Pneumonia atau radang paru merupakan penyakit infeksi endemis yang disebabkan oleh infeksi bakteri pneumokokus. Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita di dunia. Di Indonesia, sekitar 14,5 persen kematian pada bayi dan 5 persen kematian pada balita setiap tahun disebabkan oleh pneumonia.
Meski demikian, vaksinasi untuk pencegahan pneumonia tidak dapat menjadi upaya preventif tunggal. Berdasarkan kajian Global Burden of Disease polusi udara berdampak langsung pada hampir lima juta kematian dini per tahun. Polusi udara terdiri dari partikel dan gas yang masing-masing menyebabkan kerusakan lingkungan dan kesehatan.
Sebagai upaya preventif, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan vaksinasi untuk pneumonia masuk dalam program imunisasi rutin bagi anak di seluruh dunia. Imunisasi tersebut akan memberikan perlindungan yang efektif untuk bayi dan anak-anak terhadap penyakit pneumonia. Alhasil, imunisasi Pneumokokus Konyugasi atau PCV merupakan bagian dari program imunisasi rutin dan diberikan secara gratis.
Pelayanan imunisasi PCV ini dilakukan di posyandu, puskesmas, maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya seperti rumah sakit, klinik, praktik mandiri dokter, praktik mandiri bidan, dan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang memberikan layanan imunisasi.
lmunisasi PCV diberikan sebanyak 3 dosis. Dosis pertama pada usia 2 bulan, dosis kedua usia 3 bulan, dan dosis ketiga pada usia 12 bulan. Vaksin yang digunakan aman dan telah direkomendasikan oleh WHO serta telah lulus uji dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Gencarkan imunisasi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah berkomitmen untuk melindungi seluruh anak Indonesia dari ancaman pneumonia melalui pemberian imunisasi PCV yang dilaksanakan secara bertahap dimulai pada tahun 2017. Tahun ini, seluruh anak Indonesia tanpa terkecuali akan mendapatkan manfaat perlindungan dari vaksin PCV.
“Hari ini, Kementerian Kesehatan meluncurkan secara nasional Imunisasi PCV. Pemberian vaksinasi PCV ini sangat penting karena telah terbukti mampu menurunkan pneumonia secara drastis. Karena, pneumonia ini bisa menyebabkan kematian pada anak dan balita. Oleh karena itu, dengan tekad bulat mulai tahun 2022 imunisasi PCV akan kita lakukan di seluruh Indonesia,” kata Budi dilansir dari siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (13/10/2022).
Baca Juga: Genap Berusia 495 Tahun Kualitas Udara DKI Jakarta Makin Buruk
Budi berharap pemberian imunisasi PCV tidak hanya menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia, namun juga dapat mencegah anak terkena stunting. Hal ini mengingat, pneumonia tidak hanya menyebabkan radang paru namun juga menganggu gizi penderitanya.
“Infeksi ini menyebabkan banyak balita terganggu kesehatan gizinya jadi menyebabkan stunting. Selain menurunkan angka kematian bayi, menurunkan angka kematian balita. Pemberian imunisasi PCV diharapkan dapat menurunkan angka stunting,” ungkap Budi.
Perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr. N. Paranietharan menyebutkan WHO siap mendukung langkah Indonesia untuk memberikan jaminan keamanan kepada seluruh anak Indonesia dari penyakit berbahaya, termasuk pneumonia melalui pemberian imunisasi PCV.
“Kami berharap Indonesia dapat menurunkan kasus dan kematian bayi dan anak setelah peluncuran PCV nasional ini. WHO berkomitmen mendukung Kementerian Kesehatan dalam memberikan imunisasi PCV yang aman di seluruh negeri, memastikan tidak ada anak yang tertinggal,” kata Dr. N. Paranietharan.
