Jakarta, Prohealth.id – Konsumsi rokok bisa menyebabkan penurunan kerja otak dalam perkembangan anak dan remaja akibat konsumsi rokok secara aktif maupun pasif.
Adapun dr. Bernie Endyarni Medise dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo menjelaskan memang kaitan antara perilaku merokok dengan kejadian stunting pada anak sejak dalam masa kandungan.
Secara lebih rinci dia menjelaskan, orang tua perokok menyebabkan perokok pasif atau secondhand smoke yang memberi efek langsung pada tumbuh kembang anak. Padahal, 1000 hari pertama yakni dari janin hingga usia dua tahun adalah fase penting bagi perkembangan otak anak.
“Ada sekitar 6000 komponen kimia dalam rokok yang berbahaya bagi perkembangan anak, tetapi kenapa masih ada orang tua yang tetap merokok?” ungkap Bernie, Kamis (20/1/2022).
Selain secondhand perokok, ada juga kelompok anak yang terpapar rokok dari golongan thirdhand, atau dari level lingkungan. Kondisi ini mencemaskan karena dalam perspektif kesehatan anak, hanya 30 persen saja tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh genetik. Sisanya, pertumbuhan anak sangat dipengaruhi oleh kelengkapan nutrisi gizi dan juga lingkungan hidup di level keluarga dan masyarakat. Sementara, faktor utama stunting dan perkembangan anak adalah kelengkapan asupan gizi sejak dalam kandungan. Artinya, jika anak mengalami kekurangan gizi sejak dalam kandungan akibat alokasi bahan makanan yang habis untuk konsumsi rokok dalam keluarga, sangat mungkin anak mengalami kerusakan otak yang akan sulit diperbaiki.
Dengan demikian kasus secondhand smoke atau perokok pasif ini tidak hanya menyebabkan kerusakan pada kualitas otak anak. Nyatanya, rokok bisa menyebabkan penyakit yang banyak pada organ tubuh anak selama masa pertumbuhan.
“Padahal rokok berdampak pada hampir semua organ tubuh anak, tidak hanya stunting tetapi juga masalah kesehatan tubuh lain seperti penyakit asma, paru-paru, hingga sakit leukemia,” tegas Bernie.
Senada dengan dr. Bernie, menurut Risky Kusuma Hartono selaku Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mengatakan bahwa penelitian PKJS-UI tahun 2018 sudah menunjukkan peningkatan pengeluaran rokok yang dibarengi oleh penurunan pengeluaran makanan sumber protein dan karbohidrat akan memiliki dampak jangka panjang terhadap kondisi stunting anak. Dengan demikian, diperlukan adanya pengendalian konsumsi rokok sebagai upaya dalam percepatan penurunan stunting dan pencegahan masalah kesehatan lainnya pada anak.
Aryana Satrya, selaku Ketua PKJS-UI juga mengingatkan dalam kondisi dilematis tersebut, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2030. Dia menyebut, langkah menurunkan prevalensi stunting RPJMN 2020-2024 ditargetkan menjadi 19 persen sebelumnya 30 persen. Adapun target RPJMN menurunkan presentasi perokok usia 10-18 tahun diharapkan menjadi 8,7 dari sebelumnya sekitar 10 persen.
Oleh karena itu, jika berkaca dari kondisi prevalensi rokok anak yang masih tinggi saat ini, bonus demografi tidak bisa dimanfaatkan jika kesehatan anak dan pemuda buruk.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post