Magelang, Prohealth.ID — Pemilik Sayur Organik Merbabu (SOM) Shofyan AC tidak pernah bermimpi menjadi petani.
Pasalnya, sejak SMA Shofyan menilai dunia petani telah ketinggalan zaman. Namun saat mengenyam pendidikan di bangku kuliah cara pandangnya berubah. Dia merasa harus berbuat sesuatu.
“Berjalannya waktu saya kepikiran bahwa kita sudah turun temurun bertani, tapi secara lintas generasi ternyata tidak juga membaik. Jadi saya rasa ada hal yang kurang disitu,” katanya saat menjadi narasumber pada Live Instagram Petani Bersuara “Petani Milenial: Yang Muda Yang Bertani”, pada Jumat (30/7/2021).
Setelah mempelajari ilmu pertanian dan menggali informasi dari banyak pihak termasuk keluarganya, Shofyan mengetahui bahwa persoalan utama para petani adalah posisi tawar yang rendah.
“Ternyata problem petani bukan karena tidak bisa menanam atau menghasilkan produk yang baik atau gagal panen. Masalah utamanya dari segi pasar. Mayoritas tidak punya posisi tawar,” ujar Shofyan
Di lapangan, para petani mengumpulkan modal yang akan digunakan untuk membeli pupuk, pestisida, bibit dan alat-alat pertanian yang dibutuhkan. Hanya saja, saat membeli ternyata harga sudah ditentukan dan mereka tidak boleh menawar.
“Misalnya kita ke toko pertanian, disitu harga pupuk Rp80ribu, maka kita tidak boleh nawar,” ujarnya
Kondisinya sangat berbeda ketika petani panen raya. “Apa yang terjadi, produk yang dijual, misalnya Rp5 ribu pasti ditawar pembeli. Kalau boleh Rp3 ribu. Jadi petani tidak punya nilai tawar,” terang Shofyan yang juga konsultan pertanian organik.
Berkaca dari kondisi itu, Shofyan tertarik membantu kehidupan petani agar tidak semakin terpuruk. Dia kemudian mem-branding produk-produk pertanian. Caranya dengan mengemas produk lalu memasarkan secara langsung.
“Jadi tidak melalui perantara lagi. Tidak melalui tengkulak dan ternyata responsnya bagus,” katanya.
Dengan cara itu, Shofyan melihat adanya efisiensi harga. Rantai pasok tata niaga yang bisa dipersingkat. Kebanyakan komoditas pertanian memiliki rantai tata niaga yang panjang, tidak hanya di produk hortikultura namun juga di komoditas tembakau.
Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang Retno Rusdjijati mengamini jika petani tembakau kesulitan menentukan harga. Semua telah ditetapkan oleh perusahaan. “Oleh industri, itu nanti sampai ke tengkulak dan mata rantai yang lain, harganya berbeda-beda,” ujarnya.
BERALIH DARI TEMBAKAU
Shofyan yang juga duta petani milenial itu tidak menampik, bahwa dahulu orang tuanya memilih bercocok tanam tembakau. Itu dilakukan secara turun temurun dan menjadi semacam tradisi.
“Di tempat kami dulu, turun temurun menanam tembakau dan keluarga kami adalah perajang tembakau untuk disetor ke gudang,” paparnya.
Setidaknya ada dua generasi yang memilih tembakau sebagai komoditas utama. Menurut Shofyan, itu karena mereka memiliki keterbatasan informasi tentang komoditas lain.
Kendati demikian, mereka telah mencoba melakukan diversifikasi tanaman dengan mengkolaborasikan tiga jenis komoditas. Jika di musim penghujan mereka menanam kubis, yang umurnya cukup panjang selama 70-90 hari.
“Bulan berikutnya saat masuk musim peralihan, kami tanam tembakau, kurang lebih 6 bulan,” ungkap Shofyan.
Baru setelah panen tembakau, yang kebetulan masuk musim kemarau, mereka menanam jagung. “Jadi, polanya seperti itu setiap tahun, sehingga para petani, jangankan untuk sekolah, untuk kebutuhan tiap hari pun susah,” katanya.
Beruntung setelah mendapatkan pembelajaran di bangku kuliah, Shofyan mencoba komoditas yang lebih bernilai ekonomi tinggi. Pilihannya jatuh pada sayuran organik.
