rokok tertinggi di dunia.
Menurut Suci Puspita Ratih, salah satu tim riset PKJS UI, kondisi ini disebabkan karena ini kurangnya sosialisasi dan transparansi mengenai manfaat DBH CHT kepada petani swadaya di ketiga wilayah penelitian. Salah satunya di wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Imbasnya, terlihat ada kurangnya kerja sama yang erat antara pemerintah daerah sebagai pengelola dana dan perancang program dengan para petani sebagai end-user dari manfaat DBH CHT.
Oleh karena itu, prospek penggunaan DBH CHT untuk alih tanam sangat ditentukan oleh kerja sama dari dua pihak; petani sebagai pengambil keputusan akhir, dan pemda setempat sebagai enabler dan pengusung program. Studi PKJS UI pada tahun 2020 menemukan bahwa petani mengeluhkan buruknya sistem tata niaga tembakau dan proses
produksi tembakau yang membutuhkan banyak modal dan rentan merugi akibat faktor cuaca.
Pada sisi lain, peraturan Kementerian Keuangan (PMK) nomor 206/PMK.07/2020 membuka peluang penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk bidang kesejahteraan masyarakat sebesar 50 persen, terutama bagi petani tembakau. Pemanfaatan DBH CHT ini mengakomodasi gagasan exit strategy bagi para petani tembakau yang tidak ingin selamanya bergantung pada industri tembakau, salah satunya adalah dengan beralih tanam.
Suci menegaskan, melalui studi ini para peneliti ingin mengevaluasi prospek, peluang, dan juga hambatan penggunaan DBH CHT untuk program bantuan alih tanam. Stud ini pun melihat peluang penggunaan DBH CHT untuk alih tanam dari beberapa sisi, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga petani itu sendiri.
Studi ini diawali dengan tinjauan sistematik dokumen kebijakan terkait DBH CHT dari tingkat pusat hingga daerah. Selanjutnya, dilakukan studi kualitatif dengan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Informan wawancara mendalam terdiri dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) di Kementerian Keuangan, Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi Jawa Tengah, Distanbun, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Jawa Timur. Penelitian juga menggali informasi dari para petani tembakau swadaya di ketiga provinsi melalui diskusi kelompok terarah. Seluruh proses pengumpulan data dilaksanakan mulai Juli hingga November 2021.
Suci mengemukakan, bahwa pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, memiliki kewenangan yang cukup besar untuk mengatur penggunaan DBH CHT agar sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan unik petani di daerah masing-masing.
Terbukti dari hasil wawancara, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) belum menyelenggarakan program bantuan alih tanam dan diversifikasi. Namun pada prinsipnya mereka menyatakan tetap mendukung jika ada petani yang ingin beralih tanam. Mereka mengaku selama ini prosedur pemberian bantuan kepada petani telah dilakukan dengan menerima proposal permohonan dari para petani yang ingin mendapatkan bantuan.
“Melalui peran aktif Distanbun, pemda dapat memaksimalkan upaya komunikasi dua arah dengan petani dan melakukan penaksiran kebutuhan di lapangan terutama dalam menampung aspirasi petani jika mereka membutuhkan bantuan untuk diversifikasi maupun beralih tanam,” jelas Suci.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post