“Mbak, ada rokok X nggak?”
“Oh Mas nggak beli yang itu.”
Percakapan sehari-hari di sebuah kantin sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) sebuah kampus yang katanya bebas dari asap rokok. Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mendeklarasikan diri sebagai kampus bebas rokok melalui rumusan kebijakan belasan tahun lalu. Nyatanya, kebijakan hanyalah angin lalu, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan fakta yang berbanding terbalik.
Tahun 2008, UGM telah mengeluarkan surat keputusan peraturan rektor mengenai Kawasan Tanpa Rokok yang ditujukan kepada sivitas akademika dan tamu yang berada di lingkungan kampus.
Peraturan tersebut dilaksanakan dengan sedikit kelonggaran dari Prof. Ir. Sudjarwadi, M. Eng., Ph.D selaku rektor UGM periode 2007-2012 bahwa masih dibolehkan untuk merokok di gedung pusat tetapi hanya di tempat-tempat tertentu. “Sejak itu memang karyawan hanya merokok di tempat tertentu,” ujar Prof. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D, selaku ketua Health Promoting University (HPU) UGM.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan tersebut seperti tak kunjung mencapai hasil yang maksimal. Hal ini ditandai dengan kebiasaan merokok yang kerap ditemui di area kampus. Bukan hanya mahasiswa, pun juga pegawai maupun tenaga pendidik. “Kalau di sini kan biasa ada yang ngerokok juga. Banyak sih nggak cuma mahasiswa, tetapi pegawai juga. Berhubung di sini saya melihat banyak juga yang merokok selain saya, jadi saya berasumsi boleh merokok (di sini -red),” ucap Halim (Fakultas Pertanian), mahasiswa yang saya temui sedang merokok di lingkungan fakultasnya.
Sekretariat UKM yang merupakan ruang aktivitas mahasiswa, juga tak luput dari asap rokok. Meskipun di beberapa tempat sudah terpampang tanda “No Smoking Area” sejumlah mahasiswa masih abai terhadap larangan dan ancaman kesehatan akibat merokok.
Dalih bahwa merokok dapat meredakan stress menjadi alibi yang kerap didengungkan. Tak pelak, hal ini langsung dibantah oleh Prof. Yayi “Penyebab utamanya adalah masalah yang belum selesai. Jadi persepsi rokok bisa menyelesaikan itu ya salah total,” ucap Prof. Yayi.
Ia menambahkan bahwa zat tembakau itu bersifat temporer dan tidak menyembuhkan. Stress yang ditangani dengan obat berefek singkat seperti rokok, akan menimbulkan kecanduan akibat kandungan nikotin di dalamnya.
Seperti yang dialami oleh Halim (Faperta) yang memulai aktivitas merokok untuk menahan kantuk saat melakukan penelitian. “Kalau sekarang yang jelas habis makan itu ngerokok. Tapi bisa nggak pengen ngerokok sama sekali kayak ketika di rumah, tapi setelah itu pasti ada rasa ingin merokok,” ucapnya.
Halim mengatakan bahwa keinginannya untuk merokok ini bisa kondisional. Apabila terdapat area dilarang merokok, dia bisa menahannya. Akan tetapi, jika pada area tersebut banyak ditemui orang yang merokok, dia juga bisa ikut merokok. “Tanda dilarang merokok ini nggak terlalu berpengaruh karena ada banyak yang merokok di sini jadi kultur (budaya -red) dan ya sudah merokok saja,” tambahnya. Kondisi ini juga berlaku saat persediaan rokoknya habis dan tidak ada penjual rokok di sekitarnya.
Berbeda dengan Halim, mahasiswa penghuni sekretariat UKM justru dimudahkan aksesnya dalam persediaan rokok. Pasalnya, di sekretariat biasanya terdapat satu kantin yang menjual aneka makanan-minuman juga rokok sebagai pelengkap. “Kalau ada minuman itu pasti tanya rokok,” ujar Mbak Jajan, penjual kantin yang berada di sekretariat UKM.
Mbak Jajan mengaku telah menjual rokok sejak dulu karena banyaknya permintaan dari mahasiswa. Rokok dipajang di meja bersama sederet makanan ringan. Mereka yang ingin merokok dapat langsung mengambil dan menunjukkannya pada Mbak Jajan untuk dibayar kemudian. Tak jarang pula, mereka membayar di akhir hari bahkan keesokan hari.
