Jakarta, Prohealth.id – Sarni (bukan nama sebenarnya), perempuan berusia 29 tahun asal Sulawesi Tengah, sudah mengenal internet dan aktif di media sosial dan aplikasi obrolan selama 16 tahun. Jaringan pertemanan yang ia bangun menjangkau hingga Amerika Serikat dan Australia. Ia merasa, saat itu, dunia siber merupakan dunia aman dan tempat bebas berekspresi.
“Saya ini termasuk anak yang besar dengan sosial media. Banyak kehidupanku yang terekam di dunia digital. Facebook bahkan lebih banyak menyimpan memori daripada di komputer. Seaktif itu dulunya. Cuma memang sekarang sudah banyak yang aku hapus-hapus,” ungkap Sarni kepada Pro Health pada Sabtu, 26 April 2025.
Seiring waktu, ia mulai merasakan sisi gelap dari dunia siber, mulai dari menjadi celaan fisik, perundungan, hingga kekerasan berbasis gender. Ia baru memahami pengalamannya termasuk dalam kekerasan berbasis gender online (KBGO) pada tahun 2019. “Ternyata aku sudah menanggung kekerasan di ruang digital dan mulai review kembali pengalamanku sebelumnya. Aku sering mengalaminya,” lanjutnya.
Teknologi memfasilitasi kekerasan gender
Aktivis digital Ellen Kusuma menyebutkan kekerasan berbasis teknologi ini menyasar individu berdasarkan gender atau identitas seksual. Bentuk kekerasan ini bisa berupa seksual, diskriminasi administratif atau pembatasan hak-hak dasar seperti akses ke layanan kesehatan.
“Situasi tersebut jadinya teramplifikasi ketika mereka menggunakan teknologi digital. Terutama generasi yang hidupnya banyak berkelindan dengan internet,” jelas Ellen.
Berdasarkan Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2024 yang dikeluarkan Komnas Perempuan pada Maret 2025, laporan KBGO meningkat 40,8 persen di tahun 2024 dibandingkan 2023. Jumlah kasus yang diterima sebanyak 3.437 kasus pada 2023 menjadi 4.842 kasus pada 2024.
Jenis KBGO yang paling sering dilaporkan adalah kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%), dan kekerasan ekonomi (9,84%). Bentuk KBGO meliputi pelecehan seksual, sextortion, hingga penyebaran materi tanpa izin.
“Banyaknya korban KBGO yang berani melaporkan kasusnya ke Komnas Perempuan ini disebabkan meningkatnya kesadaran korban tentang hak-hak mereka dan adanya upaya yang lebih besar dari Komnas Perempuan dan pihak terkait lainnya untuk meningkatkan aksesibilitas dan dukungan bagi korban KBGO,” ujar Chatarina Pancer Istiyani, Komisioner Komnas Perempuan, dalam keterangan tertulisnya.
Perlindungan hukum bagi korban KBGO
Sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum diberlakukan, banyak korban kesulitan mendapat respons dari aparat penegak hukum (APH). Saat ini, hambatannya berada di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).
“SPKT terkadang tidak bisa menginformasikan hak-hak korban. Lalu tidak bisa mencantumkan pasal yang tepat digunakan terhadap perkara sehingga hanya normatif saja,” ucap Said Niam, pengacara publik LBH APIK Jakarta.
Lebih lanjut, tidak semua Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) atau Kriminal Siber memiliki penyidik perempuan. Padahal, ini penting agar korban merasa nyaman melapor. Kriminal Siber memiliki alat digital tetapi kurang sensitif terhadap aspek gender korban. Sementara, Unit PPA terbatas dari sisi teknologi.
Hadirnya perlindungan untuk korban KBGO masih terbatas pada ancaman fisik. Sedangkan, perlindungan khusus absen pada ancaman digital, doxxing, atau penyebaran data pribadi. Korban juga rentan terhadap pelanggaran privasi terutama dalam kasus KBGO yang diproses menggunakan UU ITE (Informasi dan Teknologi Elektronik). Meskipun Mahkamah Agung memiliki aturan untuk menyamarkan identitas korban kekerasan seksual.
Komnas Perempuan menilai penanganan kasus KBGO di Indonesia masih jauh dari ideal termasuk dalam hal efektivitas hukum pidana. Salah satu kendala utamanya adalah penggunaan UU ITE dan Undang-Undang Pornografi yang tidak berperspektif gender dan mengesampingkan pemulihan korban. UU ITE juga memiliki multitafsir dan keambiguitasan yang dapat dimanfaatkan untuk kriminalisasi.
Pendekatan khusus kepada korban
KGBO membawa dampak psikologis yang dalam bagi korban, mulai dari kecemasan, trauma hingga tekanan. Hal ini diperparah dari sikap aparat hukum dan masyarakat yang cenderung akan menyalahkan korban.
“Bagaimana penanganan KBGO itu mau baik kalau sistemnya saja tidak baik? Tidak berpihak pada korban. Keberpihakan negara dan sensor negara atas isu kekerasan berbasis gender secara umum itu sudah termasuk KBGO,” pungkas Ayu Ariel Landasari, koordinator KOMPAKS.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) dalam asesmen pemulihan menggunakan pendekatan berbasis kebutuhan korban disesuaikan dengan situasi, latar belakang, atau karakteristik korban.
“Berbicara pendampingan psikologis, kami tidak bisa cuma sekadar membahas soal konseling saja, psikoterapi saja. Tetapi, perlu pendampingan komunitas,” urai Ayu. “Seperti menemani korban ‘kan tidak bisa terus-terusan. Psikolog, konselor, itu ‘kan terbatas ya? Dia cuma bisa menemani selama di ruang konseling saja.”
Lingkungan digital yang aman
Komnas Perempuan menilai kolaborasi dengan aplikasi dan platform digital menjadi langkah penting dalam menciptakan lingkungan digital yang aman.
“Platform dapat bekerja sama dengan Komnas Perempuan dalam hal pendampingan hukum dan sosial untuk menyediakan akses kepada korban atas layanan hukum atau psikologis yang dibutuhkan. Serta mengampanyekan hak-hak korban atau penyuluhan tentang cara melaporkan tindakan kekerasan yang dialami,” kata Chatarina Pancer Istiyani, Komisioner Komnas Perempuan.
Pengalaman LBH APIK Jakarta menunjukkan beragam respon dari berbagai aplikasi dan platform digital. Misalnya, Facebook dan Instagram cukup kooperatif dalam menangani laporan terkait KBGO. Sementara X, dulu Twitter, seringkali kurang responsif. Aplikasi kencan juga sulit dijangkau.
“Ini menunjukkan bahwa tidak semua platform digital bersedia bekerja sama dengan lembaga layanan atau penegak hukum,” terang Said Niam, pengacara publik LBH APIK Jakarta.
Senada dengan Komnas Perempuan, aktivis digital Ellen Kusuma menilai penanganan KBGO membutuhkan kerja sama multi pihak. Jika penanganan KBGO dijalankan secara parsial maka upaya untuk menciptakan lingkungan digital yang aman akan sangat sulit tercapai.
Di sisi lain, pengembangan fitur pelaporan yang lebih responsif dan adaptif di platform digital sangat diperlukan sehingga korban lebih mudah melaporkan kejadian yang dialami. Edukasi cara pelaporan juga penting agar korban dapat menangani situasi dengan lebih cepat mengingat sebaran konten bisa sangat cepat.
Editor : Fidelis Eka Satriastanti
Discussion about this post