Jakarta, Prohealth.id – Pemerintah Indonesia perlu untuk mengimplementasikan pendekatan rehabilitasi berbasis bukti serta keadilan restoratif dalam mengatasi permasalahan narkotika di Indonesia.
Dalam konteks penanganan permasalahan narkotika saat ini, mereka yang tertangkap menggunakan narkotika akan dikriminalisasi dan hampir dipastikan akan mengisi sebagian besar hunian penjara. Pada sisi lain, pendekatan penghukuman tersebut, ternyata tidak mendukung pemulihan bagi mereka harus mendekam di dalam lembaga pemasyarakatan padahal sesungguhnya mereka merupakan korban dalam peredaran gelap narkotika.
Lebih lanjut, kondisi lembaga pemasyarakatan (LP) yang kurang mendukung berpotensi besar memperburuk kondisi kesehatan dan kejiwaan narapidana. Penerapan model pemidanaan saat ini yang menempatkan pengguna narkotika sebagai pelaku kriminal nyatanya telah mempersulit upaya pemulihan dan tentunya harus ditinggalkan dalam penerapannya. Padahal, upaya rehabilitasi memegang peranan penting dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, namun masih sering diabaikan dalam penerapannya.
Oleh karena itu, muncul paradigma baru di beberapa negara, yang menempatkan pengguna narkotika sebagai penderita penyakit kronis yang membutuhkan perawatan dan rehabilitasi bukan sebagai kriminal. Paradigma ini mendorong upaya yang dikenal sebagai dekriminalisasi bagi pengguna narkotika. Kita dapat mencontoh negara Portugal yang telah berhasil menerapkan dekriminalisasi sejak tahun 2001 tanpa menimbulkan dampak negatif yang dikhawatirkan. Paradigma ini menempatkan rehabilitasi sebagai alternatif pidana dengan melibatkan Tim Asesmen Terpadu (TAT) yang terdiri dari berbagai pihak, termasuk dokter, psikolog, Polri, BNN, Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Upaya rehabilitatif tentu juga perlu ditopang dengang pendekatan dekriminalisasi melalui penghindaran para korban pengguna narkotika ke dalam penjara. Pemerintah Indonesia sendiri telah berkomitmen untuk mendorong penerapan keadilan restoratif melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang salah satu fokusnya adalah untuk mengurangi jumlah kapasitas orang dipenjara, utamanya dalam kasus narkotika, dengan melakukan sinergitas dengan beberapa kementerian dan lembaga, salah satunya adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
POLRI melalui Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No 08 Tahun 2021 merupakan salah satu bentuk respon kepolisian untuk turut berpartisipasi dalam upaya mengurangi jumlah orang yang dipenjara dengan mengusung konsep Keadilan Restoratif. Salah satu kelompok yang di singgung dalam peraturan ini adalah pengguna narkotika. Niat baik kepolisian tentu patut diapresiasi dan didukung, hal ini menunjukkan bahwa kepolisian saat ini telah membuka diri dan beradaptasi pada berbagai perubahan yang menjadi kebutuhan di tengah-tengah masyarakat. Namun, dalam proses implementasinya, masih ditemukan banyak kendala dan tantangan yang memerlukan perhatian dan tindakan lebih lanjut untuk perbaikan di masa mendatang. hal ini juga menjadi angin segar bagi para pengguna narkotika yang selama ini merasa sering mendapatkan tindakan kriminalisasi dan perlakuan tidak adil.
Saat ini, menghadirkan keadilan restoratif dan mendorong rehabilitasi berbasis bukti bagi para pengguna dan korban peredaran gelap narkotika dapat diupayakan dalam revisi UU Narkotika yang saat ini tengah bergulir dibahas oleh negara. Untuk itu, penting untuk para pemangku kepentingan duduk bersama demi mendiskusikan dan mendorong penerapan rehabilitasi berbasis bukti dan keadilan restoratif dalam kebijakan narkotika kelak.
Berangkat dari niat baik tersebut, AKSI Keadilan Indonesia, Yayasan Karisma, dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika berinisiatif mengadakan sebuah diskusi nasional bertajuk; Diskusi Nasional Lintas Pemangku Kepentingan untuk Mendorong Kebijakan Narkotika Humanis, Berkeadilan Restoratif, dan Berbasis HAM pada 14 Desember 2023 lalu.
Diskusi nasional ini dihadiri banyak pemangku kepentingan terkait reformasi kebijakan narkotika, di antaranya adalah: Dr.iur. Asmin Fransiska, S.H., LL.M, – Dekan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya; Brigjen. Pol. Mukti Juharsa – Direktur Tindak Pidana Narkoba; Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H. – Kasubdit I Dittipidnarkoba Bareskrim Polri; dr. Amrita Devi, SpKJ,.M.Si, Direktur PLRKM BNN RI.
Dalam diskusi tersebut dihasilkan beberapa rekomendasi baik untuk pemerintah maupun penegak hukum yang bisa disimpulkan ke rekomendasi umum yaitu; mengubah paradigma pendekatan narkotika dari yang berlandaskan penghukuman kepada yang mengedepankan pendekatan kesehatan, perlindungan HAM, dan berlandaskan pada kebijakan yang berbasis pada ilmu pengetahuan, serta menjauhkan dari stigma dan diskriminasi terhadap orang yang menggunakan narkotika.
Diharapkan diskusi ini bisa menjadi awal untuk Bersama mewujudkan kebijakan narkotika yang humanis di Indonesia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post