Senada dengan WHO, Perwakilan UNICEF untuk Indonesia, Maniza Zaman menyebutkan mendukung penuh komitmen Indonesia dalam menetapkan imunisasi PCV sebagai imunisasi rutin. Ia melanjutkan perluasan wilayah cakupan imunisasi PCV merupakan awal yang baik bagi untuk mencegah anak dari bahaya pneumonia.
“Perluasan imunisasi pneumokokus konyugasi (PCV) secara nasional merupakan langkah penyelamatan jiwa yang sangat penting bagi anak-anak di Indonesia,” kata Maniza Zaman.
Dia menambahkan bahwa pihak UNICEF menghargai komitmen Pemerintah Indonesia yang memastikan ketersediaan vaksin PCV secara luas di seluruh Indonesia, sehingga dapat mengurangi hingga setengah juta anak menderita pneumonia dan mencegah 10.000 kematian anak setiap tahunnya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan komitmen pemerintah mengatasi pneumonia adalah dengan menyediakan vaksin utamanya bagi 4,6 juta anak di seluruh Indonesia. Dengan pencanangan tersebut, maka imunisasi PCV menjadi satu dari 14 jenis imunisasi yang wajib diberikan untuk anak-anak Indonesia.
Baca Juga: Menguji Argumen Bakteri Tuberkulosis Menyebar di Udara
Pada pelaksanaannya, penyuntikan imunisasi PCV dilakukan dengan cara intramuskular atau injeksi di bagian paha kiri dengan dosis 0,5 ml. Pemberian imunisasi PCV diberikan sebanyak 3 dosis yakni saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan dan 12 bulan sebagai imunisasi lanjutan.
Terkait dengan ketersediaan vaksin PCV, dr. Maxi memastikan kecukupan stok dan distribusi yang terjaga seiring dengan pencanangan nasional imunisasi PCV. Imunisasi PCV bisa dilakukan di posyandu, puskesmas, maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya seperti rumah sakit, klinik, praktik mandiri dokter, praktik mandiri bidan, dan fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang memberikan layanan imunisasi.
Sebelum ditetapkan sebagai imunisasi rutin, kebijakan pemberian imunisasi PCV di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2017 di beberapa Kabupaten di Lombok Barat dan Lombok Timur. Pada 2021, pemberian imunisasi PCV diperluas dibeberapa provinsi diantaranya NTB, Bangka Belitung dan beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Pemberian imunisasi PCV di beberapa daerah tersebut terbukti aman dan efektif menurunkan kasus baru pneumonia, namun demikian cakupannya masih sangat rendah. Untuk itu diperlukan upaya lebih masif lagi dengan mendorong penggunaan imunisasi PCV secara nasional serta menjalin kolaborasi dengan seluruh stakeholder terkait.
“Harapan kami seluruh provinsi sampai kabupaten/kota bisa melaksanakan imunisasi PCV ini, sehingga kami harapkan seperti daerah-daerah di NTB yang sudah melaksanakan imunisasi PCV, angka kesakitan dan angka kematian karena pneumonia menurun drastis,” harap dr. Maxi.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Mawardi Yahya selaku tuan rumah pencanangan imunisasi PCV menyatakan siap mendukung serta menyukseskan pelaksanaan imunisasi PCV di wilayahnya.
“Ini adalah tanggung jawab bersama, nanti kami mintakan Dinas Kesehatan Provinsi untuk segera mengunjungi kabupaten/kota mendorong agar segera melakukan pemberian imunisasi PCV. Kita juga minta agar pelaksanaan program ini turut melibatkan PKK,” ungkapnya.
Upaya ini merupakan bagian dari komitmen dan tanggung jawab pemerintah Sumatra Selatan untuk melindungi generasi penerus bangsa dari penyakit berbahaya yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Selain dukungan dari daerah dan stakeholder terkait, Dirjen Maxi menekankan bahwa pemahaman dan kesadaran orang tua terhadap pneumonia dan imunisasi PCV menjadi faktor yang sangat penting untuk mempercepat cakupan vaksinasi PCV.
