Jakarta, Prohealth.id – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia PERKI), Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), dan Komnas Pengendalian Tembakau menyatakan dukungannya terhadap revisi Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sedang digodok oleh pemerintah.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Adib Khumaidi, SpOT, menjelaskan bahwa sampat saat ini Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok, bahkan sampai saat ini belum tanda tangan FCTC. Oleh karena itu kondisi ini perlu menjadi pengingat tugas negara untuk melindungi rakyatnya. Apalagi, jumlah perokok dewasa di Indonesia naik 8,8 juta orang dalam sepuluh tahun terakhir berdasarkan data dari GATS (2020) dan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menemukan prevalensi perokok anak telah mencapai 9,1 persen pada tahun 2018. Usia rata-rata perokok pemula di Indonesia pun semakin muda dan jumlah perokok pemula naik 240 persen dalam kurun waktu 2007-2018 berdasarkan Riskesdas. Ini menunjukkan, peraturan yang ada belum cukup mengendalikan konsumsi rokok terutama pada anak.
“Kepentingan kita bukan saat ini, tapi untuk masa depan. Kita perlu dukung pemerintah untuk segera merevisi regulasi yang mengatur konsumsi rokok dan mengontrol masalah kesehatan di Indonesia,” tuturnya, Jumat (12/8/2022).
Hal serupa juga diungkapkan oleh dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), selaku Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Dia menerangkan, ada anomaly ketika negara ingin mengurangi angka stunting, namun konsumsi rokoknya tidak dikendalikan di hulunya. “Kita sepakat dengan transformasi kesehatan yang digulirkan bahwa kita harus mulai bergeser ke promotif dan preventif. Rokok saat sudah di hilir seperti kebakaran hutan, susah dikendalikan. Maka perlu adanya langkah preventif dengan merevisi PP109/2012,” ujar dr. Piprim.
Hal ini selaras dengan temuan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019, bahwa anak-anak usia SMP masih sangat mudah mengakses rokok karena harganya yang murah, tidak dicegah meski masih usia anak, dan dapat dibeli ketengan. Selain itu, anak-anak yang terbukti terdorong mencoba merokok karena iklan juga masih saja terus diterpa badai iklan, promosi, dan sponsor rokok yang sangat masif di Indonesia.
Fenomena lain yang mengancam anak dan remaja adalah rokok elektronik yang kini marak. Produk ini juga sama sekali belum diatur, kecuali dalam aturan cukai yang lebih fokus pada pendapatan negara. Padahal, produk ini menimbulkan dampak negatif yang sangat besar, terutama dari sisi kesehatan.
Mengenai pentingnya mengatur rokok elektronik yang peningkatan perokoknya sampai 10 kali lipat hanya dalam dua tahun, DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K) selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyebutkan salah satu poin yang haris masuk dalam revisi PP109/2012 adalah pengendalian konsumsi rokok elektronik. Hal ini menjadi penting karena masifnya produk baru zat adiktif ini.
“Rokok elektronik dengan rokok konvensional sama-sama mengandung nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik lainnya, yang sama-sama adiksi dan berbahaya untuk kesehatan.”
Beban ekonomi negara
Hasil riset dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), kebiasaan merokok menyebabkan beban ekonomi sistem kesehatan di Indonesia dan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai Rp27,7 triliun rupiah pada 2019 sehingga menyumbang mayoritas angka defisit BPJS Kesehatan.
Prof. Dr. Budi Wiweko Sp.OG, MPH, President Elect Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menjelaskan penyakit katastropik akibat rokok menghabiskan Rp20 triliun atau 50 persen dari total belanja JKN pada tahun 2020. Dengan adanya rokok bisa merusak cita-cita Indonesia mencapai generasi emas. “Karena konsumsi rokok, bayi-bayi yang lahir sudah diinvestasikan menderita penyakit kantrastopik atau penyakit kronis,” ungkap Prof. Budi Wiweko.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Dr. Radityo Prakoso, SpJP(K) menambahkan peran pemerintah di sistem kesehatan nasional harus menekankan pada pentingnya kendali konsumsi rokok terutama pada populasi anak dan remaja. “Diperlukan peraturan yang tegas, bukan lagi hanya kata-kata pentingnya mengubah perilaku masyarakat.”
Dr. dr. Sally Aman Nasution SpPD, KKV, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) mengingatkan, sebagai dokter yang punya tanggung jawab dalam hal ini, pihaknya mendukung segala upaya yang berkaitan dengan pengendalian tembakau dari level hulu.
