Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan telah terbit setelah penantian hampir satu tahun. Aturan ini banyak menjadi perhatian kelompok tenaga kesehatan karena Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi merokok tertinggi
di dunia. Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menyebutkan 34,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia adalah perokok. Adapun penambahan jumlah perokok dewasa 8,8 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir. Lalu ada peningkatan konsumsi rokok elektronik 10 kali dalam satu dekade, serta prevalensi perokok laki-laki masih menempati posisi tertinggi di dunia.
Untuk itu, Komnas Pengendalian Tembakau, Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), mengadakan konferensi pers. Lintas organisasi menyampaikan sikap atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2024 tentang Kesehatan yang baru saja sah.
Peraturan pelaksana Undang-undang (UU) tentang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 sah melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Kesehatan. Dalam PP terdapat bagian Pengamanan Zat Adiktif. Isinya mengatur peredaran, pemasaran, dan konsumsi produk zat adiktif tembakau dan rokok elektronik pada pasal 429-463.
Harapan aturan Pengamanan Zat Adiktif mampu memberikan perlindungan yang kuat kepada masyarakat terhadap produk zat adiktif yang terus meningkat konsumsinya di Indonesia. Terutama pada anak-anak dan remaja.
Pada sisi lain perokok usia pelajar 10-18 tahun sebesar 7,4 persen berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia, 2023 terancam perkembangan otaknya akibat adiksi nikotin. Sementara itu, penyakit tidak menular mematikan seperti stroke, penyakit jantung, dan kanker paru dengan faktor risiko utama merokok terus meningkat, dan menempati posisi-posisi teratas klaim jaminan kesehatan BPJS. Masih ada dampak lain, seperti sulitnya pengentasan kemiskinan dan penurunan prevalensi stunting yang salah satunya akibat konsumsi rokok.
Dari penyisiran yang telah dilakukan terhadap isi PP Kesehatan, tertera pengaturan Pengamanan Zat Adiktif pada pasal 429 – 463. Secara garis besar poin-poin berisi peraturan tentang rokok elektronik, larangan zat tambahan, peraturan pengemasan, peraturan peredaran/penjualan. Ada juga aturan seputar desain dan informasi pada kemasan, peringatan kesehatan untuk rokok elektronik dan produk tembakau, Kawasan Tanpa Rokok, serta pengaturan iklan, promosi, dan sponsor.
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, Prof Hasbullah Thabrany, menyampaikan meski regulasi ini belum ideal, pihaknya tetap mengapresiasi Presiden Jokowi yang menandatangani PP Kesehatan. Ada kesulitan pengaturan pengendalian produk zat adiktif tembakau yang lebih ketat di PP ini. Hal ini karena intervensi dan tekanan yang luar biasa oleh industri rokok dan pendukungnya.
“Namun dengan segala keterbatasan di PP ini, kami mendorong Pak Presiden Jokowi maupun Presiden Terpilih Pak Prabowo dan jajarannya agar PP Nomor 28 Tahun 2024 segera dilaksanakan. Kami siap membantu proses sosialisasi untuk memastikan masyarakat memahami haknya atas perlindungan kesehatan,” tambahnya.
Ketua Tobacco Control Support Center – Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), dr. Sumarjati Arjoso, SKM, mengatakan bahwa PP ini juga mengamanatkan penerapan aturan yang mengikat pada kementerian-kementerian teknis terkait.
“Sehingga beban masalah konsumsi rokok yang tinggi di negara ini bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan, mengingat dampaknya yang juga multi-sektor.”
Sumarjati juga menambahkan bahwa peran Pemerintah Daerah akan sangat besar dan penting dalam penerapan aturan ini. Ia berharap pemerintah daerah turut pro-aktif dalam implementasi di daerahnya masing-masing.”
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Ir. Aryana Satrya, M.M, Ph.D., masih menyayangkan karena masih banyak celah pada bagian Pengamanan Zat Adiktif di PP ini. Ia khawatir, ini akan melemahkan upaya pengendalian tembakau ke depan.
Menurutnya, aturan-aturan seperti jumlah 20 batang per kemasan yang hanya berlaku untuk rokok putih sementara perokok Indonesia merokok rokok kretek. Aturan anomali lain, larangan iklan yang hanya berlaku di media sosial. Padahal media digital selain media sosial begitu masif iklan rokoknya. Hal ini tentu akan menjadi kelemahan PP yang tujuannya memberikan perlindungan masyarakat dari bahaya rokok dan rokok elektronik.
Hasbullah juga menanggapi berbagai tanggapan di media dari para pendukung industri hasil tembakau, yang membenturkan isu kesehatan dengan isu ekonomi. Menurutnya, kepentingan ekonomi justru sangat bergantung pada kualitas kesehatan SDM. Dengan adanya PP Kesehatan yang mengatur pengamanan zat adiktif, harapannya angka kesakitan dan kematian akan turun. Sehingga kualitas kesehatan masa depan membaik. Lalu, BPJS tidak defisit dan prevalensi stunting serta TB turun. Sehingga SDM sehat dan tidak menggunakan uangnya untuk membeli produk yang tidak produktif bahkan berbahaya.
“Supaya akhirnya kita benar-benar mampu mewujudkan Generasi Emas Indonesia.”
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post