Jakarta, Prohealth.id – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta tengah melakukan pembahasan dan hendak mengesahkan fasilitasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta tentang Pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas tahun ini.
Abdurrahman Suhaimi, selaku Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dan anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam sebuah seminar daring tentang raperda kawasan tanpa rokok (KTR) menyatakan raperda tentang disabilitas merupakan raperda yang menjadi fokus utama untuk dikejar pengesahannya tahun ini.
Sayangnya, menurut Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) DKI Jakarta didukung Koalisi OPD Nasional Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas, dalam proses fasilitasi tersebut, Kemendagri menghapuskan begitu saja pasal-pasal esensial yang telah diperjuangkan oleh kelompok disabilitas berdasar pada alasan normatif, tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat penyandang disabilitas DKI Jakarta. Alih alih memperjuangkan aspirasi masyarakat yang sudah diakomodasi dalam draf raperda DKI tentang disabilitas selama proses pembahasan, pada tanggal 23 Agustus 2022, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta (DPRD DKI) justru dengan mudah menerima dan menyetujui saran fasilitasi dari Kemendagri tersebut.
Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) DKI Jakarta didukung Koalisi OPD Nasional Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas menyatakan Kemendagri dan DPRD DKI telah mengabaikan dan mengkhianati aspirasi penyandang disabilitas secara substantif, sistematik, dan prosedural. Koalisi OPD DKI Jakarta tidak lagi mendapatkan informasi dan ruang untuk bicara terkait dengan hasil fasilitasi dari Kemendagri terhadap raperda DKI tentang disabilitas. Hal ini menyebabkan Raperda DKI tentang Disabilitas menjadi melenceng dari semangat awal dan kering makna.
Dalam menyikapi kondisi tersebut, Koalisi OPD DKI Jakarta bersama Koalisi OPD Nasional Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas menolak saran fasilitasi dari Kemendagri atas raperda DKI tentang disabilitas. Ada beberapa hal yang menjadi catatan Koalisi OPD DKI Jakarta dan OPD Nasional Pokja Implementasi Undang-undang Penyandang Disabilitas.
Baca Juga: Cerita Kader PN-PRIMA: Warga Enggan Vaksin Covid-19 sampai Evakuasi Disabilitas
Pertama, Kemendagri mengubah dan membatasi skema konsesi bagi kelompok disabilitas. Dalam saran fasilitasi, Kemendagri menghapuskan pemberian konsesi bagi kelompok disabilitas untuk bidang pajak kendaraan bermotor dan kredit perumahan rakyat. Padahal pemungutan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan kredit perumahan rakyat (KPR) merupakan bagian dari kewenangan pemerintah daerah berdasarkan asas otonomi daerah.
Kedua, Kemendagri juga membatasi pemberian konsesi hanya untuk layanan dan/atau aset yang dikelola oleh pemerintah daerah. Padahal, UU 8/2016 menyatakan bahwa pemberian konsesi tidak terbatas oleh pemerintah dan pemerintah daerah saja, tetapi juga dapat diberikan oleh pihak swasta. Sehingga, saran Kemendagri yang membatasi pemberian konsesi hanya berlaku untuk layanan dan/atau aset yang dikelola pemerintah daerah, justru bertentangan dengan UU 8/2016.
Ketiga, Kemendagri menghapuskan pasal tentang Dewan Disabilitas Jakarta (DDJ), dengan alasan DDJ mengambil tugas dan fungsi Komisi Nasional Disabilitas. Padahal, DDJ sebagai lembaga non-struktural yang independen memiliki tugas dan fungsi untuk mengawasi implementasi raperda DKI ini. DDJ dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk membantu melakukan pengawasan dan perumusan kebijakan perihal implementasi perda tersebut yang bersifat multisektor, dan seharusnya atas prinsip otonomi daerah menjadi kewenangan Pemprov DKI Jakarta untuk pembentukan DDJ menyesuaikan dengan kebutuhan yang dihadapi.
