Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

RUU KESEHATAN: Dibawa ke Paripurna, Demokrat-PKS juga Organisasi Profesi Kesehatan Masih Menolak

Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) secara resmi akan dibawa dalam sidang paripurna, Selasa (20/6/2023).

by Tim Prohealth
Saturday, 15 February 2025
A A
RUU KESEHATAN: Dibawa ke Paripurna, Demokrat-PKS juga Organisasi Profesi Kesehatan Masih Menolak

Draf RUU Kesehatan siap dibawa ke paripurna. (Sumber: Gloria FK Lawi/2023)

Jakarta, Prohealth.id – Komisi IX DPR dan Pemerintah sepakat membawa Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan ke paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang, Senin (19/6/2023).

Resminya RUU Kesehatan dibawa ke paripurna setelah ada 7 Fraksi di Komisi IX DPR RI yang menyetujui RUU Kesehatan. Sisanya ada 2 fraksi saja yang menolak RUU Kesehatan yaitu Partai Demokrat dan PKS menolak.

BacaJuga

WCTC 2025: Peringatan Kesehatan Bergambar Wajib Diterapkan

PERDA KTR : Merokok di Jakarta Kena Denda 250 Ribu

Rapat ini dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh dan tampak dihadiri langsung oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Wamenkumham Edward Omar Sharief Hiariej atau Eddy Hiariej, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, Wamenkeu Suahasil Nazara, hingga Plt Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Nizam.

Nihayatul Wafiroh menyatakan, kesepakatan ini menjamin RUU Kesehatan bisa segera dibawa ke rapat paripurna besok tanggal 20 Juni 2023 dan disahkan untuk menjadi undang-undang.

Semetara itu, fraksi Demokrat dan PKS menolak RUU Kesehatan ini dibawa ke paripurna dengan alasan pembahasan RUU ini terlalu terburu-buru.

Dalam pembahasan RUU kesehatan juga ada sejumlah persoalan mendasar sehingga fraksi Demokrat mengusulkan peningkatan anggaran kesehatan di luar gaji dan PPI tetapi tidak disetujui, pemerintah justru memilih mandatory spending dihapus. Ada juga alasan tentang klausul ketetapan dokter asing yang diusulkan agar wajib mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia.

Sebelumnya, Prohealth.id mencatat, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan sebelumnya juga sudah mendesak dan menegaskan adanya masalah ketimpangan dalam proses omnibus law RUU Kesehatan. Sejumlah perubahan yang diajukan juga bukan menjadi solusi justru menjadi jebakan yang mengakibatkan kerugian bagi banyak kelompok masyarakat.

Misalnya saja, tentang penghapusan alokasi minimal anggaran kesehatan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan menegaskan, sebelumnya Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik. Dengan penghapusan aturan itu, maka dukungan terhadap kesehatan berpotensi menurun apalagi jika tidak ada perspektif kesehatan yang ideal dari pemda, dan pelayanan kesehatan pun berpeluang memburuk.

Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan bahkan sudah mengingatkan siap melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika RUU Kesehatan tetap dilanjutkan.

Selain itu, ada lima organisasi yang siap mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi jika RUU Kesehatan tetap diresmikan. Lima organisasi profesi itu di antaranya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Tak hanya judicial review, sejumlah organisasi profesi kesehatan juga sudah berencana melakukan aksi mogok jika RUU Kesehatan tetap disahkan menjadi Undang-Undang.

Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) sebagai organisasi anak muda ikut menyuarakan penolakan pada RUU Kesehatan. Dikutip dari siaran resmi, IYCTC menegaskan RUU Kesehatan sangat berbahaya disahkan dengan terburu-buru karena tidak melalui proses yang komprehensif dan optimal dari semua elemen masyarakat.

Kedua, partisipasi publik seolah hanya menjadi pelengkap yang bersifat dekoratif dan formalitas. Sebab, tidak banyak masukan tersebut yang mempengaruhi rumusan RUU Kesehatan.

Ketiga, Menteri Kesehatan juga lepas tangan terhadap masalah pengendalian rokok, contohnya dengan tidak memasukkan larangan iklan, promosi, sponsorship (IPS) yang jelas paling efektif mengendalikan perokok anak.

Keempat, ada banyak isu kesehatan yang belum masuk prioritas RUU Kesehatan, salah satunya tentang layanan kesehatan ibu dan anak yang seharusnya mendapat jaminan pemerintah.

Kelima, proses kilat namun dinamis dengan tarik-ulur membuat pasal-pasal tentang zat adiktif berpotensi diabaikan atau bahkan hilang seperti yang terjadi pada RUU Kesehatan tahun 2009 lalu.

Secara terpisah, Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril mengatakan Kemenkes, sebagai koordinator wakil pemerintah untuk RUU Kesehatan, sudah melakukan berbagai kegiatan partisipasi publik di bulan Maret untuk menampung masukan publik sebagai bagian dari proses partisipasi publik yang bermakna (meaningfull participation).

Kegiatan tersebut dilakukan agar publik dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Kesehatan setelah pemerintah menerima draft RUU dari DPR di bulan Februari yang lalu. Kemenkes saat itu meluncurkan https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ untuk publik memberikan masukan dan sekaligus mengunduh naskah akademis dan juga draf RUU.

“Kami juga mendapat informasi Badan Legislatif dan Komisi IX DPR pun juga telah mengundang berbagai pihak dalam kegiatan partisipasi publik sejak tahun lalu. Jadi tidak benar tuduhan organisasi profesi tidak dilibatkan dalam proses pembahasan RUU ini,” kata dr. Syahril.

Ia juga menyebut, Kemenkes juga telah menyelenggarakan kegiatan partisipasi publik melalu via zoom dan luring sebanyak lebih dari 115 kali dengan dihadiri oleh 72.000 peserta bukan hanya di Jawa tapi juga di luar Jawa dengan organisasi profesi seperti IDI, PPNI, PDGI, IBI dan IAI, lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, CSO dan organisasi lainnya. Semua kegiatan tersebut terekam dalam Youtube Kemenkes untuk seluruh unsur mengakses.

“Jangan karena permintaan pihak-pihak tertentu yang tidak terakomodir dalam RUU lalu menghasut seolah-olah RUU ini tidak melibatkan publik secara partisipatif. Semua kegiatan ada foto dan videonya. Bisa dicek di Youtube Kemenkes,” tuturnya.

Ia menegaskan, RUU Kesehatan diperlukan untuk menangani berbagai masalah dalam sektor kesehatan, terutama terkait krisis dokter spesialis, izin praktek dokter dan tenaga kesehatan yang tidak transparan dan mahal, harga obat yang mahal, dan pembiayaan kesehatan yang tidak efisien.

Hal menonjol lain dalam RUU ini adalah perubahan paradigma kebijakan kesehatan dengan memprioritaskan pencegahan masyarakat dari jatuh sakit melalui penguatan promotif dan preventif. Selain biayanya akan lebih murah, masyarakat juga akan lebih produktif.

 

 

Penulis: Gloria FK Lawi & Irsyan Hasyim

Bagikan:
Tags: Omnibus KesehatanOmnibus LawRUU Kesehatan

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.