Kini, masyarakat di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang tempat Shofyan berdiam tidak lagi melanjutkan budidaya tembakau. Umur panen yang lebih lama (5-6 bulan), fluktuasi harga dan sangat tergantung musim, jadi alasannya.
“Misalnya pas 3 tahun lalu, saat terjadi musim kemarau basah, itu otomatis kualitas tembakau sangat rendah,” terangnya
Shofyan menambahkan, Ketika sudah tunggu lama, harganya jatuh. Uangnya sulit dan terkadang banyak pemain tembakau yang nakal. “Dimana barang sudah dibawa dan kita tidak dapat apa-apa,” keluhnya.
Retno Rusdjijati sepakat jika petani tembakau menjadi pihak yang dirugikan, seiring ketergantungannya terhadap industri. Namun hal itu bisa diubah, hanya ketika mereka melakukan diversifikasi tanaman.
“Sebenarnya para petani tidak maniak dengan tembakau. Setelah kami obeservasi dan wawancara di lapangan, mereka tidak tergantung pada satu jenis komoditas saja,” kata Retno.
Sementara di kampung Shofyan yang berada di lereng Merbabu, sejak lama dikenal sebagai pemasok tembakau campuran, yakni tembakau lokal dicampur dengan tembakau asal Temanggung. Namun, sejak bercocok tanam organik diperkenalkan, perubahan besar terjadi.
“Sekarang untuk Kecamatan Getasan sudah menjadi salah satu sentra sayuran, terutama sayuran organik,” ungkap Shofyan.
Hal itu menurut Shofyan tak bisa dilepaskan dari peran pemerintah setempat. Bupati Semarang telah mengeluarkan SK Bupati yang menetapkan Kecamatan Getasan sebagai kecamatan organik dan produsen pupuk organik.
“Di tempat kami memang mayoritas petani sayuran. Bisa dibilang sudah tidak ada lagi yang menanam tembakau sekarang ini,” katanya.
BERCOCOK TANAM ORGANIK
Untuk mendukung usaha taninya, Shofyan dibantu oleh 30 orang anak muda yang tergabung di dalam kelompok tani. “Namanya Kelompok Tani Citra Muda dengan harapan mengajak pemuda lain agar tertarik menjadi petani milenial,” katanya.
Bagi yang tertarik tanaman organik, Shofyan mengatakan, hal itu bisa dilakukan di lahan-lahan yang sempit. Tidak harus memiliki lahan yang luas. “Bahkan tidak perlu lahan, kita cukup menanam di media tanam, misalkan di pot, polybag atau pakai botol bekas atau pipa paralon bekas, itu semua bisa,” katanya.
Hal yang terpenting di pertanian organik, menurut Shofyan harus ada media tanah dan kompos (pupuk organik) yang berfungsi sebagai asupan nutrisi atau asupan unsur hara bagi tanaman.
Tak hanya itu, Shofyan mengatakan, pertanian organik bisa dikolaborasikan dengan sistem pertanian lain, seperti vertikal garden atau menanam secara vertikal. “Mungkin kalau tempat kita tidak luas, bisa di pinggir-pinggir pagar. Yang penting dalam bercocok tanam, penyinarannya cukup,” terangnya.
Cahaya yang cukup itu minimal 6 jam setiap hari. Jika tidak dapat penyinaran pagi, Shofyan mengusulkan penyinaran pada siang hingga sore hari. Khusus untuk sayuran, hal itu sudah cukup.
“Oh ya, ini untuk skala konsumsi, sementara untuk skala industri (skala besar) memang dibutuhkan lahan yang lumayan besar,” katanya.
BISNIS PERTANIAN ORGANIK
Jika ingin memiliki bisnis pertanian organik, Shofyan memberikan sejumlah tips sederhana. Pertama, harus mengenali sumberdaya alam yang ada disekitar. “Karena satu daerah dengan daerah yang lain akan sangat berbeda,” ujarnya.
Kedua, setelah mengetahui sumberdaya alam yang dimiliki, maka bisa dipadukan dengan peluang pasar yang paling cocok dengan komoditas tersebut.
“Misalnya seperti di tempat kami yang dataran tinggi, cocok menanam sayuran organik dan ternyata lokasi kami juga dekat dengan kota-kota besar, berarti kami mencoba menanam sayuran organik,” terangnya.
