Pada hari Sabtu 1 Oktober 2022 sekitar pukul 22.00 WIB, setelah pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya usai, suporter Arema melempari para pemain dan official Persebaya yang tengah berusaha masuk ke dalam kamar ganti dari lapangan dengan botol air mineral dan lain lain, dari atas tribun.
Begitu pula saat pemain dan official Arema berjalan masuk menuju kamar ganti pemain, suporter Arema turun ke lapangan dan diduga menyerang pemain dan official Arema. Suporter Arema yang turun ke lapangan semakin banyak dan diduga menyerang aparat keamanan. Hal ini kemudian memicu aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun suporter Arema, dan membuat suporter di tribun itu berdesakan membubarkan diri keluar stadion lalu terjadi penumpukan massa.
Insiden penembakan gas air mata juga terjadi saat suporter Arema berusaha menghadang rombongan pemain dan official Persebaya yang hendak meninggalkan Stadion Kanjuruhan, tempat pertandingan berlangsung. Aparat keamanan membubarkan suporter dengan menembakkan gas air mata.
Akibat kejadian tersebut, setidaknya 181 orang termasuk dua anggota polisi pun meninggal dunia. Setidaknya 180 orang lainnya menjadi korban luka dan gangguan medis seperti sesak nafas dan saat ini tengah dirawat di sejumlah rumah sakit di Malang.
“Kami turut berduka cita atas Tragedi Kemanusiaan di Kanjuruhan, Malang yang menewaskan kurang lebih 182 orang,” ujar Koalisi Masyarakat Sipil dan Reformasi Sektor Keamanan dalam pesan singkat yang diterima Prohealth.id, Senin (3/10/2022).
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari; IMPARSIAL, LBH Surabaya Pos Malang, LBH Jakarta, YLBHI, PBHI Nasional, KontraS, Setara Institute, Public virtue, ICJR, WALHI, LBH Masyarakat, LBH Pers, ELSAM, HRWG, Centra Initiative, ICW, AJI Jakarta, mengecam sekaligus mengutuk keras kelalaian Panitia dan Operator Liga yang tidak menerapkan mitigasi risiko dengan baik dan benar, sehingga kapasita stadion yang seharusnya hanya dapat diisi maksimal 38.000 orang membludak hingga mencapai sekitar 42.000 orang dan mengakibatkan penonton harus berdesak-desakan, himpit-himpitan dan mengalami gangguan pernafasan. Oleh karenanya, pertanggungjawaban panitia dan operator Liga harus dimintai baik dalam kerangka kelalaian yang menyebabkan orang meninggal dan ganti rugi serta rehabilitasi kepada korban.
Baca Juga: Belajar Jadi ‘Laki’ dengan ‘Stop Merokok’ ala Indro Warkop
Kelalaian panitia dan operator liga tersebut diperburuk dengan tindakan pengamanan yang tidak proporsional dan bahkan cenderung berlebihan (excessive use of force) oleh aparat Kepolisian yang bertugas dilapangan, dalam video yang beredar di media sosial terlihat bahwa terdapat penggunaan gas air mata yang dilarang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, selain penggunaan gas air mata juga terdapat kekerasan terhadap para korban. Dalam video yang beredar kekerasan tidak hanya dilakukan oleh kepolisian tetapi juga dilakukan oleh anggota TNI.
“Koalisi juga menilai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) harus melakukan pemeriksaan terhadap aparat yang bertugas dilapangan karena jelas ada penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional serta kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, selain itu terhadap anggota TNI harus juga diperiksa oleh Panglima TNI mengingat penerjunan anggota untuk mengamankan Pertandingan Sepakbola jelas bukanlah tugas prajurit TNI.”
Lebih dari pada itu, atasan anggota Polisi dan TNI yang bertugas di lapangan juga harus dimintai pertanggunjawaban (command responsibility) karena sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan.
Untuk itu Koalisi mendesak beberapa hal. Pertama, Presiden RI Joko Widodo harus meminta maaf secara terbuka kepada korban dalam tragedi kemanusiaan Kanjuruhan dan memastikan ganti rugi dan rehabilitasi kepada korban secara menyeluruh;
Kedua, Presiden RI harus membuat Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menemukan sebab terjadinya Tragedi Kemanusian dengan melibatkan Lembaga Negara Independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Ketiga, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Panglima TNI harus memeriksa semua anggota yang bertugas dilapangan secara etik, disiplin dan pidana.
