Jakarta, Prohealth.id – Founder dan CEO CISDI Diah Satyani Saminarsih mengatakan Kementerian Kesehatan memang sudah mengakomodasi beberapa usulan CISDI dan kelompok masyarakat sipil dalam DIM RUU kesehatan yang diserahkan kepada DPR. Salah satunya tentang definisi masyarakat rentan pada Pasal 27 Ayat (3) yang telah diperluas tidak hanya ibu hamil, ibu menyusui, anak, balita, dan lanjut usia; tetapi juga termasuk individu yang tidak memiliki pelayanan asuransi memadai, individu dengan status sosial-ekonomi rendah, dan masyarakat dengan penyakit penyerta.
“Ketentuan itu juga mencakup individu dengan disabilitas, individu dengan gangguan jiwa, individu yang tersisihkan secara sosial karena kepercayaan, agama, etnis, suku, gender, seksualitas, status HIV/AIDS, dan kewarganegaraan,” kata Diah melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (21/4/2023).
Selain itu, kelompok rentan juga meliputi individu yang tinggal di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) termasuk masyarakat adat, individu yang tinggal di rumah tangga tanpa akses air bersih dan sanitasi memadai, serta individu yang tingggal di hunian sempit atau institusi sosial dengan ruang privat terbatas.
Namun, CISDI mencatat terdapat beberapa hal penting yang dapat memperkuat sistem kesehatan nasional yang belum terakomodasi, misalnya tentang pemberian insentif kepada kader kesehatan yang belum memadai. Hal itu terlihat dalam DIM pemerintah yang masih menggunakan kata “dapat” dalam pasal mengenai insentif kader kesehatan.
“CISDI menilai insentif untuk kader kesehatan wajib diberikan. DIM terbaru juga belum mendefinisikan kader kesehatan sebagai sumber daya manusia kesehatan,” ujarnya.
Diah mengatakan CISDI mengapresiasi seluruh elemen masyarakat sipil yang telah memberikan aspirasi, saran, dan masukan dalam proses dengar pendapat terhadap RUU Kesehatan yang diselenggarakan pemerintah. Meskipun DIM RUU Kesehatan yang baru telah mengakomodasi sejumlah masukan masyarakat sipil, CISDI tetap mendorong seluruh elemen publik terlibat mengawal proses legislasi rancangan tersebut
Karena itu, CISDI mengajak seluruh elemen untuk melanjutkan diskusi publik terkait dengan pasal-pasal yang belum diakomodasi oleh pemerintah. CISDI juga mendesak DPR untuk membuka proses diskusi publik yang memungkinkan masukan masyarakat sipil untuk RUU Kesehatan tetap dapat terakomodasi. Momentum pembahasan di DPR sangat penting bagi masyarakat sipil untuk mendorong catatan dan saran yang belum terakomodasi dalam DIM.
“Kami mendorong DPR terus membuka pintu informasi dan partisipasi publik karena masih banyak masukan yang perlu ditambahkan. Salah satu fungsi DPR adalah mendengar aspirasi publik sehingga ruang diskusi harus selalu terbuka, termasuk dalam proses legislasi RUU Kesehatan,” katanya.
RUU Kesehatan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR pada Februari 2023 dan DPR telah menyampaikan RUU tersebut kepada Presiden Joko Widodo pada 7 Maret 2023. Pada 9 Maret, Presiden menunjuk Kementerian Kesehatan bersama kementerian/lembaga terkait untuk Menyusun DIM pihak pemerintah.
Sementara itu dari sisi pemerintah masih menjamin RUU Kesehatan adalah langkah terbaik memperbaiki jaminan hidup tenaga kesehatan. Dikutip dari siaran pers Kementerian Kesehatan pada 9 April 2023, RUU Kesehatan disebut memberikan perlindungan hukum ekstra bagi para tenaga kesehatan. Hal ini tertuang dalam DIM RUU yang sudah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR RI.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. Mohamad Syahril mengatakan, tenaga Kesehatan sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan sudah sepatutnya mendapat haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang baik. Terutama para tenaga medis yang merupakan mitra strategis pemerintah dalam mewujudkan transformasi kesehatan.
“Nakes merupakan mitra strategis pemerintah dalam memenuhi hak dasar masyarakat untuk kesehatan. Sudah sepatutnya mendapatkan perlindungan hukum yang layak,” ungkap dr. Syahril.
Pada RUU ini, pemerintah mengusulkan tambahan substansi adanya hak bagi peserta didik untuk mendapatkan perlindungan hukum, yang tertuang dalam pasal Pasal 208E ayat (1) huruf a draf usulan pemerintah.
“Mulai dari statusnya sebagai peserta didik spesialis sudah berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum” jelas dr. Syahril.
Dalam RUU juga ada pengaturan substansi hak tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk menghentikan pelayanan apabila mendapat perlakuan kekerasan fisik dan verbal.
Selain adanya usulan baru, hak bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang sebelumnya sudah tercantum dalam Undang Undang Kesehatan yang ada tidak hilang. Terutama pada substansi perlindungan hukum selama menjalankan praktik sesuai standar yang tertuang dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a; Perlindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan di luar kompetensinya dalam kondisi tertentu yang tertuang dalam Pasal 296; serta mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa dalam sengketa hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tertuang dalam Pasal 322 ayat (4).
Pada RUU ini, pemerintah malah mengusulkan adanya penghapusan pada substansi tuntutan bagi tenaga medis / tenaga kesehatan yang telah menjalani sidang disiplin atau alternatif penyelesaian sengketa, yang tertuang pada pasal 328.
“Substansi ini kami usulkan untuk dihapus dalam DIM, karena merupakan substansi hukum pidana dan perdata” jelasnya.
Discussion about this post