Emisi karbon dioksida (CO2) dari bahan bakar fosil akan terus meningkat dan mencapai Tingkat tertinggi dalam sejarah pada tahun 2023 tanpa upaya global untuk mengurangi emisi, berdasarkan penelitian terbaru tim ilmuwan Global Carbon Project.
Sesuai hasil Global Stocktake, janji dan realisasi penurunan emisi masih jauh untuk mencapai target Paris Agreement. Untuk itu, pasca COP-28 semua negara perlu meninjau kembali Nationally Determined Contribution (NDC)-nya serta membuat target mitigasi krisis iklim yang lebih ambisius.
Presiden Joko Widodo dalam sambutannya di COP-28 menyampaikan Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) di 2060 atau lebih awal. Untuk itu, Jokowi berharap melalui COP-28 dapat terbangun kerjasama dan kolaborasi inklusif untuk mendukung pencapaian NZE tersebut.
Ia menjelaskan Indonesia sedang mempercepat transisi energi, dengan pengembangan energi terbarukan, dan menurunkan penggunaan PLTU batubara. Upaya mencapai target NZE 2060 membutuhkan pembiayaan yang besar, lebih dari US$1 triliun. Ia mengundang lebih banyak kolaborasi dan investasi untuk menyokong pembiayaan transisi energi yang berbunga rendah. Menurutnya, menuntaskan masalah pendanaan transisi energi merupakan cara menyelesaikan masalah dunia.
Meskipun terjadi penurunan emisi karbon dari bahan bakar fosil di beberapa wilayah, seperti Eropa dan Amerika Serikat, namun secara keseluruhan angka emisi tersebut masih meningkat. Tahun 2023 ditetapkan sebagai tahun dengan rekor emisi karbon dioksida tertinggi dari pembakaran bahan bakar fosil, mencapai 36,8 miliar ton CO2 (GtCO2) – sebuah rekor dan 1,4 persen di atas tingkat sebelum COVID-19 pada tahun 2019, dan emisi diperkirakan akan meningkat di semua jenis bahan bakar (batubara, minyak, dan gas).
Jumlah karbon yang dihasilkan Indonesia meningkat sebesar 18,3 persen pada tahun 2022, peningkatan paling banyak dibandingkan negara-negara lainnya. Capaian kenaikan emisi disumbang dari penggunaan energi fosil (khususnya batu bara), alih fungsi lahan, dan deforestasi Indonesia yang tinggi.
Di sektor penggunaan lahan, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia. Selama 2013-2022, rata-rata emisi penggunaan lahan Indonesia mencapai 930 juta ton, menyumbang 19,9 persen dari total emisi alih fungsi lahan dunia. Bersama dengan Brazil dan Republik Demokratik Kongo, Indonesia menyumbang 55 persen dari total emisi sektor lahan dunia. Puncak emisi di Indonesia pada tahun 1997 terjadi akibat kebakaran gambut di Indonesia. Bagian dari emisi global CO2 dari bahan bakar fosil pada tahun 2023 adalah batu bara sebesar 41 persen, minyak 32 persen, gas 21 persen, semen sebanyak 4 persen, pencahayaan kilang dan lainnya sekitar 2 persen. Proyeksi tahun 2023 didasarkan pada data awal dan pemodelan.
Temuan ini disampaikan pada Laporan Global Carbon Budget, yang disusun oleh lebih dari 120 ilmuwan internasional dan telah ditinjau oleh rekan sejawat (peer-reviewed). Para ilmuwan menyatakan bahwa tindakan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil tidak berjalan dengan cepat dan cukup untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya.
Menurut Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, tanpa upaya untuk mengurangi emisi, ada 50 persen kemungkinan bahwa kenaikan suhu 1,5ºC di atas pra-industrialisasi akan ditembus dalam jangka waktu tujuh tahun, beberapa tahun lebih cepat dari proyeksi Laporan IPCC.
Iqbal menjelaskan, posisi Indonesia sebagai salah satu emiten terbesar sedunia merupakan peringatan bahwa Indonesia perlu mengambil andil dalam mengurangi jumlah emisi karbon yang dikeluarkan khususnya dari sektor energi dan lahan.
“Sebagai salah salah satu negara yang paling rentan akan perubahan iklim, penting bagi negara kepulauan ini untuk berupaya mengurangi emisi karbon dan menekan laju perubahan iklim serta mencegah dampak terburuknya demi kelangsungan hidup generasi selanjutnya,” ungkapnya.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan menambahkan, laporan Global Carbon Budget memperlihatkan bahwa adanya kontradiksi antara data pemerintah dan ilmuwan.
“Oleh karena itu, perlu ada transparansi data pemerintah yang disandingkan dengan dara dari berbagian kajian global dan data yang dimiliki masyarakat sipil,” ucap Nadia.