Keempat, penyelenggara pertandingan sepakbola tidak lagi melibatkan aparat Kepolisian dan TNI serta berhenti menerapkan pendekatan Keamanan Dalam Negeri di dalam stadion, melainkan pengamanan ketertiban umum (stewards/civil guards).
Senada dengan Koalisi Masyarakat Sipil, Ketua Bidang Politik dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam (PP GPI) Eko Saputra mendesak Kapolri untuk mengusut tuntas kejadian ini dan meminta pertanggungjawaban dari Menteri Pemuda dan Olah raga (Menpora), Ketua Umum PSSI, dan Kapolda Jawa Timur.
“Saya meminta supaya Menpora dan Ketua Umum PSSI untuk mundur dari jabatannya.Serta meminta Kapolri untuk mencopot Kapolda Jawa Timur,” tandas Eko.
Dia menegaskan, peristiwa memilukan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang telah mencoreng citra olahraga sepakbola Indonesia di seluruh dunia. Eko juga menyesalkan tindakan refresif aparat kepolisian yang menembakkan gas air mata saat membubarkan penonton. Padahal FIFA sebagai induk sepakbola dunia terang-terangan melarang pemakaian gas air mata dalam stadion pertandingan. Pemakaian gas air mata sangat di larang dalam stadion sepakbola. Diduga hal ini lah yang menyebabkan jatuhnya ratusan korban jiwa akibat mengalami sesak nafas dan kekurangan oksigen dari gas air mata yang di timbulkan.
“Saya mengutuk dan mengecam keras kejadian ini.Saya minta supaya Menpora dan Ketum PSSI mundur dari jabatannya, dan Kapolda Jawa Timur di copot,” ungkap Eko.
Sebelumnya, Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta, mengatakan kerusuhan pecah usai pertandingan Derby Jawa Timur yang mempertemukan Arema Malang dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Kerusuhan dipicu kekalahan tim tuan rumah Arema Malang.
Baca Juga: Strategi Kepemimpinan dan Teknologi Solusi Peningkatan Kesehatan Masyarakat
Dampak gas air mata pada kesehatan
FIFA Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menyebutkan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam aturan itu juga disebutkan bahwa kedua benda tersebut dilarang dibawa masuk dalam stadion.
Asal tahu saja, paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit.
Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya. Tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang dilindungi oleh Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang wajib dipatuhi Indonesia sebagai negara pihak.
Oleh karena itu, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur secara lebih rinci dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990). Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh UU Nomor 39/1999 Tentang HAM hingga Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (No. 1/2009).
Pelanggaran HAM yang wajib dituntaskan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menanggapi tewasnya hampir 200 orang pasca pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC dengan Persebaya di Malang, Jawa Timur, bahwa hidup ratusan orang melayang begitu saja pasca pertandingan bola, ini betul-betul tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan. Perempuan dan laki-laki dewasa, remaja dan anak di bawah umur, menjadi korban jiwa dalam tragedi ini.
“Kami sampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban, pun kepada korban luka yang saat ini sedang dirawat, kami berharap pemulihan kondisi yang segera,” kata Usman.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Bila perlu, bentuk segera Tim Gabungan Pencari Fakta. Tragedi ini mengingatkan kita pada tragedi sepak bola serupa di Peru tahun 1964 di mana saat itu lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi ke kerumunan massa lalu membuat ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen.
Baca Juga: Perempuan Tidak Boleh Sakit
“Sungguh memilukan 58 tahun kemudian, insiden seperti itu berulang di Indonesia. Peristiwa di Peru dan di Malang tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata. Tentu kami menyadari bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka, tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan.”
Usman juga menegaskan akuntabilitas negara benar-benar diuji dalam kasus ini. Oleh karena itu, Amnesty International mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang.
Selanjutnya: Anak Jalanan Korban Rokok di Metropolitan
Penulis: Irsyan Hasyim & Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post