Panja RUU Kesehatan Komisi IX Bidang Kesehatan DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU Kesehatan omnibus dengan semua organisasi profesi kesehatan dan perwakilan organisasi kesehatan pada Rabu, 10 Mei 2023 lalu. RDPU ini memang mendadak, terbukti berdasarkan pengakuan salah satu peserta RDPU yang mewakili Palang Merah Indonesia (PMI).
Meski begitu, kesempatan ini disambut dengan baik oleh kelompok organisasi masyarakat sipil yang peduli pada masalah kesehatan, tak terkecuali kelompok peduli pengendalian konsumsi produk zat adiktif tembakau, yang terdiri dari Komnas Pengendalian Tembakau, FAKTA Indonesia, YLKI, Yayasan Lentera Anak, PBHI, IYCTC, PKJS UI, dan CISDI. Masing-masing perwakilan organisasi turut hadir dan menyampaikan aspirasi yang menekankan pentingnya pengaturan zat adiktif produk tembakau, terutama dari sisi pemasaran, mengingat sifat adiksi dan eksternalitas negatif lainnya yang ditimbulkan produk tersebut.
Nina Samidi, Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau sebagai perwakilan pertama yang melayangkan pendapatnya menyatakan bahwa iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau diyakini dan telah terbukti mendorong konsumsi rokok, termasuk pada anak-anak dan remaja. Oleh karenanya, sejak tahun 1970-an, berbagai negara di dunia telah melarang iklan dan bentuk-bentuk pemasaran lain produk tembakau dan kini telah mencapai 144 negara yang telah melarang iklan rokok termasuk negara-negara kecil, demi memberikan perlindungan pada rakyatnya dari serbuan iklan zat adiktif yang berisiko pada kehidupan mereka. Namun, hampir seratus tahun kemudian, Indonesia belum juga melarang iklan, promosi, sponsor rokok, dan menjadi satu-satunya negara ASEAN yang tidak melarang iklan rokok. Hal ini disampaikan
“Dengan prinsip, rokok adalah produk legal namun bukan produk normal karena memiliki eksternalitas negatif pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, maka rokok sebagai produk yang mengandung zat adiktif nikotin harus dilarang untuk diiklankan, dipromosikan, dan melakukan sponsorship,” tegas Nina kepada Ketua Panja RUU Kesehatan sebagai Pimpinan RDPU, Melkiades Laka Lena (10/5/2023).
Terkait zat adiktif, keberadaan pengertian zat adiktif saat ini telah diatur dalam pasal 113 dalam UU Kesehatan Nomor 36/2009 yang berbunyi, “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya”.
Nina menyatakan bahwa sejatinya pasal zat adiktif menjadi sangat penting karena akan menjadi jangkar dalam berbagai pengaturan terkait produk-produk yang termasuk di dalamnya. Oleh karena itu, pasal ini harus ada atau kita berisiko kehilangan seluruh aturan terkait dan membuat Indonesia mengalami kemunduran fatal di dunia kesehatan.
Apalagi, dasar negara maju menutup pintu pada normalisasi rokok adalah ribuan studi ilmiah dan bukti empirik bahwa produk tembakau menyebabkan gangguan kesehatan dan memicu pelbagai macam penyakit yang akhirnya berdampak pada masalah sosial dan ekonomi. Dengan kandungan 7.000 zat kimia dalam sebatang rokok termasuk nikotin yang sangat adiktif, produk tembakau adalah risiko utama penyakit-penyakit tidak menular (PTM) mematikan.
“Di Indonesia, kerugian makro mencapai Rp396 triliun di tahun 2015 atau lebih dari 3 kali lipat penerimaan cukai di tahun yang sama,” tambah Nina.
Tulus Abadi selaku Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam kesempatan berbeda menyampaikan dugaan adanya upaya menghilangkan ayat ini dalam omnibus kesehatan. Dugaan ini bukan tanpa alasan, karena pernah ada upaya yang diduga dihembuskan oleh pihak pro industri rokok terkait ayat zat adiktif dalam RUU Kesehatan. Hal serupa pun akhir-akhir ini muncul di pemberitaan.
Berdasarkan catatan Prohealth.id dan dikutip dari Investigasi TEMPO pada 4 Oktober 2009 bahwa pada tanggal 11 September 2009, di sela-sela masa pembahasan RUU Kesehatan, telah terjadi pertemuan di ruang kerja Ketua Komisi Kesehatan DPR, Ribka Tjiptaning, Faiq Bahfen, dan Budi Sampoerna memutuskan Pasal 113 ayat 2 dihilangkan. Ayat 3 pun tersisa hanya 2 ayat saja.
Lalu pada 14 September 2009, ada rapat paripurna DPR yang mengesahkan Undang-Undang Kesehatan. Pada 15 September 2009, anggota staf Sekretariat Komisi Kesehatan DPR mengatakan kepada Kartono Mohamad, pasal 113 hanya ada 2 ayat. Akhirnya, pada 16 September 2009, UU Kesehatan tanpa ayat tembakau dikirim ke Sekretariat Negara.
