Jakarta, Prohealth.id – Ancaman rokok terhadap kesehatan masyarakat ternyata paling berbahaya justru pada golongan anak dan remaja seiring dengan tingginya bonus demografi yang dihadapi Indonesia.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Jumat (23/7/2021), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menginvestigasi kejadian malnutrisi pada anak-anak yang tinggal dengan orang tua perokok. Penelitian ini sebelumnya sudah dilakukan dengan fokus pada konsumsi rokok yang meningkatkan risiko stunting pada anak.
Teguh Dartanto, PhD, Dekan Fakultas Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) sekaligus penanggung jawab penelitian tim riset PKJS dan Scientific Advisor CISDI, telah menemukan pada riset sebelumnya bahwa anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok cenderung tumbuh 1,5 kilogram lebih berat dan 0,34 cm lebih tinggi, dibandingkan dengan mereka yang tinggal bersama orang tua perokok kronis.
Adapun studi lanjutan penelitian tersebut dengan menganalisis data yang sama melalui metode Probit Random Effect Model with Mundlak correction. Studi ini menggunakan data panel dari Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang melibatkan anak usia di bawah lima tahun (balita) hingga 19 tahun.
Objek analisis studi tidak hanya anak yang mengalami stunting, tetapi juga anak yang mengalami ‘thinness’, indikator gabungan dari kurus (wasting), untuk anak usia balita, dan gizi kurang (underweight), untuk anak usia 5-19 tahun, serta kelebihan berat badan.
Hasil analisis studi ini menemukan anak-anak yang tinggal dengan ayah perokok memiliki risiko 3,73 poin persen lebih besar untuk mengalami stunting. Terlebih, setiap sepuluh batang rokok tambahan yang dikonsumsi ayah dalam keluarga per hari dapat meningkatkan kemungkinan anak-anak mengalami stunting, thinness, dan kelebihan berat badan sebanyak 2.4 poin persen, 1.6 poin persen, dan 0.9 poin persen secara berurutan. Dengan kata lain, semakin banyak jumlah rokok per hari yang dikonsumsi ayah dalam keluarga, semakin besar kemungkinan anak mengalami kekurangan nutrisi ataupun kelebihan berat badan.
Temuan ini mengindikasikan kebiasaan merokok mampu menghambat pencapaian visi strategis pemerintah, seperti Visi Indonesia 2045, di samping juga menyulitkan komitmen pemerintah mewujudkan hak kesehatan anak sesuai dengan Pasal 24 Konvensi Hak-hak Anak yang sudah pemerintah ratifikasi sejak 31 tahun lalu.
Gita Kusnadi, Public Health Nutrition Researcher CISDI, menjelaskan, berdasarkan riset-riset terdahulu, perilaku merokok orang tua dapat mempengaruhi status gizi anak-anak melalui dua mekanisme. Pertama, melalui besarnya proporsi pengeluaran untuk rokok yang mengurangi alokasi pengeluaran untuk makanan bergizi. Kedua, melalui paparan asap rokok yang memicu gangguan perkembangan tulang dan penyerapan mikronutrien serta disfungsi endokrin dan resistensi insulin.
Olivia Herlinda, Direktur Kebijakan CISDI menerangkan, jika pemerintah mau berinvestasi jangka panjang dengan melakukan upaya pengendalian tembakau sejak lama, upaya peningkatan kualitas gizi anak Indonesia juga akan terdampak positif. Upaya pengendalian tembakau yang komprehensif, dengan mengurangi keterjangkauan harga rokok; melarang segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor; serta menerapkan regulasi kawasan tanpa rokok, dapat melindungi anak-anak dari konsumsi produk tembakau dan paparan asap rokok. Hal ini, secara langsung maupun tidak langsung, dapat membantu mengurangi kejadian malnutrisi pada anak. Dalam jangka panjang, upaya ini juga dapat mengurangi beban kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular.
Data Riskesdas 2018 mengkonfirmasi pernyataan Olivia. Pada 2018, sebanyak 62,9 persen laki-laki Indonesia adalah perokok. Selain itu, 59,9 persen penduduk Indonesia terpapar asap rokok di dalam rumah, tidak terkecuali anak-anak. Dengan kata lain, kegagalan pemerintah mengendalikan konsumsi rokok dapat berdampak pada upaya pencapaian target RPJMN untuk penurunan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Oleh karena itu diperlukan komitmen penuh pemerintah untuk menjalankan dan menguatkan kebijakan pengendalian tembakau, seperti dengan menaikkan cukai dan harga jual eceran rokok secara signifikan yang terbukti efektif menurunkan konsumsi rokok di banyak negara.
Upaya menaikkan harga rokok bisa menjadi solusi untuk mengalihkan pendapatan yang awalnya untuk konsumsi rokok kepada akses pemenuhan gizi anak. Di samping itu, pemerintah juga perlu menegakkan Program Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Serta mengedukasi masyarakat tentang bahaya rokok.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post