Novita Indri, juru kampanye energi Trend Asia menyatakan deforestasi masih terjadi mungkin juga karena Enhanced NDC masih memberikan “kuota” deforestasi sebesar 300 ribu ha per tahun hingga 2030. Dari 128,7 ribu hektar deforestasi hutan alam yang terjadi pada 2020-2021, 62 persennya terjadi di wilayah izin dan konsesi. Penegakan hukum harus lebih tegas supaya angka deforestasi bisa lebih ditekan. Selanjutnya, Indonesia harus memperkuat komitmennya dalam menghentikan dan mengembalikan (halting and reversing) laju kehilangan hutan Indonesia sebagaimana yang telah dijanjikan pada Glasgow’s Leaders Declaration on Forest and land Use.
Novita menegaskan, kondisi saat ini Indonesia masih ketagihan batubara, wajar jika emisi kita 10 besar di dunia. Pada 2023, Indonesia juga memecah rekor awal Desember produksi batubara telah mencapai 703,14 juta ton, melampaui target 694,5 juta ton. Kondisi ini belum menimbang co-firing biomassa kayu, yang berdasarkan data Trend Asia dapat memperburuk 155,9 juta ton emisi dari deforestasi 240.622 ha hutan alam. Ia menegaskan, ada 43,59 persen angka emisi di Indonesia berasal dari hutan dan lahan, yang menandakan buruknya perlindungan hutan.
“Akibatnya, dampak perubahan iklim yang dialami Indonesia akan semakin parah. Padahal Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, yang akan memperparah bencana hidrometeorologi yang saat ini saja sudah mendera kita,” ujar Novita.
Communication Specialist 350.org Indonesia, Firdaus Cahyadi menegaskan, sangat jelas pada rencana umum energi nasional (RUEN) Indonesia setidaknya sampai pada tahun 2040 masih akan bergantung pada energi fosil terutama batu bara. Bahkan lebih parahnya diproyeksikan ekspor batu bara akan menurun, tetapi dengan konsumsi dalam negeri akan terus naik.
“Maka kondisi hari ini di mana konsumsi batu bara semakin besar dari tahun ke tahun, selain untuk produksi listrik pada jaringan listrik PLN, juga untuk pembangkit captive terutama industri mineral,” ungkapnya.
Komitmen Penurunan Emisi Karbon KTT Iklim COP 28 saat ini, KTT perubahan iklim terbesar sedunia, Conferences of the Parties ke-28 (COP 28) sedang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab, dan akan menjadi pertemuan yang krusial untuk memastikan komitmen, pendanaan, penggunaan teknologi bersih lebih dari sebelumnya. Namun, dalam sebuah diskusi She Changes Climate (21/11), Presiden COP 28, Sultan Al Jaber yang memimpin berjalannya KTT tersebut, menyatakan bahwa penghapusan bahan bakar fosil untuk pencapaian target iklim dunia “tidak berlandaskan sains”. Ia bahkan menyatakan bahwa menghapus bahan bakar fosil akan mengirim dunia “kembali ke dalam gua”.
Penyangkalan Al Jaber, yang juga memimpin perusahaan minyak nasional Dubai, menandai keengganan dan konflik kepentingan industri fosil yang dapat merintangi upaya penanggulangan perubahan iklim. Temuan peneliti pada Laporan Sintesis IPCC AR6 yang dirilis bulan Maret 2023 menunjukkan bahwa kita perlu mengurangi emisi CO2 sebesar 48% pada 2030 dan 99 persen pada 2050 untuk target 1,5oC demi mencegah dampak perubahan iklim yang parah.
“Emisi global pada tingkat saat ini dengan cepat meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer kita, menyebabkan perubahan iklim tambahan dan dampak yang semakin serius dan meningkat,” kata Professor Corinne Le Quéré, Profesor Riset Royal Society di Sekolah Ilmu Lingkungan UEA.
Ia menyatakan, semua negara perlu melakukan dekarbonisasi ekonomi mereka dengan lebih cepat dari yang sedang dilakukan saat ini untuk menghindari dampak-dampak terburuk dari perubahan iklim.
Novita mengingatkan, Pesiden COP 28 Sultan Al Jaber, yang seharusnya berperan dalam upaya melawan perubahan iklim, justru melakukan penyangkalan sains ketika ia berkepentingan sebagai bagian dari industri fosil.
“Indonesia, sebagai negara yang rentan akan perubahan iklim, perlu untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai landasan pengambilan keputusan, serta mengurangi target produksi batubara yang bombastis, bertekad bulat mengurangi emisi, dan segera menjalankan transisi energi yang berkeadilan,” pungkas Novita.
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang investasi yang besar untuk bertransisi energi perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung.
Menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, Indonesia semestinya dapat mengeluarkan kebijakan dan komitmen yang lebih ambisius dengan semakin sempitnya waktu untuk membatasi suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius sesuai Persetujuan Paris.
Berdasarkan laporan diskusi Inventarisasi Global atau Global Stocktake UNFCCC tahun 2023, komitmen negara-negara di dunia yang tercantum pada NDC-nya tidak sejalan dengan Persetujuan Paris. Hal ini akan menyulitkan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43 persen di 2030 dari tingkat emisi 2010 dan 60 persen di 2035 dan nir emisi pada 2050. Tidak hanya itu, dengan target NDC yang disampaikan pada COP27, suhu bumi pada 2050 diperkirakan melampaui target Persetujuan Paris.
Fabby menyebut, pemerintah Indonesia perlu menyampaikan target penurunan emisi yang lebih ambisius dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim dalam Second NDC (SNDC) yang rencananya akan disampaikan 2025. Agar selaras dengan target 1,5°C, tingkat emisi pada 2030 harus maksimal 850 juta ton untuk seluruh sektor. Sementara itu, di sektor kelistrikan, transisi energi ditandai dengan target 44 persen bauran energi terbarukan di 2030. Meskipun target bauran energi terbarukan tersebut tercapai, belum dapat membuat emisi sektor kelistrikan mencapai level di bawah 200 juta ton CO2, sesuai dengan jalur 1,5°C.
“Untuk itu, selain penambahan energi terbarukan, masih diperlukan pengakhiran operasi PLTU, 8 sampai 9 GW sebelum 2030 untuk menurunkan emisi pada level tersebut,” kata Fabby.
Pada 2025, Indonesia perlu meningkatkan ambisinya dalam Enhanced NDC yang saat ini hanya membidik target penurunan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri (unconditional) dan 43,2 persen dengan bantuan internasional (conditional) pada tahun 2030. Target ini dibuat dengan membandingkan proyeksi business as usual (BAU) 2010.
Sementara, IESR, dengan menggunakan proyeksi dari data emisi tahun 2020, menemukan bahwa Indonesia dapat menetapkan target ambisi iklim tanpa syarat (unconditional NDC) sebesar 26 persen hingga 2030. Peningkatan target ambisi ini lebih tinggi dari target saat ini dan bertujuan agar Pemerintah Indonesia dapat tetap menetapkan target ambisi iklim yang lebih relevan untuk sejalan dengan target Persetujuan Paris agar pemanasan global tidak melebihi 1,5°C.
Wira A Swadana, Manajer Program Ekonomi Hijau, IESR menambahkan, banyak peluang yang Indonesia dapat lakukan agar meningkatkan pencapaian target bauran energi terbarukan yang sejalan dengan Persetujuan Paris. Misalnya dengan menyesuaikan penyusunan SNDC dengan prinsip-prinsip NDC dalam Article 4 Line 13 dari Persetujuan Paris yakni mempromosikan integritas lingkungan hidup, transparansi, akurasi, keutuhan, keterbandingan, konsistensi, dan memastikan terhindar penghitungan ganda, menggunakan metode-metode yang layak untuk mencapai upaya dekarbonisasi, dan mempercepat dekarbonisasi keluar dari penggunaan bahan bakar fosil.
Wira menambahkan Indonesia perlu menarik dukungan internasional, berkolaborasi dalam teknologi dan pengetahuan, untuk mendorong pengembangan energi terbarukan agar dapat menerapkan temuan-temuan kunci dari Technical Dialogue of the first GST, khususnya di bidang mitigasi iklim. Utamanya, pada COP-28 juga didorong untuk meningkatkan target energi terbarukan tiga kali lipat lebih besar atau setara 11 TW pada 2030.
Menurut Wira, Indonesia dapat berkolaborasi dan memperkuat kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UAE). Terlebih, Masdar perusahaan asal Uni Emirat Arab, telah terlibat dalam pembangunan PLTS terapung Cirata dan berinvestasi di sektor energi panas bumi, seiring dengan statusnya sebagai investor strategis dalam penawaran umum perdana saham atau IPO PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO) pada Februari 2023.
“Kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk UAE, sesungguhnya dapat membantu untuk upaya dekarbonisasi Indonesia untuk memitigasi dampak buruk dari perubahan iklim. Indonesia sudah memiliki berbagai kerja sama iklim, misalnya melalui mekanisme JETP dan berbagai kerja sama bilateral tetapi masih terdapat banyak kesenjangan untuk mendorong implementasi mitigasi dan adaptasi iklim yang lebih ambisius. Lebih khusus dalam hal pendanaan dan peningkatan kapasitas,” terang Wira.
Penulis: Gloria FK Lawi & Irsyan Hasyim
Discussion about this post