Perusahaan yang memproduksi tembakau memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari bahaya yang mereka ciptakan seperti yang dikutip dari situs STOP – A Global Tobacco Industry Watchdog yang terbit pada 31 Oktober 2022.
Artikel tersebut menyatakan, contoh terbaru dari kondisi ini adalah keterlibatan kuat Big Tobacco dalam pelaporan lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Investor, pengambil keputusan, dan masyarakat umum dapat mempelajari tentang “keberlanjutan” perusahaan melalui penggunaan peringkat ESG, yang diberikan oleh berbagai penilai mandiri/independen. Mereka mempertimbangkan tata kelola perusahaan serta dampak sosial, lingkungan, dan ekonominya.
Mengapa industri yang tidak memiliki keberlanjutan pada intinya mendukung sistem yang menghargai bisnis yang etis dan berkelanjutan?
Alasannya, karena peringkat ESG yang salah memberikan peringkat tinggi yang “tidak wajar atau sangat buruk” kepada perusahaan tembakau, menciptakan kesan bahwa perusahaan terkait sadar sosial dan lingkungan. Padahal, pemeriksaan menunjukkan bahaya bahwa peringkat menipu ini dapat mewakili kesehatan masyarakat umum.
Memanfaatkan Kesempatan
Investasi pada lingkungan, sosial, dan pemerintahan yang mengacu pada konsep keberlanjutan dan tanggung jawab memang sudah popular saat ini. Tak heran, jika pandemi Covid-19, krisis lingkungan, dan isu-isu hak asasi manusia menjadi fokus masyarakat dunia. Alhasil, banyak investor dan konsumen ingin agar perusahaan ikut mengatasi masalah ini, bukan menambah masalah tersebut.
Begitu pun industri tembakau yang terus memanfaatkan peluang public relation (PR) tanpa memedulikan kasus COVID-19, memperburuk masalah iklim, dan kerja-kerja industri tembakau tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Imperial Brands, Japan Tobacco International, British American Tobacco, dan Philip Morris International (PMI), keempat industri tembakau multinasional menerbitkan laporan keberlanjutan yang menyoroti inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) mereka. Bisnis tembakau ingin menampilkan diri mereka sebagai instansi yang bertanggung jawab. Dengan mempromosikan kegiatan ini perusahaan berpeluang terlibat dalam penyusunan kebijakan.
Sayangnya, laporan-laporan ini memberikan kebebasan pada perusahaan rokok untuk memilih informasi apa pun yang disajikan sehingga mereka dapat menampilkan citra diri yang menguntungkan. Rating ini memberi citra pada praktik bisnis perusahaan dibandingkan produk yang dihasilkan. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi industri tembakau.
Bisnis tembakau menyebarkan laporan ini secara luas dalam upaya untuk menarik investor dan menghasilkan opini publik yang menguntungkan. Memang benar bahwa perusahaan rokok dipuji atas tindakan “berkelanjutan” mereka. Buku Tahunan Keberlanjutan Global S&P memberikan sertifikasi “kelas emas” BAT, dan Proyek Pengungkapan Iklim memberikan klasifikasi “Daftar A” PMI dalam indeks keberlanjutan.
Pemeringkatan ini dapat membuat investor atau pembuat kebijakan berasumsi bahwa raksasa industri tembakau ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Melupakan substansi terpenting
Untuk mendapatkan penghargaan atas laporan ini, perusahaan tembakau memusatkan pelaporan ESG mereka pada topik seperti inisiatif pemulihan sumber daya, kampanye untuk menghentikan pekerja anak, dan komitmen keuangan untuk produk rokok dan nikotin dengan “risiko yang lebih rendah”. Industri tembakau tidak memasukkan komponen yang lebih signifikan dalam laporan yang bisa menunjukkan bagaimana bisnis tembakau yang kapasitasnya besar justru merugikan dan sama sekali tidak mengusung keberkelanjutan.
Ada beberapa anomali penting tentang tindakan dan isi laporan industri tembakau. Sebuah perusahaan tembakau mungkin, misalnya, menunjukkan inisiatif anti-sampah atau pembersihan pantai tanpa mengungkapkan bahwa sampah-sampah itu disebabkan oleh triliunan puntung rokok berbahaya yang dibuang setiap tahun dan meracuni saluran air dan laut. Industri tembakau mungkin juga menyebutkan langkah-langkah yang telah diambil untuk mengatasi masalah pekerja anak dalam rantai pasokan tembakau, tetapi tidak akan mengungkapkan bagaimana perusahaan terus menggunakan pekerja anak. Selain itu, industri mungkin menyebutkan investasinya pada produk lain “beresiko rendah” tetapi menghilangkan fakta bahwa rokok masih menjadi produk dan sumber pendapatan utama.
Menurut laporan singkat, pelaporan ESG industri tembakau seharusnya mencakup semua dampak, termasuk variabel kerugian akibat produknya, kerugian finansial yang ditimbulkan, kerusakan anak-anak, petani yang terluka, kecanduan anak-anak, dan banyak lagi. Akankah para analis ESG masih menempatkan bisnis tembakau sebagai “Daftar-A” dan “kelas emas” jika indikator-indikator ini harus ada?
Gambaran lengkap ini memperjelas bahwa inisiatif CSR yang diklaim perusahaan tembakau tidak mampu memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh sektor tersebut.
Akuntabilitas adalah yang dibutuhkan industri tembakau, bukan pujian.
Dua kekhawatiran signifikan muncul dari pelaporan dan pemeringkatan ESG yang menipu dari industri rokok.
Pertama, kerugian sebenarnya yang disebabkan oleh industri tersebut dapat disamarkan. Kedua, pemerintah mungkin memandang perusahaan tembakau sebagai peserta yang taat sah dalam diskusi tentang perdagangan, kesehatan, dan kebijakan lainnya. Hasilnya, kesehatan masyarakat dapat dirugikan oleh salah satu dari ini.
Alih-alih memuji industri tembakau atas program CSR-nya, publik harus menganggap industri tembakau lebih bertanggung jawab atas kerusakan yang telah dilakukan terhadap kesehatan masyarakat, lingkungan, dan ekonomi. Larangan promosi kegiatan CSR, yang dianggap sebagai salah satu jenis pemasaran, merupakan langkah awal untuk memastikan tanggung jawab pelaporan LST yang akuntabel.
Konvensi Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia tentang Pengendalian Tembakau (WHO FCTC) mensyaratkan bahwa semua negara yang menjadi anggota FCTC dalam perjanjian melarang sponsor, iklan, dan promosi tembakau. Pemerintah harus mengambil tindakan untuk melindungi kebijakan, termasuk kebijakan yang memengaruhi pelaporan LST, dari pengaruh industri tembakau sesuai dengan FCTC WHO.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post