Jakarta, Prohealth.id – Aturan hukum tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 atau PP 109/2012 yang kini terus didesak untuk melalui revisi seiring perubahan zaman dan perkembangan teknologi.
Menurut Widyastuti Soerojo, selaku Ketua I Bidang Kajian dan Pengembangan Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, Senin (26/7/2021) revisi PP 109 Tahun 2012 ini penting untuk mengakomodasi perkembangan dari industri rokok melalui produknya yaitu rokok elektrik.
“Menyesuaikan perkembangan teknologi,” katanya.
Desakan revisi terkait pula dengan kemunculan rokok elektrik alias vape dan produk tembakau yang dipanaskan. Produk rokok ini memang sudah termasuk barang kena cukai.
“Tapi belum ada regulasi pengendalian konsumsi,” ujarnya.
Produk rokok elektronik pun terkait manipulasi nikotin. Berbagai klaim yang berkembang, antara lain rendah risiko kesehatan maupun alternatif berhenti merokok.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) memastikan, bahwa klaim rokok elektronik (electronic cigarettes) dan produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco products) membantu untuk berhenti merokok tak memiliki dasar rujukan ilmiah. Demikian pula anggapan bahwa rokok elektronik lebih aman dibandingkan rokok tembakau, klaim tersebut tak mendasar, sebagaimana dikutip dari situs web IAKMI.
Menurut hasil penelitian Food and Drug Administration (FDA) rokok elektronik dan produk tembakau dipanaskan bukan cara aman membantu orang berhenti merokok. Alasannya, penggunaan nikotin untuk berhenti merokok memiliki persyaratan khusus. Adapun itu hanya kepada perokok yang ingin menyudahi kebiasaannya. Fakta lain menunjukkan, banyak pengguna rokok elektronik dan produk tembakau dipanaskan juga pengisap rokok konvensional.
Pada 7 Juli 2020, Food and Drug Administration menolak permohonan Philip Morris International terkait IQOS produk tembakau yang dipanaskan. Pengajuan IQOS sebagai produk kurang berbahaya (modified risk authorization) tak diberikan. Sebaliknya yang muncul sebagai produk dengan paparan bahan berbahaya yang lebih rendah (lower exposure modification).
Ada pula penelitian independen uji emisi IQOS. Walhasil membuktikan, terdapat beberapa zat beracun pada IQOS yang tidak ada dalam daftar Food and Drug Administration.
Namun begitu, rokok elektronik tetap diminati. Bahkan, ada kecenderungan makin meningkatkan jumlah perokok terutama remaja. Pandangan tersebut merujuk penelitian berfokus 38.000 siswa sekolah menengah menggunakan data dari National Youth Tobacco Survey yang dilakukan US Centers for Disease Control and Prevention, sebagaimana dikutip oleh Jurnal Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro (2017). Hasil menunjukkan, peningkatan jumlah perokok pemula dengan rokok elektronik.
Pada 2011, sebesar 3,1 persen remaja sudah mengisap rokok elektronik minimal sekali. Adapun 1,7 persen di antaranya masih mengisap rokok tembakau. Pada 2012, persentase remaja pengisap rokok elektronik mengalami kenaikan, yaitu 6,5 persen.
Jurnal Universitas Gadjah Mada, Berita Kedokteran Masyarakat (2019) menjelaskan, rokok elektronik makin populer, tapi tidak memberikan informasi detail kandungan. Oleh sebab itulah para produsen menganggap rokok elektronik lebih aman dibandingkan dengan rokok tembakau.
Rokok elektronik jenis yang lebih berbahaya dibandingkan jenis penghirup (inhaler) nikotin lainnya. Tak ada pula publikasi data yang menyatakan keamanan rokok elektronik. Selain itu the Food and Drug Administration merilis temuan, nikotin dan diethylene glycol pada beberapa rokok elektronik. Namun masih mengiklankan sebagai tanpa nikotin (nicotin-free).
