Putu Juli Andika, Direktur Jendral Industri Agro Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa industri tembakau telah tumbuh dengan baik, dan ekonomi industri hasil tembakau ini sudah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian berbagai masyarakat.
Meski demikian, dia tak menampik ada eksternalitas negatif dari produk industri hasil tembakau sehingga produk tersebut merupakan barang yang konsumsinya diawasi dan dikendalikan.
“Sesuai dengan arahan Pak Presiden, ini perlu disusun perancangan tentang peta jalan pengelola hasil tembakau untuk meletakkan berbagai aspek kepentingan pada titik optimal yang disepakati para pihak. Jadi, dalam rangka pencegahan penendalian dan pengawasan. Jadi, yang menjadi fokal poin untuk penyusunan peta jalan ini adalah perekonomian. Ini sudah sedang dan masih berjalan,” ungkap Putu dalam acara Workshop dengan tema “Peta Jalan IHT: Menakar Arah Kebijakan Cukai Rokok” pada Kamis, 27 Oktober 2022 yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Kota Jakarta (AJI Jakarta).
Dia memerinci, jika dibandingkan komoditas lain, kontribusi industri olahan non-migas terjadi penurunan dari 6 menjadi 7, kontibusi ini lebih sekitar 5 persen industri, sedangkan industri makanan dan minuman (mamin) yang telah dibina mencapai 38,38 persen. Sementara untuk industri agrowisata secara keseluuhan berkontribusi sebesar 50 persen dari produk domestik bruto (PDB) non-migas.
Putu Juli menegaskan bahwa untuk pertumbuhan industri hasil tembakau (IHT) yang paling atas adalah industri makanan dan minuman (mamin). Dia mengingatkan, mamin merupakan salah satu penggerak pertumbuhan manufaktur. Maka jika dibandingkan industri lain, pertumbuhan IHT terbilang paling rendah.
Dilema kontribusi ekonomi
Dalam perspektif ekonomi, saat ini kapasitas produksi tembakau di Indonesia mencapai 585 miliar batang per tahun dengan nilai realisasi produksi 334,83 miliar batang. Putu Juli juga mengklain produk tembakau berkontribusi bagi penerimaan cukai mencapai Rp158,81 triliun dan menyerap tenaga kerja langsung sekitar 600 ribu orang, dan tenaga kerja tidak langsung sekitar 2 juta orang.
“Ini belum secara keseluruhan diperkiraan termasuk dengan petani ada 6 atau 7 juta orang. Kebutuhan bahan baku kebutuhan tembakau 410.194 ton per tahun dengan investasi Rp1,4 triliun,” pungkas Putu.
Dari sisi ekspor Putu Juli mengklaim produk tembakau mencatatkan angka yang lebih tinggi dibandingkan produk pengolahan kakao, kopi, buah, dan sayuran segar.
Secara rinci, Putu Juli membeberkan bulan Januari-Juni 2022, ada peningkatan ekspor sedikit yaitu 5 persen. Memang, hampir semua komoditas meningkat 5 persen, sementara komoditas kopi yang sedikit menurun.
“Secara ekspor produk tembakau ini sudah mendekati hampir sama dengan produk kakao. Untuk produk kakao ini kita sebagai produsen ketiga olahan kakao. Kalau kita lihat hasil perdagannya ini, kita surplus untuk tahun 2021, cukup besar lebih banyak mengekspor daripada kita menginfor prodak tembakau,” ungkapnya.
Menurut Putu Juli, menaikan tarif cukai tembakau saat ini berpotensi menyebabkan peredaran rokok illegal sehingga penggunaan cukai dipandang Putu Juli belum efektif. Sisi lain yang perlu dipertimbangkan adalah kontibusi dan produksi sigaret kretek tangan (SKT) cukup besar. Dia menilai multiplier effect dan dampak dari kenaikan cukai ini mempengaruhi para pekerjaan dan terhadap kondisi ekonomi atau orang yang berpengaruh ekonomi.
“Kenaikan 1 persen, ini diperkirakan produksi turun 0,243 persen dan ini berdampak pada banyak orang yang secara pekerjaan hilang dan kondisi perekonomian penurun,” terangnya.