Sebagai catatan, pada Perda DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas yang sebelumnya berlaku, juga telah terdapat Komisi Disabilitas Daerah (KDD) yang sama konsepnya dengan DDJ. Selain, 48 Perda tentang penyandang disabilitas di daerah-daerah lain juga telah memiliki dan mengatur perihal KDD. Sehingga, saran Kemendagri untuk menghapus DDJ merupakan sebuah kemunduran dalam upaya penjaminan hak disabilitas.
Keempat, Kemendagri membatasi pemberian beasiswa pendidikan hanya bagi penyandang disabilitas berprestasi yang tidak mampu. Dalam hal ini, Kemendagri menafikan bahwa sebagian besar penyandang disabilitas masih belum mendapatkan akses terhadap pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, ada 29,35 persen penyandang disabilitas tidak tamat pendidikan dasar dan hanya 3,38 persen yang menamatkan pendidikan tinggi. Sehingga, saran itu mengabaikan keadaan faktual penyandang disabilitas, yang sebagian besar belum dapat mengakses pendidikan. Tidak mungkin seorang penyandang disabilitas dapat berprestasi, apabila untuk mengakses pendidikan saja ia masih kesulitan.
Selain ketiga hal utama di atas, masih banyak pasal-pasal lain yang dipotong oleh Kemendagri. Misalnya; pertama, pemotongan kuota minimal tenaga kerja disabilitas, dari 3 persen yang sudah disepakati oleh DPRD dan Pemprov DKI Jakarta sebelumnya menjadi 2 persen. Sangat disayangkan inisiatif baik dari Pemprov DKI untuk menaikan kuota mempekerjakan penyandang disabilitas justru dijegal dengan hanya berdasar kepada alasan formalistik. Ini tertuang dalam Pasal 24 Raperda DKI tentang disabilitas.
Baca Juga: Hari Cuci Tangan Sedunia 2021: Perluas Akses Cuci Tangan untuk Disabilitas
Kedua, ada pemotongan kuota pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Daerah bagi UMKM yang dimiliki penyandang disabilitas, yang awalnya 5 persen dalam draf raperda awal yang sudah disepakati DPRD dan Pemprov DKI menjadi dihilangkan batas minimalnya berdasarkan saran Kemendagri. Ini tertuang dalam Pasal 41 Raperda DKI tentang Disabilitas.
Ketiga, pemotongan layanan rehabilitasi harian (day care), yang semula diwajibkan ada di setiap kecamatan menurut dra Raperda DKI yang sudah disepakati sebelumnya oleh DPRD dan Pemprov DKI, menjadi hanya ada pada setiap Kabupaten/Kota Administratif berdasarkan saran Kemendagri. Pernyataan ini tertuang dalam Pasal 98 ayat (6) Raperda DKI tentang Disabilitas.
Keempat, penerapan pasal-pasal karet untuk penjaminan atas hak pekerjaan bagi Penyandang Disabilitas, dengan memunculkan kata “dapat” atas saran Kemendagri, sehingga menjadikan jaminan hak atas pekerjaan menjadi pilihan. Ini tertuang dalam Pasal 25 dan 26 Raperda DKI tentang Disabilitas.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Koalisi OPD DKI Jakarta bersama Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas mendesak Kemendagri untuk menarikhasil fasilitasi terhadap Raperda DKI tentang disabilitas yang sudah diserahkan kepada Pemprov DKI.
Kedua, Koalisi OPD DKI dan Pokja Implementasi Undang-Undang Penyandang Disabilitas mengusulkan perbaikan substansi Raperda DKI tentang disabilitas dengan mengembalikan pasal-pasal esensial yang menjadi aspirasi penyandang disabilitas, atau menambahkan pasal delegasi pembentukan peraturan gubernur untuk mengatur pembentukan DDJ, KPDJ, Konsesi, kuota penerimaan tenaga kerja penyandang disabilitas 3 persen, dan kuota 5 persen alokasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemprov DKI bagi unit usaha penyandang disabilitas.
Ketiga, melibatkan Kelompok penyandang disabilitas dalam proses fasilitasi raperda DKI tentang disabilitas secara aktif dan bermakna.
Selanjutnya: UNDP Kampanyekan Transportasi Ramah Kelompok Disabilitas
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post