Jakarta, Prohealth.id – Tengah viral Prof. Zainal Muttaqin selaku dokter mitra di RSUP dr. Kariadi Semarang, Jawa Tengah, yang diberhentikan sejak 6 April 2023 melalui surat resmi dari Direktur Utama RSUP dr. Kariadi Semarang.
Sejumlah asumsi yang beredar antara lain, bahwa Prof. Zainal diduga dipecat aktif mengkritik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) khususnya berkaitan dengan RUU Kesehatan. Alhasil, muncul dugaan pemberhentian Prof. Zainal mendapat arahan langsung dari Kemenkes.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Tjandra Yoga Aditama selaku Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara menjelaskan melalui pesan singkat yang diterima Prohealth.id, bahwa dua temuan tersebut tentu menghasilkan asumsi yang simpang siur di tengah masyarakat. Apalagi, RUU Kesehatan yang banyak mengatur pasal tentang kerja dan praktik dokter mendapat banyak kritik. Namun, menurutnya pemberhentian kerja Prof. Zainal di RS Kariadi Semarang, bukan karena soal mengkritik Kemenkes. Pasalnya, masa kontrak sang dokter sebagai mitra yang memang sudah berakhir sejak 6 April 2023 lalu.
Sayangnya, kejadian ini makin menjadi perhatian ketika beredar di media sosial dokumen dengan berlogo Kagoshima University, Jepang, yang mengangkat Prof. Zainal Muttaqin sebagai Clinical Professor sejak 1 April 2023. Surat tersebut bertuliskan “Letter of Appointment” alias surat penunjukkan kepada Prof. Zainal Muttaqin.
“Kita tentu tidak tahu apakah ada tidaknya hubungan antara pemberhentian oleh RS dalam negeri di satu pihak dan pengangkatan oleh Universitas di luar negeri,” jelas Prof. Tjandra.
Asal tahu saja, selain sebagai dokter mitra di RS. Kariadi, Prof. Zainal Muttaqin adalah guru besar bedah syaraf yang terkenal berhasil menangani pasien dengan baik. Prof. Zainal juga melakukan pendidikan dengan baik serta menghasilkan karya ilmiah yang baik pula.
Ia pun menyimpulkan bahwa secara umum tentu akan baik kalau kita sebagai anak bangsa memberi masukan, pendapat, atau mungkin juga kritik, yang bertujuan agar rakyat dan negara kita menjadi lebih baik dimasa kini dan juga masa datang, baik di bidang kesehatan ataupun di bidang lain.
Hal ini tegas Prof. Tjandra berlaku umum termasuk tentang RUU Kesehatan yang tengah dibahas di level legislatif. Ia mengimbau akan baik jika semua masukan yang ada dikaji secara matang dan menyeluruh.
“Banyaknya komentar dan pendapat tentang RUU Kesehatan ini tentu menunjukkan kepedulian dan peran serta berbagai pihak, semuanya tentu demi peningkatan derajat kesehatan bangsa kita,” terangnya.
Secara terpisah, Ketua Umum PB IDI, Adib Khumaidi ikut merespon rumor tersebut melalui unggahan di akun Twitter resmi @PBIDI sebagaimana dilansir, Senin (24/4/2023).
“Sesuai dengan hak warga negara yang dilindungi dalam UUD 1945 yaitu kebebasan berpendapat, mengeluarkan pikiran sebagai akademis dan intelektual, seharusnya tidak disikapi dengan cara-cara yang sangat disayangkan,” ujar dr. Adib menyoal pemberhentian Prof. Zainal.
Oleh karenanya, untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas proses tersebut, PB IDI melalui Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota PB IDI dan IDI Wilayah Jawa Tengah akan melakukan pendampingan hukum, dan memperjuangkan hak-hak sebagai anggota IDI dan warga negara Indonesia.
Memang pada awal Maret sampai April 2023 banyak instansi yang mengawal dan mengkritik kebijakan dan usulan regulasi Kemenkes. Berdasarkan pemantauan Prohealth.id, salah satunya adalah melakukan kritik dan tuntutan atas RUU Kesehatan. Salah satunya Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan melayangkan somasi kepada Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin berkaitan dengan perumusan RUU Kesehatan yang dianggap mencederai praktik kesehatan.
Polemik RUU Kesehatan yang Tak Kunjung Tuntas
Ketua Forum Kajian Ketahanan Kesehatan Titi Savitri melalui diskusi daring menyatakan, Forum Kajian Ketahanan Kesehatan Bangs aini merupakan perkumpulan mandiri para individu dokter dan dokter spesialis dari berbagai latar belakang keahlian dan pekerjaan yang memiliki kepedulian terhadap ketahanan dan kesehatan masyarakat.
