Ada pepatah yang mengatakan “an apple a day, keeps the doctor away” artinya mau sehat makan apel setiap hari. Tetapi, bagi saya, jargon yang mungkin lebih pas adalah “a K-drama a day, keeps the doctor away”. Tentu saja, ini bukan berarti menggantikan fungsi dokter, kalau sakit ya memang sudah harus periksa ke ahlinya. Namun, tidak ada salahnya eskapis sedikit ke dunia fiksi, menghilangkan penat dan ketegangan dari kehidupan nyata melalui drama korea.
Semenjak pandemi, frekuensi menonton drama Korea semakin meningkat karena adanya kebijakan bekerja-dari-rumah atau work from home (wfh). Yang tadinya memang sedapatnya saat akhir pekan, saya biasanya bisa melanjutkan menonton drama Korea setelah jam kerja selesai.
Apabila dibandingkan dengan sinetron Indonesia, drama Korea memiliki variasi tema yang luas dan beragam, mulai dari cerita anak sekolah, detektif, musisi, hingga ke misteri seperti vampir. Tentu saja, saya memilih cerita-cerita yang lebih ringan dan tidak terlalu berat. Hal kedua yang saya sukai dari drama Korea adalah keberanian memilih tema atau isu yang masih atau dianggap kontroversial atau tabu bahkan di negaranya sendiri, misalnya berkaitan dengan sejarah, politik, dengan perundungan, gap antara kaya dan miskin, LGBTQ, hingga kesehatan mental. Suatu hal yang belum tercapai di Indonesia.
Saya tidak harus setuju dengan naskah/dialognya, tetapi saya acungi jempol keberanian untuk membahas isu-isu tersebut ke publik yang mungkin masih belum bisa menerima. Harus diingat bahwa drama Korea, seperti namanya hanyalah drama, suatu penggambaran singkat dari realitas. Meskipun terinspirasi dari realitas, tetapi tidak serta merta menjadi realitas atau kehidupan sehari-hari. Kehidupan nyata tidak selesai dalam 16 atau 20 episode. Tetapi, tidak ada salahnya “kabur” sebentar dari realitas.
Berikut beberapa drama Korea yang sempat saya tonton dan menyajikan isu-isu kesehatan mental, yang masih menjadi stigma di masyarakat umum.
- Tomorrow (2022)
Saat pertama kali menonton episode 1, saya hampir tidak kuat karena ternyata berbicara soal bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Drama yang tayang di Netflix ini dibintangi oleh Kim Hee-seon, Rowoon, Lee Soo-hyuk, Kim Hae-sook, dan Yun Ji-on mengisahkan 3 malaikat maut (grim reaper) yang bertugas mencegah kematian dari manusia yang ingin bunuh diri. Hal ini bertentangan dengan cerita kebanyakan bahwa malaikat maut bertugas untuk menjemput manusia ke alam baka, bukan menyelamatkan mereka. Kedua, bunuh diri menjadi isu yang sensitif di Korea Selatan, dan seluruh dunia. Drama ini memperlihatkan alasan-alasan di balik keputusan untuk mengakhiri hidup sendiri, mulai dari perundungan, tidak lulus ujian berkali-kali, kehilangan orang yang dicintai, korban perkosaan, hingga penyakit dan usia tua. Keunggulan dari drama ini bukan dari para pemeran utamanya, tetapi justru dari para pemain yang memerankan mereka yang ingin bunuh diri ini. Mereka berhasil memperlihatkan kesedihan yang terlalu mendalam, kesendirian yang terlalu berat yang mendorong mereka kepada pikiran tersebut. Jelas kemampuan orang berbeda dalam “melepaskan” tetapi setidaknya drama ini berani memperlihatkan isu yang seharusnya bisa dibicarakan oleh banyak orang.
