Bertepatan dengan perayaan ulang tahun Provinsi DKI Jakarta yang ke-495, Rabu 22 Juni 2022, IQAir yakni aplikasi pendeteksi kualitas udara menempatkan DKI Jakarta pada peringkat ketiga kota dengan polusi udara tertinggi di dunia setelah Beijing, China, dan Santiago di Chili. Kali ini, Jakarta mendapat skor 158 US AQI.
Berdasarkan pantauan Prohealth.id, pada 19 Juni 2022 lalu, Jakarta bahkan pernah menempati peringkat pertama dengan polusi udara terburuk di dunia. DKI Jakarta tercatat mendapat skor 166 US AQI, dengan konsentrasi PM2.5 di atas nilai pedoman kualitas udara tahunan WHO. Posisi Jakarta bahkan mengalahkan Santiago, dan Dubai.
Dikutip dari akun Instagram Pandemic Talks, PM adalah Particulate Matter, alias materi partikulat atmosfer adalah debu, kotoran, dan asap yang ada di udara dan berbahaya untuk kesehatan. PM2.5 artinya 2,5 micron partikel yang dapat mengendap di paru-paru, bahkan sebagian masuk ke dalam darah.
Sehari setelahnya, data IQAir pada Senin, 20 Juni 2022 pada pukul 06.00 WIB menyatakan kadar polusi Jakarta mencapai 205 US AQI yang artinya masuk ke level sangat tidak sehat atau very unhealthy. Pada Selasa pagi, 21 Juni 2022, pukul 06.33 WIB, Jakarta pun masih berada di urutan tinggi dengan udara paling berpolusi dengan 154 US AQI, di bawah Beijing sebesar 176 US AQI, dan Kuwait sebesar 154 US AQI.
Sebagai pembanding, data BMKG mencatatkan konsentrasi PM2,5 di Jakarta dan sekitarnya mengalami lonjakan dalam beberapa hari terakhir, jauh melebihi ambang aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hasil pantauan konsentrasi PM2,5 di BMKG Kemayoran (Jakarta) menunjukkan bahwa sepanjang Juni 2022 ini, konsentrasi rata-rata PM2.5 berada pada level 41 µg/m³ (mikrogram per meter kubik) yang cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi hari. Dari temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa DKI Jakarta tidak pernah lengser dari tiga besar kota yang menyabet prestasi kota dengan polusi udara tertinggi.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah menjelaskan, tingginya pencemaran di DKI Jakarta adalah alarm bagi pemerintah daerah untuk lebih tegas melakukan pengawasan terhadap penghasil polutan. “Artinya, harus ada yang pembatasan dan kalau pencemaran terlalu tinggi harus ada istirahat,” ungkap Fajri untuk menjaga kesehatan masyarakat DKI.
Ketika skala polusi terlampau tinggi, masyarakat harus dilindungi oleh pemerintah mengingat polusi merupakan timbunan penyakit berbahaya jangka menengah dan panjang bagi manusia. Beberapa langkah taktis misalnya dengan meningkatkan layanan konsultasi publik, dan warga juga bisa diarahkan untuk bekerja dari rumah (work from home) agar tidak terpapar polusi.
“Misalnya harus tegas kalau memang perusahaan pembangkit listrik hanya mengeluarkan 400 meter kubik emisi, pastikan hanya segitu. Jangan masih diperbolehkan juga sampai 600 meter kubik,” katanya.
Sebenarnya, polusi udara yang terjadi di Jakarta adalah permasalahan lintas batas, artinya kondisi ini juga disebabkan oleh penghasil emisi di wilayah Jawa Barat dan Banten. Sumber-sumber pencemar udara dari luar Jakarta umumnya berasal dari industri dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, yang mana ini cukup signifikan berkontribusi terhadap memburuknya kualitas udara Jakarta.
Dalam kondisi seperti ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) harus menjalankan kewajiban melakukan pengawasan dan supervisi terhadap ketiga gubernur yaitu Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta untuk melakukan upaya pengetatan batas ambang emisi untuk seluruh sumber pencemar udara di daerahnya masing-masing.
Dengan demikian, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi tidak perlu saling tuding ataupun berdebat mengenai sumber pencemar udara di Jakarta. “Seharusnya mereka dengan cepat menyusun langkah-langkah pengendalian pencemaran udara yang lebih ketat bersama.”
Lebih lanjut, Fajri menegaskan baku mutu emisi baik untuk kendaraan bermotor maupun untuk industri seperti pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil harus diperketat.
“Selain emisi, ada penyebab lain polusi yaitu cuaca. Meski demikian, faktor utama lain dari polusi udara adalah masih adanya sumber pencemar yang bergerak dan tidak bergerak, terutama karena belum bisa dikendalikan serius melalui kebijakan dari pemerintahtutur Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu.
Lebih lanjut, kata Bondan, partikel polusi udara dari PM2.5 meningkat ketika dini hari hingga pagi hari karena tingginya kelembaban udara sehingga menyebabkan peningkatan proses adsorpsi atau perubahan wujud dari gas menjadi partikel atau dikenal dengan istilah secondary air pollutants.
“Apalagi kini sudah makin banyak temuan di RSUP Persahabatan misalnya, peningkatan penyakit paru yang bahkan tidak disebabkan oleh rokok, tetapi oleh polusi udara. Untuk jangka pendek paling banyak batuk dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas),” kata Bondan.
Kemenangan yang Sia-sia
Masalah polusi memang bukan masalah baru. Masyarakat DKI Jakarta bahkan sudah menggugat pemerintah untuk segera menangani masalah polusi udara. September 2021 lalu, 32 warga Jakarta bersama Koalisi IBUKOTA yang menggugat pemerintah atas masalah polusi udara dinyatakan menang oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sayangnya kemenangan ini tak lantas menjamin warga mendapatkan hak udara bersih.
“Ini hal yang sangat memprihatinkan warga DKI Jakarta punya pemerintah yang denial,” ujar Jeanny Sirait Pengacara Publik LBH Jakarta.
Jeanny menulai, kemenangan tersebut tidak disertai kehendak pemerintah untuk bersedia taat pada perintah pengadilan.
“Hal ini sangat memprihatinkan. Kemenangan warga belum mutlak tercapai karena proses banding dari pemerintah (pusat dan daerah) seolah tidak bersedia taat pada perintah pengadilan. Proses banding ini seolah-olah menjadi celah bagi pemerintah untuk menunda upaya pengendalian polusi udara di DKI Jakarta alias buying time, padahal setiap harinya warga ibu kota bertaruh nyawa untuk bisa menghirup udara bersih.”
Oleh karena itu, Jeanny dan Koalisi IBUKOTA berharap gerakan bersama dari masyarakat Jakarta dan sekitarnya harus lebih banyak terjadi untuk mendesak pemerintah pusat dan daerah melakukan pengendalian polusi udara di ibu kota dan wilayah sekitarnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post