Jakarta, Prohealth.id – Minimnya keterlibatan publik dan partisipasi dalam penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law terbukti dengan tidak terakomodasinya suara-suara korban rokok dan pegiat kesehatan masyarakat dari bahaya zat adiktif.
Julius Ibrani, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menjelaskan, metode omnibus law dalam penyusunan regulasi memang membuat minimnya pelibatan partisipasi publik dalam tahap penyusunan dan pembahasan. Tak hanya itu, metode ini berpotensi menghilangkan kewajiban negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.
Juliun pun mengatakan bahwa RUU Kesehatan menggambarkan fenomena malicious legislation yang merupakan proses pembentukan kebijakan dengan upaya jahat, penuh tipu daya dan merugikan masyarakat.
“RUU Kesehatan tidak menjalani tahapan perencanaan, penyusunan yang layak, karena tidak terbuka, tidak partisipatif dan tidak ada rumusan identifikasi permasalahan kebijakan sektoral yang ada serta kebutuhan pemenuhan kesehatan yang belum diatur kebijakan yang ada, yang seharusnya jadi pijakan omnibus law. Terlebih, tidak diketahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam tahapan awal perencanaan dan penyusunan, lalu tiba-tiba lompat ke pembahasan dengan draf pasal per pasal yang sudah ada,” ujarnya di Kaweria Café Eatery di Cikini, Kamis (15/6/2023).
Dengan demikian, menurut Julius, RUU Kesehatan yang tidak mengakomodasi kebutuhan hak atas kesehatan publik termasuk pengendalian zat adiktif yang ketat seperti larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Padahal mandat dari Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam UU No. 11 Tahun 2005, lewat Komentar Umum No. 14 Paragraf 15 standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dijangkau. RUU Kesehatan wajib ditolak, dan diproses ulang dengan partisipasi publik bermakna dan mengakomodasi kepentingan publik untuk hak atas kesehatan.
Memang saat ini RUU Kesehatan telah disetujui sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 pada 14 Februari 2023. Untuk membahas RUU tersebut bersama pemerintah, Komisi IX DPR telah membentuk Tim Panitia Kerja (Panja) yang terdiri dari 27 orang dari unsur Pimpinan dan Anggota Komisi IX DPR RI.
Dari sisi pemerintah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan substansi RUU Kesehatan bahwa emerintah mendorong enam topik utama ke dalam RUU Kesehatan. Enam substansi itu sesuai dengan pilar transformasi sistem kesehatan Indonesia, yaitu transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM dan teknologi kesehatan.
Namun pada sisi lain, Menkes sering menyatakan bahwa preventif lebih utama daripada kuratif, tanpa upaya preventif Pemerintah tidak akan mampu menyediakan biaya kesehatan.
Kenyataannya, Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau menemukan hal ini tidak sejalan dengan RUU Kesehatan yang sedang digarap di parlemen. Pasal-pasal dalam RUU Kesehatan lebih banyak mengemukakan soal kuratif dengan dukungan industri kesehatan, mengutamakan investasi daripada kebutuhan dasar rakyat yang seharusnya menjadi prioritas.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun menyatakan dengan tegas menolak pengesahan ataupun sertifikasi di dalam undang-undang kesehatan ini. Ia menilai, pemerintah dan juga DPR jangan memaksakan, jangan merusak sistem yang sudah baik dengan undang-undang yang tidak jelas ideologinya, tidak jelas substansinya, dan tidak jelas prosesnya.
“Proses pembahasan yang berjalan sekarang ini harusnya dihentikan, apalagi dengan adanya upaya-upaya yang menuju penghilangan pasal zat adiktif yang menjadi upaya penghapusan regulasi mengenai produk zat adiktif ini. Ada campur tangan industri dalam hal ini,” kata Tulus secara virtual.
Prohealth.id mencatat sesuai alur penyusunan perundang-undangan, Kemenkes telah menggelar partisipasi publik pada 13-31 Maret 2023, yang di informasi terdapat 6011 masukkan yang telah di jarring Kemenkes untuk menyempurnakan isi RUU Kesehatan. Selanjutnya, Kemenkes menyerahkan 3020 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dari pemerintah.
Guna memastikan RUU Kesehatan ini memberikan perlindungan kepada masyarakat dari produk zat adiktif tembakau, jaringan pengendalian tembakau telah memberikan masukan melalui DIM versi masyarakat sipil untuk upaya pengendalian tembakau melalui partisipasi publik yang diselenggarakan Kemenkes dan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di hadapan Ketua Panja RUU Kesehatan, Melkiades Lakalena, dan anggota Panja lainnya.