Berbeda halnya jika lokasinya berada di dataran rendah, sebaiknya mencoba komoditas yang berbeda. “Karena komoditas organik itu sebenarnya sangat banyak, tidak hanya sayuran, bisa beras organik, bisa rempah-rempah organik. Itu juga pangsa pasarnya relatif meningkat,” ujar Shofyan.
Saat ini, paradigma di kalangan petani sudah mulai berubah. Jika dahulu mereka menanam sesuai yang diinginkan. Sekarang mereka menanam sesuai dengan apa yang diinginkan pasar.
“Supaya apa yang kita tanam terserap pasar,” katanya.
Shofyan juga menjelaskan jika sayuran organik yang menjadi best seller di tempatnya adalah jenis-jenis sayuran daun, seperti Selada biasa, Sawi, Kale, Romaine (selada cos), karena banyak konsumen yang mengkonsumsinya dalam bentuk mentah.
“Biasanya buat salad atau jus. Jadi sayur tersebut yang paling banyak peminatnya,” ungkap Shofyan.
LIKA-LIKU PENJUALAN MASA PANDEMI
Di masa pandemi seperti sekarang ini, Shofyan bersyukur atas penjualan mereka yang meningkat. Pasalnya, kesadaran masyarakat juga meningkat, utamanya terkait pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang juga sehat.
“Sayuran organik ini menjadi salah satu sumber pangan sehat dan juga diminati banyak masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, mereka menerapkan sistem delivery order yang memudahkan konsumen dalam memperoleh sayuran. Seperti diketahui, masyarakat masih enggan berbelanja di tempat umum seperti supermarket atau pasar tradisional. Ditambah lagi, sebagian besar warga bekerja dari rumah (work from home) atau mengajar anaknya di rumah.
“Pilihan yang tersisa hanyalah berbelanja secara online,” kata Shofyan.
Pelanggan tinggal memesan melalui telepon genggam, maka sayuran akan meluncur hingga di depan rumah. “Ini yang menyebabkan permintaan sayuran di tempat kami relatif tinggi,” katanya.
Selama ini, pola pemasaran yang dipilih adalah menggunakan media sosial, seperti Instagram, Facebook dan Whatsapp.
“Mengapa kami memilih Instragram karena ingin menunjukkan secara visual, dari kondisi kebun kita, dari kita menanam sampai panen dan sayuran sampai ke konsumen, supaya mereka percaya terhadap produk organik yang kita tanam,” terangnya.
Kemudian berkembang dengan adanya fitur-fitur bisnis di Instagram maupun Facebook. Menurut Shofyan, hal ini turut mempermudah mereka dalam menawarkan produk-produk sayuran organik.
“Itu juga salah satunya mengapa kita memilih media sosial, karena lebih mudah untuk diaplikasikan atau diadaptasikan ke teman-teman yang lain,” katanya.
Selain itu, Shofyan dan teman-temannya berencana menjangkau pasar yang lebih luas. Termasuk bermitra dengan eksportir yang memasukkan produk organik ke Singapura. Namun karena stok yang terbatas, mereka tidak menjadikan hal itu sebagai prioritas utama
“Produk utama penjualan kami tetap ada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jabodetabek dan juga ke Kalimantan,” katanya.
MENGGERAKKAN KAUM MUDA
Khusus terkait menggerakkan kaum muda, Shofyan punya cerita tersendiri. Menurutnya hal itu tidak mudah, karena petani terbiasa dengan bukti nyata. “Mereka tidak bisa kita ajak sebelum melihat langsung buktinya,” katanya.
Shofyan menambahkan, “Waktu itu saya coba merintis selama satu tahun dan ternyata hasilnya bagus. Dari segi harga juga bagus, sehingga yang lain tertarik bergabung”.
Sejak itu, banyak pemuda desa yang fokus mengembangkan budidaya sayur organik. Mereka tidak tertarik untuk keluar dari desa, karena mendapatkan penghasilan yang lebih menjanjikan.
Ini sekaligus membuktikan, bahwa petani bukan kelompok yang monoton yang fanatik terhadap satu jenis komoditas tertentu. Para petani sangat terbuka terhadap kemungkinan hadirnya komoditas baru.
“Apalagi ternyata lebih bermanfaat, maka mereka akan mengikutinya,” terang Shofyan.
