Jakarta, Prohealth.id – Sebanyak1 dari 10 orang dan 1 dari 2 penderita diabetes menderita Neuropati Periferal. Pada tahun 2021, terdapat 393 juta pasien diabetes di wilayah Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Afrika yang diperkirakan meningkat menjadi 603 juta pada tahun 2045.
Penderita neuropati perifer melaporkan bagaimana dampak terhadap kualitas hidup mereka, termasuk terjadinya penurunan kemampuan fisik dan juga gangguan tidur. Neuropati Perifer pada penderita diabetes sangat umum terjadi di Asia Tenggara; di beberapa negara, angkanya mencapai hampir 60 persen. Sebuah studi dari Filipina pada tahun 2000 dari proyek Diabcare-Asia, telah menaksir 2.708 pasien di pusat-pusat diabetes, dan melaporkan prevalensi neuropati diabetik sebesar 42 persen, berdasarkan catatan medis.
Neuropati Perifer mempengaruhi 34-35 persen populasi Uni Emirat Arab dengan diabetes. Arab Saudi menempati peringkat kedua tertinggi di Timur Tengah dan peringkat ketujuh di dunia dalam hal tingkat diabetes. Neuropati Perifer Diabetes yang menyebabkan nyeri terjadi pada lebih dari 65 persen pasien dengan Diabetes di Arab Saudi.
Di Singapura, prevalensi Neuropati Perifer diabetik dilaporkan sebesar 28 persen, dan faktor risiko yang signifikan adalah usia, etnis India, penggunaan insulin, retinopati diabetik, dan stroke. Sementara di Malaysia, 51 persen penderita diabetes didiagnosis mengalami neuropati peripheral.
Selain diabetes mellitus, obesitas, dan penyalahgunaan alkohol, kekurangan vitamin B merupakan faktor risiko tinggi lainnya yang menyebabkan kerusakan pada saraf perifer.
Prof. Rainer Freynhagen, Kepala Departemen Anestesiologi, Perawatan Intensif, dan Pengobatan Nyeri di Rumah Sakit Benedictus Tutzing & Feldafing Jerman, menyatakan neuropati perifer dan nyeri dengan komponen neuropatik sangat umum terjadi pada masyarakat. Dia menyebutkan bahwa para dokter di seluruh dunia melihat jutaan pasien yang menderita kondisi-kondisi ini setiap hari, yang relatif mudah didiagnosis namun sulit untuk diobati, terutama pada tahap lanjut.
Pasalnya, sekitar 10 persen dari masyarakat di seluruh dunia telah terkena nyeri neuropatik dan 50 persen dari pasien ini tidak mendapatkan pengobatan dengan cukup baik.
“Mengidentifikasi pasien dengan neuropati perifer bukanlah hal yang sulit, namun studi-studi yang saat ini dipublikasikan di berbagai negara menunjukkan bahwa hingga 80 persen pasien tetap tidak didiagnosis dan tidak diobati,” ujar Prof. Rainer Freynhagen melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Rabu (7/6/2023).
Lebih lanjut ia menjelaskan, banyak orang mungkin melaporkan rasa nyeri mereka hanya setelah rasa nyeri tersebut menjadi tidak tertahankan, namun yang lebih penting adalah fakta bahwa dari keseluruhan jumlah dokter, kurang dari sepertiganya saja yang memiliki keyakinan untuk mengetahui gejala dan tanda-tanda neuropati perifer secara tepat.
“Bagi saya, sangat mengkhawatirkan bahwa bagi banyak dokter, nyeri neuropatik seringkali memiliki dianggap tidak terlalu penting dibandingkan dengan gejala lain yang dialami oleh pasien, meskipun itu adalah salah satu masalah yang paling memberatkan dan memiliki dampak yang luar biasa pada kualitas hidup pasien kita,” sambung Prof. Rainer.
Menurut Dr. Satish V Khadilkar, Neurologis terkemuka, Profesor dan Kepala Departemen Neurologi di Bombay Hospital Institute of Medical Sciences di Mumbai, India, diagnosis Neuropati Perifer merupakan kebutuhan yang belum terpenuhi.
Ia menyebut, jika PN tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, biasanya akan berkembang menjadi nyeri neuropatik yang dapat menyebabkan beberapa komorbiditas yang signifikan sehingga mempengaruhi kualitas hidup, kehidupan sosial, dan kehidupan kerja dari pasien tersebut.
“Hal ini termasuk depresi, gangguan tidur, kecemasan yang juga membutuhkan pengobatan dan menambah beban ekonomi pada pasien,” jelasnya.
PN diabetik menyebabkan nyeri secara signifikan dan menjadi masalah serius dalam status pekerjaan dan produktivitas kerja pasien. Dari pasien yang telah bekerja, 59 persen telah melaporkan menjadi kurang produktif dalam pekerjaan.
Sementara itu Dr. Ankia Coetzee, Endokrinologis, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Stellenbosch, Cape Town, Afrika Selatan, menyatakan bahwa komunikasi dengan pasien adalah kesempatan dan dokter perawatan primer menjadi pemeran utama dalam mendiagnosis neuropati.
“Karena beberapa pasien mungkin mengalami kesulitan dalam menggambarkan gejala mereka dengan baik, menyelidiki secara proaktif ciri-ciri PN seperti mati rasa, sensasi kesemutan, nyeri menusuk, atau sensasi kejutan listrik dapat menjadi titik awal yang baik dalam menunjukan gejala,” tuturnya.
Pengujian sensori yang mudah dilakukan seperti pengujian persepsi getaran, uji tusuk jarum, uji monofilamen, dll. tidak memakan waktu lebih dari beberapa menit dan membantu dalam diagnosis, sementara tes laboratorium dapat membantu memperinci diagnosa.
Dr. Inna Eiberger, Direktur Medis Global, P&G Health Nerve Care Franchise, menambahkan pentingnya vitamin B neurotropik sangat penting untuk kesehatan saraf dan mendukung regenerasi saraf.
“Vitamin B1 menyediakan energi bagi saraf, vitamin B6 membantu transmisi sinyal dalam saraf, sedangkan vitamin B12 mendukung regenerasi saraf,” ungkapnya.
Studi in vitro yang dimulai oleh P&G Health menunjukkan bahwa ketika Vitamin B1, B6, dan B12 ditambahkan ke kultur saraf dengan sel saraf sehat, terjadi peningkatan panjang total neurit sebesar 124 persen dan peningkatan luas total sel utama sebesar 55 persen.
Jaringan saraf dari sel-sel yang diberi nutrisi dengan B1, B6, dan B12 juga mengalami peningkatan dua kali lipat. Percobaan in vitro lebih lanjut telah membuktikan bahwa Vitamin B1, B6, dan B12 mendukung pemulihan sel saraf setelah kerusakan sel saraf.
Discussion about this post