Jakarta, Prohealth.id – Promosi kesehatan harus ditingkatkan untuk mendukung penurunan prevalensi anak stunting secara berkelanjutan.
Di Indonesia berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 dari Kementerian Kesehatan menyebutkan prevalensi stunting sebesar 24,4 persen. Angka ini ternyata masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam RPJMN 2020-2024, yakni 14 persen.
Pada sisi lain berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi obesitas pada Balita sebanyak 3,8 persen dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8 persen. Target angka obesitas di 2024 tetap sama 21,8 persen, upaya diarahkan untuk mempertahankan obesitas tidak naik. Ini adalah upaya yang sangat besar dan cukup sulit.
Sebenarnya jika berkaca seara khusus dari data Prevalensi Balita Stunting Nasional, pada 2019 tren prevalensi balita stunting mencapai 27,7 persen, lalu pada 2020 turun menjadi 26,9 persen, dan 2021 menjadi 24,4 persen. Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia 2021 juga menemukan Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi provinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia sebesar 31,4 persen, disusul Sulawesi Barat 33,8 persen, dan Aceh sebesar 33,2 persen.
Berkaca dari kondisi ini, menurut Save the Children Indonesia promosi kesehatan harus terus ditingkatkan untuk ibu hamil dan orang tua terkait Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA), seperti melakukan inisiasi menyusu dini (IMD), ASI eksklusif 6 bulan, MPASI setelah 6 bulan, dan ASI sampai 2 tahun atau lebih. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemenuhan hak gizi pada anak, serta mendukung upaya pemerintah untuk percepatan penurunan stunting.
Selina Patta Sumbung, CEO Save the Children Indonesia mengakui selama pandemi Covid-19, para orang tua menghadapi tantangan kehilangan pekerjaan yang berdampak pada kondisi keluarga, termasuk pemenuhan gizi.
“Kita semua, tanpa terkecuali, menghadapi ancaman COVID-19. Hal tersebut menjadi perhatian Save the Children Indonesia untuk tetap memprioritaskan pemenuhan hak kesehatan dan gizi anak,” kata Selina pada peringatan Hari Gizi Nasional, Selasa (25/1/2022).
Oleh karena itu Save the Children Indonesia bekerja sama dengan Sentra Laktasi Indonesia (SELASI) sejak Agustus 2020–November 2021 untuk melakukan telekonseling atau konseling jarak jauh dan kunjungan rumah terkait menyusui. Setidaknya ada 6 intervensi yang dilakukan sesuai arahan Kementerian Kesehatan yaitu pertama promosi dan konseling pemberian makan bayi dan anak (PMBA), kedua promosi dan konseling menyusui, ketiga pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, keempat pemberian suplemen tablet tambah darah (TTD) bagi ibu hamil dan remaja serta pemberian vitamin A, kelima penanganan masalah gizi dan pemberian makanan tambahan, keenam tatalaksana gizi buruk.Dari laporan akhir, kata Selina sudah terdapat 534 ibu yang mendapatkan telekonseling.
“Saat pandemi, kami harus berganti strategi untuk menentukan komunikasi yang efektif agar tetap bisa menjangkau orang tua untuk melakukan promosi kesehatan. Melalui telekonseling, kami memberikan dukungan dan menyediakan informasi yang dibutuhkan ibu selama menyusui dan PMBA,” jelas Selina.
Lebih dari 30 konselor memberikan telekonseling pada ibu-ibu menyusui. Lokasi intervensi telekonseling meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten. Para konselor menggunakan audio visual (video call) dengan ibu-ibu menyusui guna memberikan pemaparan yang komprehensif dan dapat mendukung praktik PMBA secara optimal. Durasi waktu yang dibutuhkan sekitar 30-60 menit per-dua minggu.
Dari laporan akhir telekonseling ini, 64,3 persen ibu merasa puas dengan telekonseling menyusui dan PMBA oleh konselor. Keberhasilan telekonseling menyusui dan PMBA diungkapkan oleh Ningsih, “Walaupun sebagai ibu yang bekerja, saya masih pumping terus, nggih, udah enggak susu formula lagi,” paparnya.
Save the Children Indonesia mendorong orang tua untuk selalu memperhatikan kebutuhan gizi keluarga. “Menyusui itu tugas bersama kedua orang tua, tidak hanya ibu, tetapi juga ayah harus ikut berperan dan berkontribusi. Oleh karena itu, meski intervensi telekonseling ini berfokus kepada ibu menyusui, kami juga tetap mendorong ayah untuk memberikan dukungan dalam pengasuhan,” lanjut Selina.
Sementara itu, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI Dr. Dhian Probhoyekti, SKM, mengatakan permasalahan gizi tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di dunia. Bahkan permasalahan ini menjadi fokus secara global.
