Jakarta, Prohealth.id – Salah satu penyebab meningkatnya jumlah perokok di kalangan generasi muda disebabkan oleh paparan iklan, promosi, dan sponsorship (IPS) rokok.
Sebuah studi menunjukkan bahwa paparan iklan rokok melalui internet dapat meningkatkan kemungkinan anak-anak menjadi perokok. Selain itu, penjualan rokok eceran atau batangan dapat menghambat upaya pengendalian konsumsi rokok pada anak. Hal ini mengingat, rokok batangan dapat merusak efektivitas kebijakan kenaikan cukai rokok karena harganya yang terjangkau, berkisar antara Rp1.500 – Rp4.000, memudahkan anak-anak untuk membelinya, bahkan dengan uang jajan atau berhutang.
Untuk memperkuat temuan tersebyt, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) pada bulan September-November 2023 melakukan survei yang dilaksanakan oleh 17 orang muda yang berada di 11 kabupaten/kota di Indonesia. Survei dilaksanakan untuk mengetahui paparan iklan rokok melalui gawai yang mereka gunakan sehari-hari, serta lebih lanjut mencari cerita-cerita sesama orang muda dan bagaimana mereka bisa terjerat candu merokok.
Survei diikuti oleh 267 responden perokok dengan batasan usia 13-25 tahun, dan hasilnya, 37,1 persen berusia di bawah 18 tahun. Usia tersebut seharusnya kategori usia yang dilarang untuk membeli produk rokok berdasarkan PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Lebih lanjut, ketika ditanyakan mengenai berapa lama mereka sudah mulai merokok, 89,4 persen responden merokok sejak dibawah usia 18 tahun, bahkan hampir 10 persen menyatakan sudah merokok sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Mayoritas responden yakni 86,1 persen, juga menyatakan bahwa mereka pernah membeli rokok secara batangan atau eceran dengan alasan harga yang lebih murah, yang berkisar Rp1.500- Rp3.500 per batang, yang umumnya dapat dijangkau menggunakan uang jajan anak sekolahan. Anak-anak ini biasa membeli rokok batangan di warung, pedagang kaki lima, atau warung kopi. Bahkan ada responden yang bisa membeli rokok batangan hingga 5 kali dalam sehari. Temuan ini membuktikan angka perokok anak tinggi dikarenakan Indonesia adalah satu-satunya negara ASEAN yang belum melarang iklan rokok di internet dan titik penjualan, masih mengizinkan iklan televisi, sponsor, dan promosi oleh industri rokok.
Daniel Beltsazar, Program and Research Officer IYCTC menyatakan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan harusnya mampu membuat peraturan dan mekanisme pengawasan terhadap penjualan rokok batangan.
“Hal tersebut krusial dalam mencegah naiknya angka perokok anak sebagai generasi masa depan bangsa,” tuturnya dikutip dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Selasa (19/12/2023).
Lebih lanjut kata Daniel, dalam survei tersebut IYCTC juga menyatakan bahwa dari total responden, hanya 16 responden atau setara dengan 6 persen yang dicegah atau dilarang oleh pemilik warung untuk membeli rokok karena masih dibawah 18 tahun, dan hanya tujuh responden atau 2 persen yang dimintai Kartu Tanda Pengenal (KTP) terlebih dahulu untuk memastikan usia mereka.
Ia mengambil contoh produk minuman beralkohol yang sama-sama dikenakan cukai, penjualannya sangat ketat dan terbatas, para penjual harus mengantongi izin edar dan pajak mereka lebih tinggi. Daniel berpandangan seharusnya rokok juga bisa diatur dengan cara yang sama, walaupun tentu ada perlu penyesuaian agar warung-warung tetap dapat menjual rokok meski terbatas.
“Agar anak dibawah 18 tahun tidak bisa sembarangan membeli rokok, harus menunjukkan KTP terlebih dahulu,” tambah Daniel.
Berkaitan dengan iklan rokok, 17 orang muda mencatat bahwa iklan rokok banyak ditemukan di jam-jam mereka biasa mengakses internet. Berdasarkan Status Literasi Digital di Indonesia 2022 yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkap bahwa 62 persen orang Indonesia mengakses internet pada pukul 19.00-21.00, dan pada pukul 07.01-10.00 sebanyak 51 persen. Pada jam-jam inilah para orang muda banyak melaporkan adanya iklan rokok yang menampilkan harga, kalimat-kalimat yang menyamarkan bahaya rokok, serta promosi dalam bentuk diskon.
Aplikasi daring seperti Google, Facebook, Instagram, dan Whatsapp yang tergabung dalam Meta memiliki panduan pengguna yang melarang iklan, promosi rokok, bahkan adegan yang menyerupai merokok. Namun, karena pemerintah Indonesia belum punya peraturan spesifik iklan rokok di internet. Akibatnya, tidak ada kewajiban untuk penyedia layanan aplikasi menindaklanjuti pelanggaran.
Contoh berbeda di Filipina, Shopee mematuhi Peraturan Pemerintah yang melarang segala bentuk IPS dan penjualan rokok di internet, walaupun Shopee sendiri tidak punya panduan pengguna mengenai iklan dan promosi rokok. Oleh karenanya, penting bagi Presiden Jokowi, dalam waktu yang tersisa sebelum akhir jabatan, mewariskan kebijakan yang baik untuk melindungi anak-anak Indonesia dari bahaya rokok.
“Caranya dengan pengetatan peraturan penjualan rokok, dan pelarangan iklan rokok di internet. Peraturan tersebut seharusnya dapat dimasukkan ke Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, yang saat ini sedang disusun oleh Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI, di mana salah satunya mengatur terkait pasal zat adiktif,” tutup Daniel.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post