Sementara menurut Retno, para petani sangat terbuka. Mereka mau berpindah ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, atau paling tidak keuntungannya sama dengan tembakau.
“Tapi mereka mengatakan, sampai sekarang kami belum menemukan komoditas yang pas. Komoditas yang cocok,” katanya.
Misalnya seperti di Desa Windusari, Kabupaten Magelang yang berada di ketinggian 1000 mdpl, petani kesulitan mendapatkan komoditas lain selain tembakau. Akhirnya mereka tetap menanam tembakau meskipun harganya tidak bagus, dan sering terkendala cuaca.
Itu sebabnya, petani sebaiknya diarahkan untuk menemukan komoditas yang tepat, sehingga tidak tergantung pada satu jenis komoditas tertentu. “Nah, itu tantangan kita, terutama bagi perguruan tinggi dan pemerintah untuk mencarikan komoditas yang tepat,” katanya.
TANTANGAN PETANI ORGANIK
Meskipun telah dianggap berhasil, Shofyan tidak pernah lupa dengan tantangan yang ia hadapi. Tantangannya itu lebih kepada cara pandang sosial budaya, dimana tembakau merupakan komoditas utama, sekaligus menjadi salah satu hal yang tidak bisa ditinggalkan.
“Karena memang budaya tembakau, selain dijual ke pabrik, juga untuk dikonsumsi sendiri. Jika digantikan dengan komoditas yang lain, otomatis kan tidak punya bahan untuk dirokok,” papar Shofyan.
Menurut Shofyan, hal Itu menjadi tantangan tersendiri. Namun setelah melihat dari sisi ekonomi, bahwa menanam sayuran organik jauh lebih menguntungkan ketimbang menanam tembakau, maka berangsur-angsur kebiasaan itu berganti.
“Tapi dulu, pas musim tembakau, kalau kita ada acara hajatan, misalnya nikahan atau acara sosial yang lain (arisan, tahlilan) pasti yang dibahas tembakau. Tembakaunya sudah umur berapa, kira-kira panen berapa, itu menjadi hal menarik yang diperbincangkan,” ungkap Shofyan.
Lalu, ketika Shofyan dan keluarganya beralih ke komoditas lain, sementara di kanan dan kirinya menanam tembakau, hal itu menjadi cerita yang tidak akan bisa dilupakannya.
“Tapi karena melihat pendapatan kami yang lebih tinggi dibanding menanam tembakau, akhirnya masyarakat tertarik untuk beralih ke sayuran organik,”katanya.
Menurut Shofyan, para petani harus memberi contoh dulu untuk mendorong kepercayaan dan antusiasme warga.
Namun dari semua itu, cobaan terberat yang dialami Shofyan adalah saat memutuskan menjadi petani. Dia mengaku sempat dinyinyirin tetangganya. “Karena yang namanya tetangga, tahu dari dulu sampai sekarang kita seperti apa,” katanya.
Shofyan ingat saat tetangganya mengatakan, “Kamu anak petani, ya kok mau kuliah di pertanian. Itu awalnya”.
Hal itu menjadi penyemangat Shofyan untuk tekun menjadi petani. Dia merasa harus membuktikan bahwa petani bisa sukses, pendapatannya bisa baik, sama halnya dengan profesi yang lain.
“Agar omongan tetangga itu tidak berlaku lagi, saya justru bisa mengajak teman-teman yang lain,” kata Shofyan.
Salah satu bukti nyata yang kini membanggakan, banyak anak petani memilih sekolah di SMK Pertanian atau kuliah di fakultas pertanian. “Padahal dulu, itu pasti diketawain,” ujarnya.
Shofyan menyebut, generasi-generasi di bawahnya mulai menekuni bidang pertanian. Mereka tertarik menjadi petani, karena hal itu tidak jauh dari kehidupan sehari-hari.
“Saya berharap ilmu yang mereka dapatkan bisa bermanfaat untuk memajukan pertanian di daerahnya,” kata Shofyan.
Di sesi penutup, Shofyan mengingatkan bahwa selama hidup di dunia, kita tidak bisa meninggalkan makanan, dan sumber makanan ada di sektor pertanian, sehingga profesi petani, selain bisa menyediakan pangan, akan selalu dibutuhkan.
“Tetap semangat bagi teman-teman semua. Mari bergabung menjadi pahlawan pangan Indonesia. Yang muda yang bertani,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post