Jakarta, Prohealth.id – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan RUU Kesehatan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020-2024, berdasarkan Keputusan DPR tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-undang Perubahan Prioritas 2022, dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-undang Perubahan Keempat Tahun 2020-2024.
Untuk itu, Komisi IX DPR RI telah melaksanakan Rapat Kerja dengan Pemerintah pada tanggal 5 April 2023. Panja RUU Kesehatan kata Melki juga telah mengajukan permohonan ijin melakukan rapat dalam rangka Pembicaraan Tingkat I/Pembahasan RUU tentang Kesehatan pada masa reses Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, baik di dalam maupun luar Gedung DPR RI.
“Panja sangat menyadari bahwa dalam pembahasan RUU harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan melibatkan masyarakat dalam keikutsertaan pembahasan RUU Kesehatan ini,” jelas Melkiades di Ruang Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (11/7/2023).
Sejak 11-12 April 2023, dilanjutkan 10 Mei 2023, Melkiades mengatakan bahwa Panja menggelar diskusi terbuka untuk menjaga transparansi dan partisipasi bermakna (meaningful participation), dari masyarakat. Dari sekian proses, Melkiades menyebutkan pengambilan keputusan pada tingkat I atas RUU Kesehatan.
Pertama, ada 6 fraksi yaitu; Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKB, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP menyetujui RUU Kesehatan untuk dilanjutkan ke Pembicaraan Tingkat II atau pengambilan keputusan dalam rapat paripurna.
Kedua, ada satu fraksi yaitu Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem), menyetujui RUU tentang Kesehatan dilanjutkan ke Rapat Paripurna dengan usulan 10 persen mandatory spending, diusulkan pada angka minimal 10 persen dari APBN dan APBN.
Ketiga, hanya ada dua fraksi yang menolak RUU Kesehatan yaitu Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat.
Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani menjelaskan pentingnya pengendalian zat adiktif untuk mengupayakan kesehatan masyarakat.
Ia menilai bahwa penting untuk melaksanakan pengoptimalan Regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. RPP prakarsa Kemenkes itu memuat tujuh pokok materi muatan yang salah satunya adalah ketentuan larangan menjual rokok ketengan mulai tahun 2023,” jelas Puan Maharani dari siaran pers yang diterima Prohealth.id.
Ia juga menyayangkan aturan kawasan tanpa asap rokok (KTR) yang penerapannya masih kurang optimal. Menurut Puan, implementasi serta pengawasan KTR di lapangan belum berjalan dengan baik.
“Dan penting sekali untuk lingkungan pendidikan memberikan edukasi berlebih tentang bahaya merokok kepada anak. Pastikan zona sekolah bebas dari asap rokok. Tentunya ini juga membutuhkan peran dari orang dewasa. Sebaiknya tidak merokok di depan anak-anak. Selain bahaya karena menjadikan anak sebagai perokok pasif, kita ketahui bersama anak-anak mencontoh apa yang mereka lihat,” imbuhnya.
Paparan asap rokok pada anak pun patut menjadi perhatian semua pihak. Dengan menjadi second-hand smoker (terpapar asap langsung dari orang yang merokok) maupun third-hand smoker (paparan tidak langsung bisa melalui residu asap rokok yang menempel di pakaian), anak akan memiliki berbagai risiko kesehatan.
Untuk diketahui, anak yang menjadi perokok pasif lebih rentan mengalami batuk lama, menderita sakit radang paru (pneumonia), dan asma. Bahkan sebanyak 165.000 orang anak di dunia meninggal setiap tahun karena penyakit paru terkait dengan paparan asap rokok.
Ia pun menegaskan, untuk menyelamatkan generasi bangsa dari kecanduan zat adiktif yang ada dalam rokok merupakan tanggung jawab bersama. Baik itu pemerintah, DPR, produsen rokok, hingga masyarakat itu sendiri.
“Mari kita lindungi anak-anak kita dari paparan asap rokok agar generasi penerus kita bertumbuh menjadi anak yang sehat sehingga dapat membawa kemajuan untuk Indonesia,” pungkasnya.
Discussion about this post