Namun seiring dengan perkembangan pembahasan yang berjalan saat ini, Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau menduga masukan-masukan dari jaringan masyarakat sipil untuk upaya perlindungan masyarakat dari produk zat adiktif tembakau tidak menjadi bagian dari rancangan UU ini. Bahkan, pembicaraan Omnibus Kesehatan di tingkat kementerian mengindikasikan bahwa Kementerian Kesehatan sendirilah yang rela meluruhkan pasal-pasal penting untuk perlindungan kesehatan masyarakat yang dianggap menghambat proses pembuatan omnibus yang fokus pada investasi.
Secara terpisah, Ketua Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Kementerian Kesehatan, dr. Benget Saragih, M.Epid mengakui terkait pengendalian zat adiktif khususnya rokok, sudah pernah ada dialog dengan Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perdagangan, agar sampai pemerintah membuat sistem, namun tidak bisa diterapkan. Pengendalian zat adiktif ini juga diakui dr. Benget sempat ada angin segar berkat rencana Keppres No. 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 terkait larangan penjualan rokok batangan sudah masuk untuk diatur pada revisi PP 109/2012. Sayangnya, perencanaan aturan ini tertunda karena saat ini sedang ada pembahasan RUU Kesehatan.
Sementara itu, Ahmad Fanani mewakili Indonesia Institute for Social Development (IISD) mengatakan, mulai dari proses legislasi RUU Omnibus Kesehatan di Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS), aspirasi-aspirasi kesehatan ibarat yatim piatu.
“Terabaikan, terlantar di rumah sendiri. Tak cukup dibela, tak cukup diperjuangkan. RUU yang harusnya menjadi rumah besar bidang kesehatan justru tak mencerminkan pemihakan pada kepentingan kesehatan,” katanya.
Ahmad pun mengingatkan jika seorang Menteri Kesehatan memunggungi aspirasi-aspirasi kesehatan, sejatinya ia telah kehilangan legitimasi moral sebagai Menteri Kesehatan. “Bila masih mau tetap menjadi menteri, saran saya baiknya Pak BGS sekalian saja mengubah nomenklaturnya jadi ‘Menteri (Industri) Kesehatan’,” terang Ahmad dengan tegas.
Ni Made Shellasih, Project Manager Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menyatakan proses pembahasan dan penyusunan rancangan UU ini cacat karena prosesnya tergesa-gesa, tidak ada transparansi kepada publik dan akuntabilitasnya dipertanyakan. Sehingga, hasil penyusunan dan pembahasan RUU ini tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk di dalamnya substansi terkait perlindungan masyarakat dari produk zat adiktif tembakau.
“Terlihat dari website Kemenkes, update DIM sangat minim dan public hearing yang telah dilakukan seakan hanya dekoratif saja. Tidak ada jaminan partisipasi kaum muda dapat terakomodasi dengan baik,” terang Shella.
Pengendalian tembakau yang menyebabkan berbagai penyakit tidak akan dicapai jika tidak mengutamakan pendekatan preventif. Perbaikan-perbaikan perlu dilakukan dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak, termasuk larangan iklan, promosi, dan sponsor. Urgensi aturan ini seharusnya dimasukkan ke dalam RUU kesehatan itu sendiri, bukan di aturan turunan, untuk menjaga keterbukaan, melibatkan publik, dan memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan.
Jika aturan ini terlalu teknis dan terlempar ke peraturan yang lebih rendah, risiko pengendalian tembakau yang tidak terkendali semakin meningkat, dengan peningkatan iklan yang liar dan kurangnya pengawasan publik. Masukan dari Jaringan pengendalian tembakau dalam DIM RUU Kesehatan tidak mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah dan DPR, menunjukkan sikap cuek mereka terhadap perhatian masyarakat terhadap dampak negatif tembakau.
Prof. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau pun mendesak pemerintah tidak memaksakan untuk mengesahkan undang-undang dengan jadwal tertentu, undangkan jika rakyat telah mendapat perlindungan yang jelas, utamanya terkait zat adiktif.
“Kita minta agar Pemerintah dan DPR membuat aturan yang melindungi rakyat banyak bukan industri rokok ataupun yang terkait dengan industri rokok,” paparnya.
Untuk itu, Komnas Pengendalian Tembakau dan Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) bersama organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau lainnya merasa perlu menghimpun suara untuk menyampaikan penolakan tersebut, yang ditujukan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, dan DPR agar pembahasan dihentikan sampai proses penyusunan benar-benar mengakomodasi permintaan masyarakat, dan bukan semata-mata hanya untuk kepentingan Pemerintah dan DPR.
Discussion about this post