“Sebagai dokter yang punya tanggung jawab, kami mendukung segala upaya yang berkaitan dengan pengendalian tembakau di hulu dengan merevisi PP109/2012,” pungkasnya.
Prohealth.id mencatat, pada 2021 lalu sejumlah organisasi profesi sudah melakukan pula konferensi pers untuk mendesak revisi PP 109/2012. Sejumlah organisasi profesi yang hadir dan menyuarakan dukungannya pun tidak jauh berbeda dengan perwakilan organisasi profesi pada tahun 2022. Artinya, sudah hamper setahun tidak ada perkembangan revisi PP 109/2012. Padahal, suara para dokter dan tenaga medis sudah lama menyatakan mendukung dan mendesak revisi PP 109/2012.
Misalnya saja, pada tahun 2021 lalu, dr. Erlina Burhan mewakili Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menjelaskan penduduk di Indonesia yang merokok pada 2020 sudah mencapai 23,21 persen. Dengan kondisi itu, pemerintah seolah mengabaikan ujaran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa angka kematian akibat merokok mencapai 30 persen, setara dengan 17,93 juta orang. Angka ini bahkan diperkirakan masih akan meningkat hingga 2030 menyentuh 23,3 juta orang.
WHO juga mencatat, risiko peningkatan penderita kanker paru-paru pada perokok pasif mencapai 30 persen, dan risiko penderita penyakit jantung berkisar 25 persen sampai 35 persen.
Secara umum sejumlah asosiasi profesi kesehatan ini percaya bahwa perlindungan masyarakat terutama anak-anak dari ancaman bahaya produk zat adiktif rokok harus diperkuat agar tidak terus menimbulkan kerugian seperti yang sudah terjadi selama ini.
Perkembangan proses revisi Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 alias PP 109/2012 cenderung menunjukkan sinyal kemajuan setelah Kementerian Kesehatan menyatakan akan melakukan revisi PP tersebut dalam uji publik beberapa waktu lalu yang dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan di kantor Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Wakil Menteri Kesehatan dr. Dante Saksono Harbuwono dalam uji publik tersebut mengatakan tingginya prevalensi perokok pemula akan menghasilkan generasi muda yang tidak unggul.
“Perlu adanya penyempurnaan perlindungan terhadap generasi muda dan anak-anak dari bahaya merokok,” tegasnya dalam rapat tindak lanjut uji publik perubahan PP 109/2012 di Jakarta, Jumat (29/7/2022) lalu.
Hal ini tercermin dari penjualan rokok pada tahun 2021 meningkat 7,2 persen dari tahun 2020, yakni dari 276,2 miliar batang menjadi 296,2 miliar batang. Konsumsi rokok berjumlah 70,2 juta orang dewasa, dan penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari 0,3 persen, di tahun 2011 menjadi 3 persen di tahun 2021 berdasarkan temuan GATS tahun 2021.
Adapun kata Dante yang lebih mengkhawatirkan adalah jumlah perokok anak. Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dan Sentra Informasi Keracunan Nasional (Sikernas) dari BPOM menyebutkan ada 3 dari 4 orang mulai merokok di usia kurang dari 20 tahun.
Berkaca dari situasi tersebut, Bappenas mengestimasikan, peningkatan prevalensi perokok pemula khususnya anak-anak dan usia remaja akan terus mengalami kenaikan apabila tidak ada kebijakan komprehensif untuk menekan angka prevalensi.
Di Indonesia saat ini, kematian karena 33 penyakit yang berkaitan dengan perilaku merokok mencapai 230.862 pada tahun 2015, dengan total kerugian makro mencapai Rp596,61 triliun.
Artinya, tembakau telah membunuh 290.000 orang setiap tahunnya di Indonesia dan merupakan penyebab kematian terbesar akibat penyakit tidak menular. Dengan demikian perubahan PP 109/2012 perlu diatur di antaranya mencakup ukuran pesan bergambar pada kemasan rokok diperbesar, penggunaan rokok elektrik diatur, iklan, promosi, sponsorship diperketat, penjualan rokok batangan dilarang, dan pengawasan ditingkatkan.
Dalam berbagai kesempatan, aliansi masyarakat pro kesehatan publik pun telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan revisi PP ini demi memberikan perlindungan yang maksimal kepada masyarakat, terutama kelompok anak dan keluarga miskin.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post