Baca Juga: Pelaku IHT Tolak Kenaikan Cukai, Ini Dampaknya Bagi Masyarakat
Kondisi ini sebenarnya terbilang tidak sebanding dengan keuntungan dan dampak kesehatan yang berkelanjutan diakibatkan oleh rokok. Putu Juli sendiri memaparkan, berdasarkan penelitian Universitas Brawijaya, keputusan untuk tetap mengonsumsi rokok meski harga naik mencapai 95 persen. “Kalau kita lihat kenaikan harga yang naik ini, orang cenderung orang memilih mencari alternatif yang lebih murah. Dan hasilnya walaupun bagaimana orang cenderung merokok, dengan sebagaian kecil aja orang yang berhenti merorokok karena tingginya harga rokok dan masyarakat mencari alternatif untuk rokok yang lebih murah.”
Setidaknya melalui peta jalan ini, Putu Juli menjelaskan empat pilar kebijakan tembakau akan dioptimalkan untuk perbaikan dunia industri. Pertama, pengendalian konsumsi tetap dilakukan dengan mengenakan tarif cukai sebagai upaya pengendalian konsumsi.
Kedua, optimalisasi cukai rokok akan mendukung penerimaan negara bahkan pencapaian target cukai akan tercapai dengan mudah. Ketiga, keberlangsungan industri dari hulu ke hilir ditargetkan dengan memaksimalkan serapan tembakau dan cengkeh lokal. Keempat, peta jalan diyakini mampu mengoptimalkan serapan tenaga kerja dan menekan peredaran rokok illegal.
Kebijakan Cukai Industri Hasil Temabakau
Akademisi Universitas Indonesia, Vid Adrison menyatakan rumusan peta jalan IHT tidak bisa mengabaikan tugas pokok dan fungsi utama rokok yaitu mengendalikan konsumsi. Oleh karenanya, rancangan Perpres IHT harus berorientasi pada tujuan kebijakan publik yakni mengubah perilaku produsen tembakau lebih efisien sumber daya, metode alokasi, dan cara distribusi.
“Oleh karenanya kita harus memahami perilaku yang kita analisis, mengidentifikasi kebijakan yang tepat,” paparnya.
Kebijakan cukai rokok saat ini memang tidak efektif di Indonesia karena struktur CHT yang masih kompleks.
Misalnya saja, selisih tarif cukai rokok dan harga jual eceran minuman antar golongan memiliki gap yang besar antar golongan. Dalam cukai rokok. Satu golongan dengan golongan berikutnya memiliki gap semakin besar, contohnya satu di bawahnya dengan kode 2a makin besar.
“Jadi itu sebenarnya tidak bagus untuk pengendalian. Walaupun ada signifikansi di Indonesia, namun selisih tarif dengan harga jual eceran yang didata pemerintah itu cukup besar,” paparnya.
Dengan demikian Perpres IHT harus bisa menghasilkan tujuan kebijakan dengan desain sistem insentif kebijakan, respon produsen maupun konsumen dan pemerintah.
“Kebijakan cukai yang baik bisa mengubah perilaku konsumen ke arah yang sesuai harapan dan tujuan tersebut tercapai secara efektif dan efisien. Setiap orang rasional, dan rasionalitas kita tidak bisa dipaksakan kepada orang lain,” sambungnya.
Oleh karenanya, dalam merumuskan kebijakan jika memajukan kesehatan maka ada potensi industri yang dikorbankan atau ketenagakerjaan terdampak negatif.
Baca Juga: Pengendalian Perokok Anak Melalui Keluarga dan Perda KTR
Jebakan batman kebijakan cukai
Melalui kegiatan itu, Vid Adrison menyatakan segenap elemen masyarakat perlu hati-hati dengan ide menghapuskan cukai rokok maksimal 57 persen, dan menaikannya lebih tinggi. “Meningkatkan cukai sampai 70 persen terhadap harga belum tentu mengurangi keterjankauan atau konsumsi rokok.
“Konsumen tidak memedulikan presentasi cukai atau pajak dalam harga rokok. Harga transaksi lebih penting bagi konsumen,” pungkas Vid.
Selain itu, rekomendasi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah pajak atau cukai harus spesifik dan harus seragam antar merk. Tidak boleh ada perbedaan tax share minimal 70 persen.
Kegiataan ini juga dihadiri oleh Nirwala Dwi Heryanto selaku Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, lalu dr. Eva Susanti selaku Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular (P2PTM) Kemenerian kesehatan.
Turut hadir Tubagus Haryo Karbyanto selaku advokat senior FAKTA dan Tulus Abadi selaku Ketua harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Selanjutnya: Perpres IHT dan Taruhan Nasib Anak Indonesia
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post