“Dampak masalah gizi stunting dan obesitas berdampak jangka pendek dan jangka panjang karena kedua masalah gizi ini menjadi indikator pembangunan kesehatan bangsa yang berpengaruh terhadap kualitas generasi penerus,” katanya dalam konferensi Hari Gizi Nasional ke-62 secara virtual, Selasa (18/1/2022).
Lebih lanjut dia menjelaskan, pada saat anak stunting maka terjadi gagal tumbuh ditunjukkan dengan tinggi badan pendek dan perkembangan intelektual terhambat. Dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak pada gangguan metabolik yang meningkatkan risiko individu obesitas, diabetes, stroke, dan jantung.
Oleh karenanya, perbaikan gizi lebih diarahkan pada gizi seimbang sebagai solusi menurunkan stunting dan mencegah angka obesitas naik. Gizi seimbang bermakna luas berlaku pada semua kelompok umur.
Penerapan gizi seimbang dilakukan dengan mengkonsumsi aneka ragam makanan, membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat, mempertahankan berat badan normal, dan melakukan aktivitas fisik di semua kelompok umur.
Kementerian Kesehatan melakukan intervensi spesifik untuk melaksanakan Penerapan gizi seimbang. Saat ini Kemenkes pun berfokus pada remaja dan 1000 hari pertama kehidupan dengan tujuan memperkuat intervensi.
“Intervensi spesifik diikuti dengan strategi peningkatan kapasitas SDM, peningkatan kualitas program, penguatan edukasi gizi dan penguatan manajemen intervensi gizi di Puskesmas dan Posyandu,” kata dr. Dhian.
ANTISIPASI OBESITAS
Selain upaya pemerintah, peran keluarga terutama ibu berperan penting dalam mencegah anak stunting dan obesitas.
Guru Besar Ilmu Gizi FEMA IPB Prof Dr. Hardiansyah mengatakan untuk bisa mencegah secara dini baik itu stunting maupun obesitas perlu memahami bahwa kedua masalah tersebut harus segera dicegah. Dalam hal ini ibu memiliki peran penting dalam menentukan makanan pada saat hamil dan pemberian gizi serta pola asuh pada anak setelah lahir.
Calon ibu hendaknya melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum hamil dan rutin melakukan pemeriksaan saat hamil.
Untuk mencegah stunting sejak awal adalah jangan sampai penambahan berat badan ibu hamil tidak mencukupi. Oleh karena itu, penambahan berat badan ibu hamil itu adalah faktor utama.
“Sederhananya bagi awam adalah bertambahnya usia kehamilan harus diiringi dengan bertambahnya berat badan. Saat bayi lahir ketika bertambah umur harus bertambah berat badan. Itu ciri sederhana. Kalau mengalami berat badan yang stagnan tidak bertambah maka pertambahan panjang atau tinggi badan bayi akan mengalami gangguan. Jadi sebelum mengalami gangguan maka cegahlah gangguan tersebut,” kata Prof. Hardiansyah.
Ketika bayi lahir, lanjutnya, yang harus diperhatikan ibu adalah berat badan bayi minimal di atas 2,5 kilogram dengan panjang badan di atas 47 cm. Seorang ibu juga wajib memberikan ASI eksklusif yaitu diberikan sampai 6 bulan, kalau tidak diberikan ASI eksklusif dan anak pernah diare berkali-kali itu sudah pertanda akan terjadi gangguan stunting kalau tidak segera diatasi.
Dia pun menyebut ada pangan yang terbukti mencegah stunting saat ibu hamil yaitu susu, telur, ikan, pangan hewani, dan lauk-pauk. Kemudian pangan yang terbukti mencegah stunting setelah bayi lahir adalah ASI eksklusif, susu pertumbuhan, telur, ikan, pangan hewani, lauk pauk, dan berbagai MP ASI diperkaya gizi.
“Berikan ASI dan MP ASI yang cukup dengan baik, ASI eksklusif sampai 6 bulan, lanjutkan pemberian ASI 6 sampai 23 bulan, berikan MP ASI yang cukup dan baik pada usia 6 sampai 23 bulan. Jaga kesehatan bayi dan anak melalui imunisasi, kebersihan, stimulasi, kebiasaan baik makan sayur, buah, lauk pauk, dan protein tinggi,” tuturnya.
Untuk obesitas, pahami penyebab obesitas atau kegemukan. Obesitas bukan hanya disebabkan karena kurang aktivitas fisik dan makanan, tapi banyak penyebabnya.
Dia menyebut kalau pada orang dewasa atau remaja obesitas bisa bisa karena stres yang menimbulkan inflamasi, inflamasi menimbulkan penumpukan lemak. Selain itu kurang tidur atau kelebihan tidur yang meningkatkan hormon ghrelin jadi pembawaannya lapar.
“Mulailah dengan mengelola faktor penyebab utama seperti stres, terus jangan sampai stres, harus perbanyak aktivitas fisik dan mengatur waktu tidur, pantau berat badan dan lingkar pinggang,” katanya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post