Berkaca dari pengalaman itu, Tulus menyataka belajar dari kasus ‘penghilangan pasal tembakau sebagai zat adiktif’ yang pernah terjadi di tahun politik pada 2009, yang saat itu dipimpin oleh Ketua Komisi Kesehatan, politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning dan dari pemeriksaan Badan Reserse dan Kriminal Polri juga mengindikasikan adanya pejabat Kementerian Kesehatan yang terlibat dalam penghilangan ayat tersebut, sebagaimana telah diungkap dalam liputan investigasi Majalah TEMPO, 4 Oktober 2010.
“Namun, kelicikan ini akhirnya terkuak saat draf dikirim ke Istana Negara untuk ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pasal 113 pun dalam kembali muncul. DPR harus waspada sejarah 14 tahun lalu ini bisa berulang,” ungkap Tulus Abadi.
Perlu diketahui bahwa dalam rancangan UU Kesehatan kali ini, pasal zat adiktif tertuang dalam pasal 154. Produk tembakau yang masuk ke dalam kategori zat adiktif bersama narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol tampak sedang didorong agar dihapus dari pasal ini.
Ketua Indonesian Youth Council for Tactical Changes Manik Marganamahendra, mewakili kelompok muda menyatakan usaha menghalangi masuknya regulasi yang mengatur produk tembakau telah menjadi bagian sejarah hitam pengendalian tembakau dan perjuangan mewujudkan kesehatan publik di Indonesia. Pasal 113 UU Kesehatan menempatkan Indonesia lebih beradab, seperti negara-negara maju yang tak lagi menormalisasi rokok dan produk tembakau lainnya.
“Mereka mengatur secara ketat distribusi produk tembakau dan melarang secara permanen iklan rokok dalam bentuk apa pun, yang kini juga berlaku bagi produk berbasis nikotin lainnya, seperti vaping dan tembakau yang dipanaskan,” lanjut Manik.
Dengan bukti-bukti seperti itu, anggota DPR yang menggodok RUU Kesehatan omnibus harus menyadari betapa pentingnya pengaturan produk tembakau, dengan tetap memasukannya dalam kelompok zat adiktif sehingga distribusi dan pemasarannya dapat diatur secara ketat.
Sejumlah organisasi ini berhara Komisi IX DPR sebagai komisi yang salah satunya membawahi bidang kesehatan, fokus pada perlindungan kesehatan masyarakat.
“Jangan sampai sejarah berulang dengan hilangnya ayat zat adiktif, yang akan meluruhkan seluruh aturan pengendalian termasuk iklan, promosi, dan sponsor yang tak kunjung dilarang, membiarkan Indonesia terus tertinggal dan terjebak dalam adiksi selamanya,” katanya.
Secara terpisah Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melkiades Laka Lena mengakui bahwa pengalaman buruk RUU Kesehatan tahun 2009 dengan hilangnya pasal zat adiktif menjadi catatan kelam dalam sejarah kesehatan di Indonesia. Untuk itu, dalam pembahasan RUU Kesehatan kali ini dia mencoba membuka keran kerja sama dan transparansi dengan semua anggota organisasi profesi kesehatan, praktisi kesehatan, organisasi kesehatan, hingga pasien.
“Dengan pengalaman itu [hilangnya pasal tembakau], kami recheck and triple check. Tim kami merapikan lagi, jadi kami akan rapat Panja, setelah itu rapat timus (tim perumus), merapikan kata demi kata, kalimat, dan ada sinkronisasi. Lalu rapat panja lagi dan raker. Semua tahapan akan kami paraf, sehingga kejadian masa lalu tidak terulang, semua fraksi terlibat, da kejadian kemarin tidak terulang. Kita saling cek,” tuturnya.
Selain itu, Melkiades yang juga Ketua Panja RUU Kesehatan tahun ini menegaskan proses pengumpulan masukan dari berbagai pihak dilakukan terus termasuk selama masa reses seperti sekarang. Dia pun tak menampik bahwa upaya mengumpulkan masukan ini bisa bersifat secara formal yakni dalam ruang rapat, ataupun secara informal.
“Saat ini [RDPU] formal, yang informal juga kami terima. Dalam pembahasan panja, tiba-tiba datang si A, si B, dari kelompok apa, atau melalui fraksi A, fraksi B. seperti saya sampaikan pernah saya memimpin rapat, Pak Jusuf Kalla menelpon saya, dan kita ada deadlock tentang transfusi darah dan plasma, dan bagaimana posisi PMI. Pendapat Pak JK itu saya ambil saripatinya, saya sampaikan ke rapat Panja dan diterima. Jadi apapaun bisa dilakukan, ini zaman canggih,” tuturnya.
Discussion about this post