Kemudahan akses terhadap rokok, terkadang tak disambut baik oleh semua orang. Hal ini yang dialami Arum (FTP ‘19) “Aku nggak tahan sama bau rokok di sekitar aku ya. Nggak suka banget sih karena itu nggak Cuma mengganggu kesegaran udara. Di situ juga nggak Cuma buat dia doang gitu lho udaranya. Bahaya terbesar ngerokok itu kan bagi yang menghirup ya bukan yang merokok,” ujar Arum.
Efek yang ditimbulkan dari asap rokok sangat berbahaya bagi kesehatan, baik perokok aktif maupun pasif. “Kalau dia hirup sendiri ya nggak masalah, tapi kalau orang lain ya jangan,” tambah Arum.
Kelonggaran kebijakan ruang bebas rokok semakin menjadi ketika tidak ada sanksi dan teguran dari pihak berwenang yang mengawasi hal tersebut, seperti Satuan Keamanan Kampus (SKK) atau kelompok kerja lainnya.
Saat kebijakan kawasan bebas rokok diberlakukan pada 2008, siapa pun yang ketahuan merokok di tempat umum, akan ditindak dan diberi sanksi. “Sanksinya saat itu kalau ketahuan merokok di tempat bebas rokok itu harus pergi ke Gadjah Mada Medical Center (GMC) (untuk mendapatkan penanganan -red),” tutur Prof. Yayi.
Beberapa upaya sudah dilakukan oleh UGM untuk kembali menggiatkan peraturan ini. Salah satunya adalah pengukuhan Duta Anti Napza yang merupakan bagian dari Komunitas Gerakan Jauhi Bahaya Napza dan Rokok (Raja Bandar).
Duta Antinapza bertugas sebagai koordinator kampanye pencegahan merokok. Sayangnya, tidak ada surat keputusan dari kampus terkait pengangkatan Duta Antinapza ini. “Pengangkatan Duta Antinapza ini merupakan murni dari (Komunitas -red) Raja Bandar,” ucap Regizki, duta Antinapza 2021.
UGM telah merancang program untuk menangani permasalahan rokok melalui Program Health Promoting University (HPU). Program ini bertujuan menciptakan lingkungan belajar, budaya organisasi yang bebas dari asap rokok, serta meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi sivitas akademika.
Salah satu program HPU adalah zero tolerance untuk tembakau, alkohol, dan obat terlarang. “Kemarin kita mengangkat ambassador untuk HPU yang dari mahasiswa, harapannya lewat ini kita bisa menitipkan kegiatan kami tidak hanya mental health tetapi juga bahwa kampus kita adalah kampus zero tolerance untuk rokok, alkohol, dan obat-obatan terlarang,” ujar Prof. Yayi.
Kehadiran HPU menjadi harapan atas mandegnya pelaksanaan peraturan rokok di UGM. HPU nantinya akan menggalakkan sosialisasi terkait dengan peraturan rektor dan Kawasan Tanpa Rokok ini terutama pada dekan di tiap fakultas. “Untuk dekan yang baru ini, belum sosialisasi lagi tentang HPU sambil kita mengingatkan kembali bahwa UGM itu kawasan tanpa rokok,” ucap Prof. Yayi.
Sosialisasi menjadi poin utama dalam pelaksanaan peraturan kawasan bebas rokok. Sosialisasi dianggap penting untuk tetap menggaungkan peraturan tersebut sehingga dapat terus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Selain itu, sanksi yang tegas dapat diberikan kepada seluruh mahasiswa atau sivitas UGM bila melanggar peraturan tersebut. “Orang-orang itu terkadang menaati peraturan hanya karena ada hal yang ditakuti,” ucap Regizki.
Pelaksanaan kebijakan ini masih belum optimal meski sudah diteken sejak belasan tahun yang lalu. Banyak harapan untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih sehat dan ramah untuk semua. “Marilah wujudkan itu supaya kita betul-betul mempunyai sivitas akademika yang sehat dan produktif. UGM termasuk kampus terpandang jadi marilah jadikan kampus ini sebuah contoh yang baik untuk kesehatan juga dalam menaati peraturan,” harap Prof. Yayi menutup wawancara.
Penulis : Nisa/bul
Editor : Varres/bul
Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta untuk pers mahasiswa.
Tulisan ini sebelumnya dimuat dalam situs Bulaksumur +Plus (bulplus), salah satu media dari Surat Kabar Mahasiswa (SKM) UGM Bulaksumur yang merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) pers mahasiswa yang terdaftar di Universitas Gadjah Mada. Artikel ditayangkan perdana pada 28 Februari 2022.
Discussion about this post