“Kami bertujuan memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan institusi pendidikan kedokteran, rumah sakit, masyarakat, terkait isu seputar kesehatan dan ketahanan bangsa,” jelas Titi Maret 2023 lalu.
Dalam diskusi virtual itu, Titi menjelaskan Forum Kajian Ketahanan Kesehatan memiliki beberapa pokja yang memang mengkaji intensif draf RUU Kesehatan. Menurut Titi, berangkat dari kasus dr. Mawartih, SpP yang terbunuh di Nabire, Papua, hingga penolakan atas ibu hamil darurat melahirkan yang ditolak rumah sakit di Jawa Barat, tentu ada masalah kompleks dalam sistem ketahanan dan kesehatan di Indonesia. Sayangnya, Pokja Forum Kajian Ketahanan Kesehatan Bangsa belum yakin RUU Kesehatan sanggup menuntaskan permasalahan tersebut.
Kelompok Kerja Pelayanan Kesehatan Forum Kajian Ketahanan Kesehatan, Dr. dr. Suyuti Syamsul, MPPM menjelaskan, RUU Kesehatan sebenarnya harus lebih berfokus pada dukungan terhadap transformasi layanan kesehatan. Hal tersebut menurut dr. Suyuti hanya bisa terwujud jika pemerintah memahami aturan tersebut berorientasi pada kebutuhan pasien dan memudahkan aksesibilitas pasien pada layanan kesehatan. Contoh paling sederhana, tidak perlu ada lagi antrian panjang di rumah sakit dan layanan kesehatan karena itulah yang mengganggu pelayanan dan sangat membahayakan keselamatan pasien.
“Negara itu harus hadir memberikan layanan kesehatan di seluruh pelosok negeri. Untuk itu, pemerintah memberikan kompensasi bagi masyarakat dan swasta yang mengelola fasyankes di daerah yang tidak menguntungkan secara bisnis,” kata dr. Suyuti.
Apalagi berkaca dari kasus yang dialami dr. Mawartih dalam pelayanan di daerah, penting bagi pemerintah menetapkan pendapatan minimum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan lain yang bekerja di tempat terpencil, daerah kepulauan, dan daerah perbatasan.
Sejumlah usulan dari Forum Kajian Ketahanan dan Kesehatan Bangsa terus dikeluarkan dalam memantau proses partisipasi publik dalam RUU Kesehatan.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan dr. Mohammad Syahril memberi respon berkaitan dengan nasib tenaga medis dalam rumusan RUU Kesehatan yang dianggap sangat merugikan tenaga medis. Dia menyebut, untuk mengatasi masalah ketidakadilan hingga kekerasan pada tenaga medis, RUU Kesehatan mencantumkan pasal “anti-bullying” atau anti-perundungan.
Dalam draf RUU Kesehatan pasal perlindungan dari bullying tercantum dalam pasal 208E poin d yang berbunyi: “Peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan mendapat perlindungan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan.” Pasal itu diusulkan masuk dalam RUU Kesehatan yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sebagai solusi terhadap masalah-masalah yang dialami terutama oleh dokter ketika mengambil program pendidikan spesialis (PPDS).
“Kami banyak mendapat laporan terjadinya perundungan. Namun banyak dokter yang takut bersuara ke publik karena beresiko untuk karir mereka kedepan. Mereka lebih banyak diam dan menerima perlakuan perundungan tersebut. Untuk itu kami mengusulkan adanya perlindungan dalam RUU Kesehatan,” jelas dr. Syahril.
Selain untuk peserta didik, anti-perundungan juga diterapkan untuk dokter dan tenaga kesehatan dimana dalam Pasal 282 ayat 2 berbunyi: “tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat menghentikan Pelayanan Kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan.”
Anti-bullying merupakan salah satu perlindungan hukum untuk dokter dan tenaga kesehatan selain pasal-pasal perlindungan lainnya. Adapun dr. Syahril menjelaskan pentingnya mengeliminasi bullying agar sistem pendidikan para PPDS dapat berjalan sesuai etika, meritokrasi dan profesionalitas disaat negara sedang krisis kekurangan jumlah dokter spesialis.
“Kita harus mempermudah program pendidikan spesialis. Masuknya harus murah, tidak susah dan harus berdasarkan meritokrasi bukan karena “rekomendasi”. Dan jika sudah masuk tidak mengalami hambatan-hambatan non-teknis,” kata dr. Syahril.
Ia menambahkan, bahwa RUU Kesehatan akan menjadi solusi dan akan membuat tenang para dokter dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya.
“Jadi tidak benar asumsi yang beredar seolah-olah RUU tidak berpihak kepada para dokter dan tenaga kesehatan,” tuturnya.
Penulis: Irsyan Hasyim dan Gloria Fransisca KL
Discussion about this post