MEMPERTANYAKAN EFEKTIVITAS ROKOK ELEKTRIK UNTUK BERHENTI MEROKOK
“Bukti ilmiah rokok elektronik sebagai alat untuk berhenti merokok penting dipertanyakan,” kata peneliti TackSHS Project, Beladenta Amalia.
Dia menjelaskan, jika merujuk studi Randomized Controlled Trial (2019), bahwa 80 persen pemakai rokok elektronik selama satu tahun menggunakan produk tersebut ketika ingin berhenti merokok.
“Jadi satu tahun itu bukan waktu yang sebentar. Ini lebih mengkhawatirkan risiko jangka panjang,” ujarnya.
Selain itu, klaim rokok elektronik bisa untuk berhenti merokok hanya berlaku khusus. Misalnya, kata dia, tata cara semacam klinik berhenti merokok di bawah supervisi tenaga medis profesional.
“Sebenarnya tidak relevan dengan kenyataan di masyarakat,” katanya.
Hal itu karena rokok elektronik tidak dipakai di bawah penyeliaan. “Kan enggak, anak-anak muda bisa membelinya bebas lewat internet tanpa supervisi medis. Jadi dari situ dipertanyakan efektivitas untuk berhenti merokok,” ujarnya.
Pada 2019, Global Youth Tobacco Survey meluncurkan data, bahwa anak-anak muda kebanyakan tak tahu rokok elektronik mengandung nikotin. Data tersebut menggambarkan situasi yang genting terkait kejelasan produk. “Seharusnya negara memberikan peringatan para penggunanya, kandungan nikotin menyebabkan candu,” kata Mouhamad Bigwanto, selaku TI Monitoring Focal Point Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA).
Dia menjelaskan, kalangan anak-anak muda berminat memakai rokok elektronik tersebab beberapa hal. Dari aspek lingkungan, ucap dia, hanya cukai yang mengatur peredaran rokok elektronik. Tak ada aturan selain itu menyebabkan rokok elektronik mudah beredar di berbagai saluran informasi. Oleh sebab itulah, lingkungan menjadi tak mendukung untuk mencegah peningkatan prevalensi anak-anak maupun dewasa.
“Dari sisi agen, karakter produknya (rokok elektronik) bervariasi tersedia ribuan rasa,” kata Bigwanto.
Variasi rasa tersebut bisa dibuat makin personal menyesuaikan kesukaan pribadi. “Konstruksi (rasa) seakan-akan menjadi diri kita,” ujarnya. Rokok elektronik juga diminati lantaran desain yang modern serta kepulan uap tak berbau asap.
Bigwanto menjelaskan, hal yang menjadi tantangan terkait anggapan, bahwa industri vape berbeda dengan rokok. Padahal, kata dia, industri rokok tembakau juga berinvestasi untuk rokok elektronik.
“Beberapa asosiasi industri rokok elektronik didanai oleh Big Tobacco. Ini yang harus dipahami, bahkan promosi juga didanai industri rokok,” katanya.
KEMUDAHAN SUMBER INFORMASI ROKOK ELEKTRIK
Rokok elektronik termasuk produk yang mudah didapat oleh kalangan anak-anak muda. Riset Global Youth Tobacco Survey juga menemukan kebanyakan seseorang mendapat rokok elektronik dari orang lain dan toko daring (online shop). Tahun 2018, riset Bigwanto terkait pelajar yang mendapat sumber informasi rokok elektronik dari lingkungan sekitarnya.
“Sumber informasi paling banyak melihat orang lain menggunakan rokok elektronik (47,5 persen),” kata Bigwanto yang juga Wakil Dekan 1, Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Selain itu, lingkupnya hampir sama, mendapat informasi dari teman, 16,3 persen. Sumber lainnya melalui internet 7,4 persen dan media sosial 17,6 persen. “Dari sini kita tahu channel (saluran internet) ini dimanfaatkan industri untuk memasarkan produk mereka,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post