Jakarta, Prohealth.id – Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama ikut menyoroti tentang polusi udara di Jakarta.
Prof Tjandra mengatakan, polusi udara memang terjadi dari waktu ke waktu di berbagai kota di berbagai belahan dunia.
“Malahan WHO menyatakan bahwa di sekitar 90 persen anak di dunia hidup dalam lingkungan yang kadar polusi udaranya melebihi ambang batas,” ujar Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI ini dalam keterangannya, 30 Mei 2023 lalu.
Menurut Prof. Tjandra, ada tiga kemungkinan dampak polusi udara pada kesehatan, yaitu penyakit infeksi akut, seperti ISPA dalam bentuk radang tenggorok, bronkitis dll. Kemudian perburukan dari penyakit kronik.
“Misalnya seseorang yang memang punya asma akan lebih mudah dapat serangan asma kambuh, begitu juga pasien PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) akan lebih mungkin eksaserbasi akut,” katanya.
Eksaserbasi sendiri adalah kondisi terparah dari PPOK. Artinya, pada kondisi eksaserbasi maka penanganan pasien akan lebih sulit dengan risiko perburukan yang semakin besar. Ciri eksaserbasi adalah pada kondisi ini gejala lanjutan ditandai dengan peningkatan sesak napas maupun batuk dan sputum yang memburuk selama kurang dari 14 hari. Secara lebih rinci, gejala eksaserbasi yang perlu diperhatikan, antara lain; ketidakmampuan untuk mengatur napas, detak jantung menjadi cepat, kuku ataupun bibir yang memucat sebagai tanda kekurangan oksigen, peningkatan produksi lendir, serta demam.
Jika polusi udara terjadi terus menerus terjadi selama bertahun-tahun, maka secara teoritis dapat menimbulkan penyakit paru kronik. Meskipun pada kenyataannya polusi udara akan berfluktuasi, kadang buruk dan lalu membaik, jadi yang terjadi bukanlah dampak berkepanjangan.
“Jadi dampak terjadinya penyakit paru kronik sampai mungkin kanker paru dan lainnya, bukanlah terjadi akibat polusi udara yang memburuk hanya dalam beberapa hari atay minggu saja seperti sekarang ini,” katanya.
Terkait dengan kabar sekarang banyak warga Jakarta yang mengeluh batuk, menurut Prof Tjandra, sebaiknya informasi ini didukung data, bukan sekedar pernyataan.
Dalam ilmu kesehatan masyarakat ada kegiatan surveilans yang dilakukan secara rutin, sehingga harusnya pemerintah punya data tentang berapa jumlah kasus penyakit paru dan pernapasan pada Maret 2023 misalnya, lalu berapa April, Mei dan Juni.
“Ini untuk memastikan informasi ada tidaknya peningkatan kasus,” katanya.
Di Australia misalnya, ada data pada masa kebakaran semak-semak (bush fire) terjadi peningkatan angka masuk IGD akibat keluhan sesak napas di lokasi itu.
“Data sejelas itu harusnya juga tersedia di negara kita,” harapnya.
Menurut Prof. Tjandra, ada tiga hal yang perlu dilakukan masyarakat sehubungan dengan sedang tingginya kadar polusi di udara. Pertama, sedapat mungkin membatasi aktivitas fisik berat di daerah yang polusi udaranya memang sedang tinggi, misalnya di jalan macet dan lainnya. Sekalipun hal ini tidak mudah dilakukan, tetapi perlu jadi perhatian masyarakat jika mungkin untuk dilakukan.
“Ada juga pertanyaan tentang masker. Tentu masker tidak sepenuhnya dapat mencegah polutan udara masuk ke paru, tetapi setidaknya dapat membantu, selain juga mencegah penularan penyakit lain,” katanya.
Kedua, untuk warga masyarakat yang punya penyakit kronik pernapasan maka ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu jika selama ini ada obat yang harus rutin dikonsumsi maka ingatlah untuk mengkonsumsinya sesuai aturan yang ada.
“Jika ada perburukan dan keluhan tambahan, maka segera berkonsultasi ke petugas kesehatan, atau setidaknya gunakan obat yang memang sudah dianjurkan untuk mengatasi perburukan keluhan,” katanya.
Ketiga, sambung Prof. Tjandra, dengan sedang adanya polusi di udara maka jangan tambah polusi lain masuk ke paru dan saluran napas misalnya dari asap rokok.
Menurut Prof. Tjandra, kejadian ini bertepatan dengan momentum tanggal 31 Mei adalah World No Tobacco Day, alias Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Oleh karena itu, akan baik jika berkaca dari polusi udara di Jakarta saat ini sebagai momentum untuk para perokok untuk berhenti merokok.
“Kita tahu semua bahwa merokok memang membahayakan kesehatan, apalagi kalau ditambah dengan menghisap polusi udara pula,” tukasnya.
Discussion about this post