Baca Juga: Negara Maju Gagal Sediakan Lingkungan Sehat untuk Anak
Pihaknya berharap melalui pencanangan imunisasi PCV tingkat nasional ini, tak hanya mendorong para orang tua untuk membawa anaknya menuju ke fasyankes terdekat tetapi juga menjadi sarana edukasi bagi para orang tua akan pentingnya pemberian imunisasi PVC pada anak dan balita.
“Vaksinasi ini diberikan secara gratis. Kami harapkan orang tua bisa segera membawa anaknya ke fasyankes terdekat untuk mendapatkan imunisasi PCV sejak dini,” pungkas dr. Maxi.
Tantangan polusi udara
Dikutip dari laporan Vital Strategies yang berjudul ‘Menuju Udara Bersih Jakarta’ yang rilis than 2019, materi halus atau particulate matter (PM) di udara berdiameter kurang dari 2,5 mikrometer menyebabkan dampak serius untuk kesehatan masyarakat. Satu partikel PM2.5 berukuran 3 persen dari ketebalan rambut manusia dan tidak terlihat oleh mata telanjang. Ukuran partikel yang kecil memungkinkannya untuk menembus jauh ke dalam paru-paru seseorang dan dapat terbawa ke sistem tubuh lainnya (misalnya: sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat), sehingga dapat menyebabkan kerusakan oksidatif dan peradangan sistemik yang lebih baik dibanding PM10 (particulate matter berdiameter 10 mikrometer atau lebih).
Semakin kecil partikelnya, semakin dalam partikel tersebut dapat masuk jauh ke dalam paru-paru, dan menyebar ke organ lain (misalnya: jantung, otak, plasenta) hingga menyebabkan penyakit kronis dan kematian akibat penyakit kardiovaskular dan pernapasan, kanker dan diabetes. Penyakit tersebut dimasukkan dalam perkiraan beban penyakit global (global burden of disease). Selain itu, PM2.5 juga menyebabkan kelahiran tidak wajar dan kesehatan anak yang buruk, yang berpotensi mengganggu kesejahteraan dan produktivitas sepanjang rentang hidup.
Akibatnya, polusi udara dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti asma, kanker paru-paru, stroke, jantung, diabetes, maupun penyakit pernapasan kronis serta akut. Kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak polusi udara adalah anak-anak, manula, dan penderita penyakit kronis.
Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat lebih dari 5,5 juta kasus penyakit yang berhubungan dengan polusi udara di Jakarta pada tahun 2010, di antaranya: Infeksi Pernapasan Akut (ISPA) sejumlah 2.450.000 kasus; jantung koroner sejumlah 1.246.000 kasus; asma sejumlah 1.211.000 kasus; pneumonia sejumlah 336.000 kasus; bronkopneumonia sejumlah 154.000 kasus; dan penyakit paru obstruktif kronis sejumlah 154.000 kasus. Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh Breathe Easy memperkirakan polusi udara di Jakarta telah menyebabkan 260.000 serangan asma, 85.000 kunjungan ke IGD, dan 65 juta hari dengan gejala pernapasan dan 3,420 kematian di wilayah Jabodetabek pada tahun 2010.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan memperkirakan 25 persen sampai 43 persen kematian dari PTM disebabkan oleh polusi udara. Di Indonesia, PTM menyumbang 1.365.000 kematian atau 73 persen dari total kematian pada tahun 2016. Tiga jenis PTM teratas tersebut adalah stroke, penyakit jantung iskemik, dan diabetes.
Oleh karena itu, mengingat risiko yang besar dari polusi udara, dapat disimpulkan bahwa kelompok anak-anak yang terpapar polusi udara tingkat tinggi sangat rentan terhadap penyakit yang disebabkan polusi udara. Hal ini karena paru-paru dan otak mereka masih berkembang sehingga dapat menyerap zat beracun lebih mudah lantaran mereka menghirup lebih banyak udara per unit berat badan daripada orang dewasa. Efek negatif dari polusi udara pada anak dimulai dari saat mereka dalam kandungan.
