Sejumlah perguruan tinggi, guru besar, dan akademisi di Indonesia sekali lagi menyuarakan dengan tegas dinamika UU Pilkada. Aksi demonstrasi mahasiswa pada 22 Agustus 2024 adalah simbol perlawanan dari ruang akademik.
Selain bentuk sikap perlawanan, kelompok cendekia banyak yang mencoba memberikan penjelasan tentang sistem tata negara di Indonesia. Kondisi yang terjadi berkaitan dengan revisi UU Pilkada menandakan adanya
Prohealth.id mencatat, Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) pada 21 Agustus 2024 telah membuat serua. DGB UI menyebut tengah terjadi Krisis Konstitusi di Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat dari pembangkangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembangkangan ini tampak secara arogan dan vulgar telah mempertontonkan pengkhianatan mereka terhadap konstitusi.
Akibatnya, Indonesia kini berada di dalam bahaya otoritarianisme yang seakan mengembalikan Indonesia ke era kolonialisme dan penindasan.
“Tingkah-polah tercela para anggota DPR itu, tak lain dan tak bukan merupakan perwujudan kolusi dan nepotisme. Pada 1998 mendapat perlawanan keras oleh aksi massa dan mahasiswa sehingga melahirkan Reformasi,” terang DGB melalui pernyataan resmi.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat bagi semua, termasuk semua lembaga tinggi negara. Artinya, pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dengan mengabaikan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024 sehari setelah diputuskan. Nyata sudah, DPR sangat menciderai sikap kenegarawanan yang seharusnya ada dari para wakil rakyat.
“Tidak ada dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah persyaratan usia calon kepala daerah termasuk besaran kursi parpol melalui revisi UU Pemilihan Kepala Daerah.”
Perubahan-perubahan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi versus DPR. Akibatnya, kelak hasil pilkada justru akan merugikan seluruh elemen masyarakat karena bersifat kontraproduktif. Selain itu hanya akan menimbulkan kerusakan kehidupan bernegara.
Konsekuensi yang tak terelakkan adalah runtuhnya kewibawaan negara, lembaga-lembaga tinggi negara. Hukum akan merosot ke titik nadir bersamaan dengan runtuhnya kepercayaan masyarakat.
“Kami tersentak dan geram karena sikap dan tindak laku para pejabat baik di tataran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang sangat arogan. Ini nyata-nyata mengingkari sumpah jabatan mereka. Kami sangat prihatin dan cemas akan masa depan demokrasi yang akan menghancurkan bangsa ini.”
Para guru besar UI menegaskan agar para anggota Dewan yang semestinya mengawal dan menjamin keberlangsungan Reformasi justru telah berkhianat dengan menolak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan untuk menjaga demokrasi di negeri ini.
DGB UI menyerukan agar DPR menghentikan revisi UU Pilkada, lalu bertindak arif, adil, dan bijaksana dengan menjunjung nilai-nilai kenegarawanan. DGB UI meminta KPU segera melaksanakan putusan MK No. 60 dan No. 70 tahun 2024 demi terwujudnya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila. Terakhir, DGB meminta negara harus didukung penuh agar tetap tegar dan kuat dalam menjalankan konstitusi sesuai dengan perundang- undangan, serta mengingatkan secara tegas bahwa kedaulatan rakyat adalah berdasarkan pancasila
Perguruan Tinggi Katolik di Indonesia juga tak diam saja. Universitas yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik di Indonesia (APTIK) melalui pernyataan resmi menolak praktik politik yang mengancam konstitusi dan demokrasi. Upaya untuk menggantikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024 dalam revisi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membawa krisis bangsa. Sikap itu telah mengancam keberlangsungan hidup bernegara yang konstitusional.
“Sebagai Perguruan Tinggi Katolik, kami ingin menekankan pentingnya inspirasi dari Ajaran Sosial Gereja. Khususnya tentang demokrasi, yang menekankan bahwa demokrasi sejati hanya dapat berdiri kokoh jika berakar pada penghormatan terhadap martabat manusia, kesejahteraan bersama, dan solidaritas sosial,” tulis APTIK.
Bagi APTIK, demokrasi bukan sekadar prosedur, tetapi harus mencerminkan etika publik yang menghormati hak-hak asasi setiap individu dan menjunjung tinggi keadilan sosial. Untuk itu APTIK dengan tegas menyerukan; kepada Presiden, DPR, seluruh lembaga negara, TNI dan Polri serta partai politik untuk tetap setia pada konstitusi, pada rakyat, dan pada kebaikan bersama (bonum commune), bukan demi kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi elite tertentu.
Kedua, agar Presiden dan DPR menghormati putusan Mahkamah Konstitusi dan mematuhinya sebagai keputusan yang final dan mengikat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 24C ayat (1) dan (2). Kesetiaan pada konstitusi adalah landasan dari tegaknya demokrasi yang sehat dan berkeadaban. Segala bentuk penyimpangan dari nilai-nilai konstitusi dan amanah reformasi akan membawa bangsa ini pada kemunduran dan kehancuran moral.