- Chocolate (2018)
Drama ini tayang di Netflix dan diperankan oleh Ha Ji-won (aktor favorit saya) dan Yoon Kye-sang yang dipersatukan oleh perbedaan mereka dalam melihat cokelat. Bagi Ha Ji-won, yang menjadi koki untuk hospice (rumah sakit bagi sakit parah), cokelat menjadi sumber comfort atau kenyamanan. Sementara, bagi Yoon Kye-sang, cokelat menjadi sumber kesakitan karena harus kehilangan ibunya. Hal yang menonjol dari drama ini, bagi saya, adalah kemampuan membuat kematian menjadi suatu hal yang indah dan bukan sesuatu hal yang menakutkan bagi para pasiennya dan keluarga mereka. Melalui makanan, drama Chocolate ini berhasil membuat konsep kematian bukan suatu kesedihan yang berlarut-larut, tetapi merayakan kehidupan yang sudah dijalani.
- Kill Me, Heal Me (2015)
Sempat tayang beberapa tahun lalu di Netflix, “Kill Me, Heal Me” mungkin bisa menjadi acuan bagi mahasiswa psikologi terkait tentang gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder) atau banyak yang lebih suka menyebutnya sebagai kepribadian ganda (walau bisa lebih dari 2 kepribadian). Ditambah lagi, pemeran utamanya Hwang Jung-eum yang berperan sebagai psikiater yang dipekerjakan untuk merawat Ji Sung, seorang pewaris kaya raya yang memiliki 7 kepribadian akibat trauma masa kecil. Drama ini cukup serius memasukkan terminologi psikologi sebagai penjelasan bagi awam. Untuk drama ini, saya cukup salut untuk akting Ji Sung yang berhasil memerankan 7 karakter secara simultan.
- Flower Boy Next Door (2013)
Mungkin tidak banyak yang menonton drama lawas yang diperankan oleh Park Shin Hye dan Yoon Shi-yoon ini, tetapi ini menarik perhatian saya karena bercerita tentang editor yang memiliki social anxiety issue (masalah kecemasan sosial). Park Shin Hye, berperan sebagai editor, tidak pernah meninggalkan rumahnya sejak kehilangan nenek yang dikasihinya. Dunianya menjadi mendadak berubah karena kehadiran Yoon Shi-yoon yang bisa membuatnya “keluar” dari apartemennya. Sebelum “berubah”, diperlihatkan betapa kesulitannya Park Shin Hye berbicara dengan orang lain, bahkan berpapasan dengan orang lain dan dianggap sebagai “pemalu”.
- Heart to Heart (2015)
Sama dengan Flower Boy Next Door, drama korea yang dibintangi oleh Choi Kang-hee dan Chun Jung-myung ini juga berkisah tentang sosial fobia. Choi Kang-hee memerankan Cha Hong-do, perempuan yang cerdas dan berpendirian tetapi memiliki titik-titik merah di wajahnya sehingga membuatnya takut berhadapan dengan orang. Ia hanya berani keluar dengan memakai samaran sebagai nenek-nenek. Saking takutnya bertemu orang, ia harus memakai helm untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Sementara, Chun Jung-myung berperan sebagai seorang psikiater sukses yang sebenarnya memiliki masalah ketidakamanan (insecurity issue) dan inferiority complex yang akhirnya menaruh hati kepada karakter dari Choi Kang-hee.
Berbeda dengan kehidupan nyata, keseluruhan drama Korea ini (untungnya) memiliki ending yang menyenangkan, seperti yang diinginkan kebanyakan orang, “.… and they live happily ever after.” Tentu saja, tidak baik untuk menggantikan masalah kehidupan nyata dengan drama korea, tetapi sejenak menonton selama sejam sehari dan terinspirasi bukan hal yang buruk.
Jika seseorang berada dalam kondisi berbahaya yang mengancam keselamatan nyawa, segera telepon nomor layanan darurat 119 atau menuju ke IGD di RS terdekat.
Untuk hotline pencegahan bunuh diri di Indonesia yang aktif, bisa hubungi :
LISA (Love Inside Suicide Awareness) Suicide Prevention Helpline:
Bahasa Indonesia +62811 3855 472
Bahasa Inggris +62811 3815 472
Layanan LISA tersedia 24 jam.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post