Jakarta, Prohealth.id – CEO dan Pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menjelaskan ada dua temuan pasal bermasalah tentang kesehatan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Padahal, RKUHP ini rencananya akan disahkan pada akhir tahun 2022.
Adapun kedua pasal tersebut, yakni pasal 410 dan 412, adalah mengenai akses alat pencegah kehamilan. Pasal 410 melarang penunjukan alat pencegah kehamilan pada anak. Sementara Pasal 412 menyatakan hanya petugas berwenang dan relawan pilihan pemerintah yang boleh memberi edukasi alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi pada anak.
Tak tanggung-tanggung, bagi yang melanggar diancam dengan pidana denda Rp1 juta. Sementara bagi orang yang tanpa hak atau izin menunjukkan maupun menawarkan alat untuk menggugurkan kandungan baik secara tertulis atau langsung, akan dipidana penjara paling lama enam bulan atau denda Rp10 juta.
RKUHP telah disepakati pada Rapat Pembicaraan Tingkat 1 DPR RI pada 24 November 2022 lalu. Komisi Hukum dan Pemerintahan DPR RI telah membahas 23 poin dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) fraksi kepada pemerintah. Usai disepakati pada pembicaraan tingkat 1, RKUHP akan dibahas pada Rapat Tingkat 2 untuk kemudian disahkan dalam sidang paripurna.
“Masyarakat sipil melihat rancangan KUHP versi 9 November oleh Kementerian Hukum dan HAM masih belum secara utuh mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil, terutama terkait kesehatan, gender, dan kelompok rentan,” ujar Diah Saminarsih, melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Senin (5/12/2022).
Diah menyebut, perubahan mendesak pada pasal 410 dan 412 mengenai alat pencegah kehamilan perlu segera dilakukan mengingat urgensi dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
Ada tiga hal krusial yang menjadi catatan CISDI.
Pertama, pasal 410 melarang penunjukan alat pencegah kehamilan pada anak yang merupakan salah satu bentuk promosi kesehatan seksual dan reproduksi. “Ini berpotensi turunkan capaian kesehatan seksual dan reproduksi di Indonesia yang saat ini cukup rendah,” ujar Diah. Pasal ini juga menetapkan sanksi pidana bagi siapa saja yang mempertunjukan alat pencegah kehamilan pada anak-remaja.
“Survei BPS di tahun 2017 saja sudah menunjukkan rendahnya angka anak remaja laki-laki (11 persen) dan perempuan (12 persen) yang telah menerima promosi kesehatan mengenai Keluarga Berencana dan Pengendalian Kehamilan pada jenjang SMP, apalagi ditambah akan ada pembatasan tersebut dengan dampak pidana,” ungkap Diah kembali.
Hal ini diperkuat dengan temuan UNICEF tahun 2020 yang mencatat 32 persen angka remaja perempuan di Indonesia belum mampu mengakses alat kontrasepsi modern. Angka ini menurut Diah terbilang tinggi. Situasi ini mengakibatkan tingginya angka kehamilan remaja atau kehamilan terlalu muda di Indonesia.
Studi Bank Dunia pada tahun 2017 juga menemukan 47,3 dari setiap 1000 remaja perempuan di Indonesia pernah melahirkan. Temuan ini lebih tinggi dari rata-rata dunia, yakni 44 dari setiap 1000 remaja perempuan.
Kedua, pasal 410 dan 412 keduanya menyatakan hanya petugas berwenang dan relawan ditunjuk pemerintah yang boleh memberi edukasi alat pencegah kehamilan pada anak.
“Ini berpotensi membuat pendekatan layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik, menghambat kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat sipil, dan membatasi pendekatan informal untuk edukasi kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif,” sambungnya.
Berdasarkan data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) tahun 2019 menunjukkan dari 9.805 puskesmas di Indonesia, hanya 2.035 alias 20,8 persen saja puskesmas yang memiliki dan dapat menunjukkan Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja.
Sementara 1.390 atau 14,2 persen puskesmas mengaku memiliki, namun tidak dapat menunjukkan pedoman tersebut. Mayoritas sisanya, sekitar 6.380 atau 65,1 persen puskesmas, bahkan tidak memiliki Pedoman Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Remaja.
Di luar keterbatasan kapasitas layanan, Survei Adolescent Reproductive Health yang dilakukan oleh BPS bersama USAID, Kementerian Kesehatan, dan BKKBN tunjukkan tingginya preferensi anak-remaja yakni usia 15-24 tahun, yang belum menikah melakukan diskusi mengenai Kesehatan Reproduksi bersama temannya, dibandingkan layanan formal.
Ketiga, pasal 412 yang membuat layanan kesehatan seksual dan reproduksi menjadi sentralistik berisiko membatasi informasi anak dan remaja dengan HIV terhadap edukasi seksual dan reproduksi yang komprehensif. Riset Jacobi (2020) menjelaskan tingginya stigma dan diskriminasi menyulitkan orang dengan HIV (ODHIV) mengakses layanan kesehatan.
Sementara itu, pendekatan informal terbukti lebih efektif meningkatkan pemahaman dan pengetahuan anak dan remaja mengenai kesehatan reproduksi dan HIV.
Riset Kebijakan AIDS Indonesia tahun 2016 menekankan pentingnya peran kelompok dukungan sebaya dalam meningkatkan pemahaman anak-remaja dengan HIV mengenai kepercayaan diri, pengetahuan, pengetahuan kesehatan seksual dan reproduksi, akses layanan, perilaku pencegahan, dan kegiatan positif lainnya yang didukung kelompok dukungan sebaya.
Di tengah proses pengesahan tingkat kedua RKUHP yang akan berlangsung dalam waktu dekat, realitanya pasal terkait kesehatan masyarakat dan kelompok rentan belum terakomodir sepenuhnya.
“Kami mendesak DPR RI mempertimbangkan dan mengatasi ketiga isu krusial tersebut karena berpotensi memberikan dampak buruk pada kesehatan masyarakat,” tegas Diah.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post