Jakarta, Prohealth.id – Pejabat Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto memaparkan studi mengenai beban biaya kesehatan akibat rokok dalam acara Peluncuran Studi Beban Biaya Kesehatan Akibat Rokok secara virtual di CISDI TV.
Penelitian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 2019, menunjukkan bahwa konsumsi rokok dapat menyebabkan kerugian ekonomi —khususnya sistem kesehatan dan keluarga— senilai Rp27,7 triliun.
Teguh menuturkan pandemi Covid-19 meningkatkan urgensi penguatan pembiayaan kesehatan. Padahal, kata dia, sebelum pandemi terjadi, Indonesia telah terbebani secara finansial untuk membiayai pengobatan penyakit terkait kebiasaan merokok.
“Kami melakukan penelitian ini untuk menyediakan perhitungan terkini tentang seberapa besar beban biaya yang harus ditanggung untuk pengobatan penyakit akibat rokok,” ujarnya Jumat (9/7/2021).
Teguh menambahkan, CISDI memeriksa sumber permasalahan dalam struktur pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K). CISDI menggunakan pendekatan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghitung smoking attributable direct expenditure (SDE).
“Datanya mengacu pada Susenas 2019, Klaim BPJS, Riskesdas 2018, Indeks Harga Konsumen, dan Populasi BPS,” ucap Teguh.
Beberapa temuan selama penelitian itu adalah 61,4 juta penduduk Indonesia merupakan perokok aktif dan pasif, mencakup 68 persen prevalensi perokok laki-laki dan 32 persen perokok perempuan. Selain itu, 9,1 persen prevalensi perokok usia 10-18 tahun. Ketika prevalensi perokok meningkat, maka beban biaya kesehatan akibat rokok terhadap seluruh populasi di Indonesia turut meningkat.
Selama tahun 2019, BPJS Kesehatan telah mengalokasikan setidaknya Rp10,5 triliun hingga Rp15,5 triliun untuk menambal biaya kesehatan penyakit terkait rokok yang mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,6 triliun. Biaya rawat inap dan rujukan menjadi komponen pembiayaan tertinggi mencapai 49 persen hingga 51 persen dari total beban biaya.
Ternyata, penyebab sebagian defisit program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah penyakit yang timbul akibat rokok selama beberapa dekade ke belakang. Angka tanggungan BPJS-K tersebut mewakili sekitar 61,76 hingga 91,8 persen dari biaya defisit total JKN.
Jika melihat estimasi biaya tanggungan BPJS Kesehatan per orang yang pernah merokok, ada kenaikan biaya kesehatan yang signifikan pada individu di kelompok usia 50-59 tahun mencapai Rp6,3 triliun. Mencegah inisiasi merokok pada usia muda akan menguntungkan secara ekonomi karena mampu mengurangi beban biaya kesehatan di masa depan.
Besarnya biaya kesehatan untuk penyakit akibat rokok jauh melampaui alokasi dana bagi hasil cukai dan hasil tembakau (DBHCHT) serta pajak rokok daerah untuk pembiayaan kesehatan.
Teguh menjelaskan beban biaya kesehatan Indonesia untuk penyakit terkait rokok sangat tinggi. Akibatnya, menurut dia, BPJS Kesehatan harus menanggung proporsi biaya yang besar. Bahkan, proporsi tersebut akan semakin besar jika masyarakat tidak mengurangi konsumsi rokok. Terlebih, kebijakan alokasi penerimaan cukai rokok untuk pembiayaan JKN belum cukup menanggung biaya kesehatan pernyakit terkait rokok.
“Oleh karena itu, penelitian ini memberikan beberapa usulan untuk mengatasinya. Pertama, soft earmarking penerimaan cukai untuk JKN. Saat ini, alokasi penerimaan cukai untuk JKN sangat rendah sehingga perlu ada amandemen kebijakan untuk memperbesar alokasi tersebut,” ucap dia.
Kedua, Teguh menyebut usulan lain adalah menaikkan tarif dan harga jual eceran (HJE) minimum yang signifikan dan menyederhanakan golongan cukai. Langkah ini bertujuan mengurangi konsumsi rokok dan meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai JKN di masa depan.
Ketiga, memperkuat kebijakan selain harga (non-price factor) yang dapat mengurangi konsumsi rokok dan mencegah inisiasi merokok pada usia muda.
Pada webinar yang sama, Senior Advisor Gender and Youth for the Director-General di WHO sekaligus Founder CISDI, Diah Saminarsih, mengatakan bahwa ada konsekuensi di level nasional ketika pengendalian tembakau tidak berjalan secara maksimal.
“Karena itu, kita harus fokus untuk memprioritaskan simplifikasi struktur tarif cukai hasil tembakau. Selain itu pelayanan kesehatan primer dan mekanisme jaminan kesehatan nasional juga menjadi prioritas,” ujar dia.
Direktur Tobbaconomics, Profesor Frank J. Chaloupk yang ikut hadir dalam acara tersebut, mengatakan, secara global beban kesehatan akibat penggunaan rokok memang cukup tinggi. Dia juga menyoroti tentang sistem struktur tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu penyebab tidak efektifnya pengendalian tembakau.
“Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem tarif cukai tembakau yang paling rumit dan kompleks di dunia, ini yang membuat kebijakan cukainya tidak pernah efektif dalam mengurangi tingkat konsumsi rokok,” kata Peneliti dari University of Illinois Chicago tersebut.
Chaloupk pun menyarankan agar Indonesia dapat mengadopsi sistem tarif cukai hasil tembakau yang komprehensif. “Lakukan simplifikasi pada sistem tarif cukai hasil tembakau, dan satukan strukturnya,” kata dia.
Penulis: Irsyan Hasyim
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post