Ketiga, seluruh masyarakat Indonesia untuk terus mengawal tujuan dan semangat reformasi demi kedaulatan rakyat secara konstitusional, cerdas, dan damai. Kedaulatan rakyat harus menjadi prinsip yang tidak dapat ditawar, karena di sanalah letak kekuatan dan martabat bangsa ini.
Keempat, seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menjaga dan merawat demokrasi Indonesia, demi masa depan yang lebih baik, adil, dan bermartabat bagi seluruh rakyat.
Indonesian Network of Doctoral and ECR in Australia (INDERA) & Association of Indonesian Postgraduate Students and Scholars in Australia (AIPSSA) juga ikut menyampaikan pernyataan tegas. Dalam siaran pers melalui Zoom, akademia Indonesia di Australia, merasa perlu untuk ikut menyatakan sikap dengan berpegang teguh pada argumen akademik. Menurut sistem hukum Indonesia, MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dan seluruh elemen bangsa wajib menghormati dan tunduk pada Putusan MK.
Kedua, Putusan MK bersifat final and binding, dan berlaku prinsip erga omnes (mengikat semua pihak). Mengabaikan atau menyimpang putusan MK merupakan bentuk pembangkangan konstitusi yang dapat mengancam legitimasi hasil Pilkada 2024.
Ketiga, tidak bisa mempertentangkan antara Putusan Mahkamah Agung (MA) dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MA menguji Peraturan KPU, bukan Undang-Undang Pilkada. Revisi Undang-Undang Pilkada wajib mengikuti Putusan MK sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi.
Keempat, terkait dengan putusan MK No. 70/PUU-XXI/2024, yang mengafirmasi tradisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menerapkan syarat usia calon kepala daerah, di mana usia tersebut selalu dihitung dan harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon kepala daerah.
Kelima, rumusan perubahan Pasal 40 Rancangan Perubahan Undang-Undang (RUU) Pilkada bertentangan dengan amar Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024. Amar putusan tersebut memberikan keringanan ambang batas (threshold) kepada partai yang memiliki kursi DPRD dan yang tidak memiliki kursi DPRD.
Keenam, keputusan Baleg DPR RI yang hanya memberlakukan keringanan syarat ambang batas perolehan suara bagi partai non parlemen (non-DPRD) jelas bertentangan dengan Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024. Artinya, ada parpol yang mungkin tidak terlibat dalam partisipasi Pilkada 2024 karena tidak menikmati keringanan threshold.
Putra Hanif Agson Gani, Mahasiswa Doktoral, The University of New South Wales menjelaskan sangat penting untuk menindaklanjuti kasus kekerasan kepada para mahasiswa dan peserta aksi massa. Secara total aparat telah menangkap paksa sekitar 159 mahasiswa.
“Saya sangat mengecam tindakan represif aparat yang bersifat eksesif pada hakikatnya polisi dibayar rakyat dan mengayomi rakyat, bukan malah seperti itu,” tuturnya.
Sebagai bentuk dukungan, Putra tetap memberikan semangat kepada mahasiswa dan masyarakat yang mau turun aksi menyuarakan aspirasi politiknya. Ia juga menyebut, INDERA juga akan mencoba memberikan dukungan materil, uang untuk makan dan obat-obatan.
MENJAGA KEAMANAN DIGITAL
Raisa Annisa, Mahasiswa Doktoral, The University of New South Wales menambahkan pentingnya menjaga keamanan digital untuk mahasiswa dan dosen. Ia menyebut, maraknya serangan digital juga harus menjadi pelajaran. Apalagi, akademisi yakni dosen tidak lepas dari ancaman doxing dan bentuk serangan digital lain.
“Maka penting untuk menyiapkan diri dengan pengamanan menjelang aksi dan keamanan digital,” tuturnya.
Dengan demikian, apa yang terjadi pada kondisi perpolitikan Indonesia saat ini jauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi. Oleh karena itu, para akademisi Indonesia di Australia mengecam orkestrasi dan rekayasa konstitusional yang dapat membunuh demokrasi. Apalagi mengabaikan kedaulatan rakyat, dan mementingkan kepentingan segelintir orang, politik dinasti, kelompok elit, dan oligarki.
Kedua, mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk mematuhi dan tidak menyimpangi Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK No. 70/PUU-XXI/2024.
Ketiga, mendesak KPU RI menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) yang selaras dengan Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK No. 70/PUU-XXI/2024.
Keempat, mendorong dan mendukung aktor-aktor gerakan masyarakat sipil untuk terus berkonsolidasi dan bergerak mengawasi pemerintah, DPR, dan lembaga negara. Guna mewujudkan Indonesia yang demokratis dan berkeadilan.
Kelima, mendukung agar masyarakat sipil dan akademisi terus mengawal dan mendorong proses legislasi dan pelaksanaan Putusan MK. Terutama demi terjaganya integritas dalam konstitusi dan demokrasi Indonesia.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post