Secara nasional, di Indonesia diperkirakan tingkat polusi udara pada tahun 2017 menyebabkan lebih dari 24.500 bayi terlahir dengan berat badan di bawah 10 persentil untuk bayi dengan usia kehamilan yang sama, penentu prenatal untuk stunting pada anak-anak. Gangguan dan keterlambatan perkembangan fisik serta kognitif anak-anak yang terkait dengan polusi udara akan mempunyai pengaruh jangka panjang pada kehidupan seorang individu.
Baca Juga: Menguji Dampak Mikroplastik pada Tubuh Manusia
Regulasi dari pemerintah daerah
Guna mencegah peningkatan penyakit pernapasan termasuk pneumonia pada anak, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya telah memiliki sejumlah regulasi yang menjamin udara bersih. Salah satu yang sedang diperjuangkan pada tahun 2022 ini adalah Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara yang seharusnya disahkan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan sebelum usainya masa jabatan pada 16 Oktober 2022 mendatang.
Sampai dengan berita ini diturunkan, belum ada konfirmasi perihal Pergub tersebut. Padahal, Community Manager Bicara Udara Novita Natalia dalam keterangan tertulisnya mengatakan kondisi kualitas udara di Jakarta yang mengkhawatirkan tersebut mendorong Bicara Udara membuat petisi di platform Change.org, dengan judul ‘Gubernur Anies Baswedan Tolong Sahkan Pergub Udara Bersih! Udara Jakarta Tidak Sehat’. Berdasarkan pantauan Prohealth.id, sampai dengan 13 Oktober 2022 pukul 14.00 WIB ada sebanyak 6.575 penandatangan petisi dari total 7.500 tanda tangan yang dibutuhkan.
Dikutip dari laman petisi tersebut, seorang pasien penyakit paru berinisial Puteri A, eorang calon Ibu yang keluar masuk 4 rumah sakit yakni; RS Pusat Pertamina, RS Melaka Malaysia, RS Paru Bogor, dan RS Medistra, karena polusi Jakarta. Awalnya, dia mengetahui penyakit paru-paru yang dia alami pada Mei 2019, dengan gejala batuk-batuk dan sesak nafas hingga ia melakukan rontgen dan didiagnosa bronkitis. Keadaan Puteri semakin memburuk, akhirnya ia berobat ke negeri Jiran. Dokter di sana menyarankan agar Puteri Harus keluar dari Jakarta karena paru-parunya sangat sensitif dengan polusi udara. Tak hanya itu, penyakit Puteri merembet ke penyakit hipertensi hingga 170/100. Angka itu terbilang tinggi untuk perempuan yang baru berusia 25 tahun.
Diambang kritis
Novita menambahkan, jika Pergub Udara Bersih ini tidak segera disahkan oleh Anies Baswedan, maka upaya menurunkan polusi udara akan tertunda selama 2 tahun ke depan. Hal ini mengingat sampai tahun 2024 nanti DKI Jakarta akan dipimpin oleh Plt Gubernur yang tidak bisa mengeluarkan peraturan baru. Pergub tersebut perlu mendapat perhatian khusus karena akan menentukan warisan Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dalam pergub ini, Novita yakin sejumlah payung hukum akan tersedia yakni; inventarisir emisi, pemantauan kualitas udara yang lebih baik, riset mengenai dampak polusi terhadap kesehatan dan ekonomi, kelompok kerja lintas sektor, penegakan hukum, dan penurunan emisi dari transportasi, pembakaran sampah, dan kegiatan industri.
“Melalui petisi ini kami ingin Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengesahkan Peraturan Gubernur tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara, sebelum masa berlakunya habis pada tanggal 16 Oktober 2022,” tutur Novita dikutip dari laman petisi.
Selanjutnya: WAWANCARA EKSKLUSIF: Raperda KTR untuk Jakarta Sehat
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Cek artikel lain di Google News
Discussion about this post